Ilustrasi warga yang terkena gelombang panas akibat cuaca ekstrim yang bekalangan ini melanda berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Greenpeace Indonesia mengingatkan pentingnya isu krisis iklim dalam perdebatan politik menjelang pemilihan kepala daerah Jakarta. Selama dua bulan mendatang, warga Jakarta akan mendengarkan berbagai janji politik dari para calon pemimpin. Namun, pertanyaannya, apakah krisis iklim akan menjadi topik utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan warga, terutama kelompok menengah-bawah?
Saat ini, hampir 20% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, dan hanya 69% penduduk yang memiliki akses ke air bersih. Situasi ini diperparah oleh polusi udara yang kian memburuk, yang semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat. Meski berbagai persoalan ini merenggut kesejahteraan warga, krisis iklim belum menjadi perhatian serius dalam perdebatan politik maupun kebijakan publik. Sebagian besar calon pemimpin lebih fokus pada solusi jangka pendek tanpa mengatasi akar masalah yang sebenarnya.
Greenpeace Indonesia merilis laporan berjudul “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan” yang menyoroti tantangan dan peluang dalam menghadapi krisis iklim di Jakarta. Laporan tersebut menekankan pentingnya keadilan kota (urban justice) dan bagaimana kebijakan iklim yang ada sering kali mengabaikan kelompok masyarakat yang paling rentan. Mereka yang tinggal di kawasan pesisir, daerah padat penduduk, atau masyarakat dengan ekonomi menengah-bawah harus menanggung beban paling berat—mulai dari risiko banjir yang lebih sering hingga minimnya akses terhadap air bersih dan ruang terbuka hijau.
“Wilayah yang paling berat terdampak krisis iklim di Jakarta justru merupakan tempat tinggal masyarakat miskin kota, yang paling sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab krisis iklim dibebankan secara tidak adil kepada mereka yang paling rentan,” ujar Jeanny Sirait, Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia (25/09/2024).
Di banyak tempat di Jakarta, kelompok ini sering tersingkir dari proses perumusan kebijakan, sehingga memperparah ketimpangan sosial di tengah ancaman iklim yang kian nyata. Greenpeace menegaskan bahwa Jakarta membutuhkan kebijakan yang lebih adil dan inklusif, baik dari segi mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Kebijakan seperti Peraturan Gubernur No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim (RPRKD) dianggap masih memiliki banyak kelemahan, terutama dalam pelibatan masyarakat terdampak.
Jeanny menegaskan bahwa Jakarta tidak hanya membutuhkan kebijakan mitigasi yang ambisius, tetapi juga adaptasi yang adil. “Nelayan di pesisir, warga di wilayah rawan banjir, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar korban dari kebijakan yang tidak inklusif,” tegasnya.
Asmania, seorang nelayan perempuan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menceritakan pengalaman warga yang terdampak langsung oleh krisis iklim. Banjir rob, penurunan hasil tangkapan ikan, cuaca yang tidak menentu, hingga konflik lahan yang terus berlanjut menjadi tantangan besar bagi mereka. “Kami butuh laut yang bersih dan lingkungan yang lestari,” ungkap Asmania yang akrab disapa Aas.
Greenpeace juga mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan iklim Jakarta secara berkala dan memastikan alokasi sumber daya yang memadai bagi kelompok rentan. Ini termasuk peningkatan akses terhadap air bersih, ruang terbuka hijau (RTH), dan infrastruktur transportasi publik yang inklusif. Tanpa perhatian serius terhadap kelompok rentan, pembangunan di Jakarta justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan krisis lingkungan.
Menjelang pemilihan gubernur, Greenpeace berharap riset ini bisa menjadi pemicu bagi para calon pemimpin untuk lebih memperhatikan isu keadilan iklim. Dalam krisis iklim, pembangunan tanpa keadilan hanya akan memperdalam kesenjangan sosial dan memperburuk penderitaan bagi mereka yang paling terdampak.
“Krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial. Ini harus menjadi prioritas bagi pemimpin saat ini maupun di masa depan. Tanpa komitmen serius untuk menangani krisis iklim secara adil, masa depan Jakarta dan warganya akan semakin suram,” pungkas Jeanny.
Laporan lengkap “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan” dapat dibaca di situs resmi Greenpeace Indonesia (Marwan Aziz)