Ilustrasi hutan yang menjadi salah satu site main aktivis atau alumnus Lawata IPB. Foto : Ist.
BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM – Dalam rangka merayakan 50 tahun berdirinya, organisasi Pecinta Alam IPB University (Lawalata IPB) mengajak generasi muda, khususnya Gen Z, untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian bumi Indonesia.
Dengan sejarah panjang yang penuh kontribusi, Lawata IPB telah menjadi wadah bagi banyak aktivis dan pemimpin lingkungan terkemuka di Indonesia.
Beberapa nama besar seperti Emmy Hafild, Abdon Nababan, dan Laksmi Dhewanti berasal dari Lawata IPB. Mereka tidak hanya aktif dalam isu-isu lingkungan nasional, tetapi juga berperan dalam forum-forum internasional.
Organisasi ini telah melahirkan banyak pejuang lingkungan, dari tingkat kebijakan hingga lapangan, dan mereka tersebar di berbagai instansi pemerintah, LSM, media, hingga sektor korporasi.
Lawata IPB terkenal dengan kegiatan scientific adventure yang menggabungkan petualangan dan penelitian ilmiah. Para anggotanya sering melakukan ekspedisi ke kawasan-kawasan terpencil di Indonesia, mengumpulkan data tentang spesies, habitat, dan ekosistem yang kemudian digunakan untuk kepentingan konservasi. Salah satu prestasi fenomenal Lawata IPB adalah penemuan kembali bunga Rafflesia ruchosennii di Gunung Salak pada tahun 1990, yang sebelumnya dinyatakan punah sejak tahun 1941.
Di pemerintahan, Lawata IPB memiliki alumni seperti Laksmi Dhewanti, Dirjen KLHK untuk Pengendalian Perubahan Iklim; Inge Retnowati, Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove; dan Hani Adiati, Staf Khusus Menteri LHK. Sementara di dunia penelitian, ada Profesor Dwi Listyo Rahayu, peneliti oseanografi di BRIN, dan Dewi Malia Prawiradilaga yang menemukan jenis burung baru, Myzomela irianawidodoae.
Di bidang advokasi, ada almarhum Hapsoro yang mengkampanyekan penghentian illegal logging dan mendirikan komunitas Peduli Ciliwung Bogor. Hapsoro bersama Ambrosius Ruwindrijarto mendirikan NGO Telapak yang aktif dalam advokasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, bahkan mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada 2012.
Selain di pemerintahan dan LSM, alumni Lawata IPB juga berkarya di dunia korporasi dan media. Gempur Susetyohadi, misalnya, bertanggung jawab atas pelaksanaan green building di kantor Bank Mandiri. Di media, ada Ridzki Rinanto Sigit yang memimpin Mongabay Indonesia. Ada juga IGG Maha Adi, jurnalis lingkungan yang pernah berkarya di Majalah Tempo dan pernah aktif di SIEJ (The Society of Indonesia Environment Journalist) dan saat ini memimpin Greenpress Indonesia.
Deretan nama-nama ini belum termasuk anggota luar biasa Lawata IPB (sebutan bagi alumni) yang berkarya di dunia konsultan lingkungan hidup seperti Tri Nugroho, Rustiawan Anis, Dwi Rahmad Muhtaman, dan lainnya. Tri Nugroho dan Rustiawan Anis juga tercatat sebagai tim diplomasi Indonesia di tingkat dunia dalam negosiasi-negosiasi berkaitan dengan pengendalian akibat perubahan iklim.
Ada juga anggota Lawata IPB yang memimpin atau berkarya di NGO asing yang mengusung isu penyelamatan lingkungan di Indonesia seperti Titayanto Pieter yang pernah mengomandani The Nature Conservancy dan aktivis PROGRES Sulawesi, Muhamad Muslich yang berkarya di Wildlife Conservation Society, atau Hartono Prabowo yang mewakili Forest Stewardship Council (FSC) di Indonesia. FSC adalah sebuah organisasi global yang menciptakan dan mengawal penerapan standard dan sertifikasi praktik kehutanan yang bertanggung jawab.
Dan masih banyak lagi anggota Lawata IPB yang secara pribadi peduli pada gerakan penyelamatan lingkungan hidup Indonesia. Mereka melakukan aktivitas secara mandiri maupun kelompok, bahkan sejak sebelum isu ini menjadi isu dunia yang dibawa ke tataran politik untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah negeri ini.
Menelurkan para pecinta, penjaga, hingga pejuang lingkungan hidup, organisasi Mahasiswa Pecinta Alam IPB University (Lawalata-IPB) yang biasa disingkat L-IPB dilahirkan pada setengah abad (50 tahun lalu) oleh 17 orang mahasiswa—yang kemudian diberi nomor anggota L-001 hingga L-017. Mereka antara lain Soeryo Adiwibowo, Slamet Gadas, Soesatyo, Aunur Rofiq Hadi, Dudun Rusmana, dan Eddie Rusland.
Menurut Eddie Rusland, lahirnya organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) IPB terinspirasi oleh Mapala UI dan ITB. Pada saat itu, katanya, di IPB hanya ada satu perkumpulan pecinta alam, yaitu di Fakultas Kehutanan. Sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan—yang belum terdaftar di fakultas, para mahasiswa berinisiatif mendirikan organisasi pecinta alam juga. “Kami masih tingkat satu kala itu,” kata Soeryo Adiwibowo, biasa dipanggil Mas Bowo, penyandang nomer anggota L-001.
Kalau organisasi pecinta alam terkenal dengan petualangannya di alam bebas seperti naik turun gunung, maka kegiatan Lawata IPB fokus pada ceruk scientific adventure.
Sejak awal berdirinya, visi Lawata IPB adalah mengembangkan kegiatan kepecintaalaman melalui kegiatan petualangan ilmiah atau scientific adventure. Tidak mengherankan bila hasil ekspedisi anggotanya fokus pada penelitian spesies, habitat, atau ekosistem di seluruh Indonesia. Karena seringkali hasil studi itu berada di kawasan terpencil yang sulit akses transportasi dan harus berjalan kaki, bermalam di hutan, atau membuat tenda di pantai selama berhari-hari, maka penguasaan teknik agar aman dan selamat di alam bebas menjadi penting.
Teknik bertahan hidup, melacak jejak, mountaineering, pengetahuan navigasi darat, pertolongan pertama, atau membaca cuaca, dengan didukung oleh kemampuan fisik dan mental yang memadai menjadi mendukung setiap petualangan ilmiah tersebut.
Calon anggota Lawata IPB tidak harus kuat dan cepat tetapi yang mau belajar dalam masa pendidikan mereka. “Saya pikir Lawalata adalah mapala pertama yang tidak mengutamakan kekuatan fisik, tetapi mendorong tiap anggota untuk memahami lebih dalam apa yang ada di sekitar kita,” ungkap almarhumah Emmy Hafild ketika diwawancarai beberapa tahun lalu.
Tentang prestasi yang ditorehkan, selain laporan ekspedisi dari hampir ratusan kawasan konservasi dan lindung di seluruh Indonesia, Lawata IPB beberapa kali berhasil meraih penghargaaan KLHK (dulu Kementerian Kehutanan) sebagai pemenang pertama lomba penghijauan dan konservasi alam untuk organisasi mahasiswa dan kemasyarakatan.
Prestasi fenomenal lain adalah ketika di tahun 1990, beberapa anggotanya menemukan kembali bunga Rafflesia ruchosennii di Gunung Salak yang telah dinyatakan punah sejak tahun 1941. Di antara organisasi Mapala di Indonesia, Lawata IPB dikenal mempunyai kemampuan mumpuni dalam bidang bio-speleologi.
Rangkaian Acara
Untuk merayakan 50 tahun dedikasinya, Lawata IPB menggelar berbagai kegiatan pada 21 September di Taman Koleksi, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor. Expo bertema “Menjaga Bumi Indonesia Lestari” ini menghadirkan berbagai gerai tentang petualangan, lingkungan hidup, dan konservasi, serta talkshow dengan tema “Kita Bisa Merawat Bumi Kita, Yura..” bersama Gen Z dan influencer lingkungan.
Rangkaian acara ini ditutup dengan kemah di Bumi Perkemahan Sukamantri, di kaki Gunung Salak pada tanggal 22 September 2024, yang diikuti oleh anggota aktif dan alumni.
Yang istimewa, hampir 80% biaya acara ini berasal dari sumbangan para alumni Lawata IPB, menunjukkan bahwa kepedulian lingkungan memang sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Lawalata IPB telah membuktikan bahwa dari tangan-tangan mereka lahir pejuang dan penjaga lingkungan yang tangguh. Kini, mereka mengajak kita semua, terutama generasi muda, untuk melanjutkan estafet perjuangan ini demi Indonesia yang lebih lestari (Marwan Aziz)