BATAM, BERITALINGKUNGAN.COM– Masyarakat Adat dan Tempatan Rempang bersama Solidaritas Nasional untuk Rempang, yang terdiri dari 78 Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia, mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan perusahaan International Investments Limited, meminta mereka untuk membatalkan rencana investasi dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Surat terbuka tersebut, yang dikirimkan melalui Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia untuk Pemerintah RRT dan melalui email kepada pimpinan Xinyi, menyuarakan keberatan terhadap proyek yang dianggap mengabaikan hak asasi manusia. Masyarakat dan solidaritas menyampaikan bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong; sekitar 7.512 orang menghuni pulau tersebut dan menggantungkan hidup mereka di sana.
Konflik terkait proyek ini semakin memanas pada 7 September 2023, ketika lebih dari 1.000 aparat gabungan dari Kepolisian, TNI, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam memaksa masuk ke Pulau Rempang. Insiden ini berujung pada penangkapan, penahanan, dan perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, dengan sejumlah korban luka fisik dan psikis. Perempuan, anak-anak, dan lanjut usia pun tidak luput dari kekerasan tersebut.
Menurut Andri Alatas dari LBH Pekanbaru, pihaknya menilai bahwa tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. “Kami mendesak Pemerintah RRT dan perusahaan terkait untuk tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan masyarakat Rempang,” tegas Andri melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (29/09/2024).
Eko Yunanda dari WALHI Riau menambahkan, “Proyek ini jelas melibatkan risiko besar bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat adat. Sebagai bagian dari gerakan ini, kami menyerukan kepada Presiden RRT dan pimpinan Xinyi untuk membuka transparansi tentang isi MoU dan MoA yang ditandatangani pada 28 Juli 2023 di Chengdu.”
Solidaritas Nasional untuk Rempang juga mendesak agar rencana investasi yang tercantum dalam MoU dan MoA tersebut segera dibatalkan untuk memastikan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan tetap terjaga. Mereka menuntut agar perusahaan dan pemerintah, baik di Indonesia maupun di China, mematuhi prinsip-prinsip yang termuat dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights.
Masyarakat dan solidaritas berharap agar melalui surat terbuka ini, perhatian internasional dapat tergerak untuk menekan pembatalan investasi yang berisiko merugikan masyarakat dan menghancurkan lingkungan di Pulau Rempang (Marwan Aziz)