Ketgam : Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin (paling kiri). Foto: VOI.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritik keras pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan pada Forum Air Dunia ke-10 di Bali.
Dalam pidatonya, Jokowi menekankan bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah memperkuat infrastruktur airnya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektar jaringan irigasi, 2.156 km pengendali banjir dan pengamanan pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektar jaringan irigasi.
Selain itu, Jokowi menyebut Indonesia konsisten mendorong tiga hal: meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas untuk mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil yang mengalami kelangkaan air; memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif, menghindari persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas; serta memperkuat kepemimpinan politik sebagai kunci sukses kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan.
Kritik terhadap Solusi Bias Infrastruktur
Menanggapi pidato tersebut, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil WALHI, menyatakan bahwa pernyataan Jokowi dalam pidato tersebut adalah pidato biasa yang sering disampaikan dalam berbagai forum internasional. Namun, kenyataannya, apa yang disampaikan Jokowi berlawanan dengan fakta di lapangan.
Parid menyebut bahwa solusi pemerintah untuk mengatasi krisis air di Indonesia yang hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur skala besar, seperti bendungan dan pengaman pantai, menimbulkan banyak masalah. “Banyak terjadi kekerasan, penggusuran tanah, serta penghancuran lingkungan akibat pembangunan infrastruktur tersebut, alih-alih menyelesaikan persoalan krisis air,” ujar Parid di Jakarta, seperti dikutip Beritalingkungan.com melalui laman Walhi.or.id (22/05/2024).
Parid mencontohkan kasus Bendungan di Desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Meskipun bendungan ini diklaim akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo, kenyataannya justru merusak lingkungan akibat pertambangan batu andesit, menahan 64 orang, dan merusak sumber daya air. “Solusi-solusi teknis seperti ini gagal sejak awal dalam menyelesaikan krisis air,” tegas Parid.
Kritik terhadap Ajakan Solidaritas untuk Negara-negara Pulau Kecil
WALHI juga mengkritik ajakan Jokowi untuk meningkatkan solidaritas dan inklusivitas guna mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil yang mengalami kelangkaan air. “Pernyataan ini penuh dengan hipokrisi untuk menutupi kiamat air di pulau-pulau kecil di Indonesia yang mengalami krisis air akibat ekspansi pertambangan nikel,” kata Parid.
Menurutnya, sampai tahun 2024, sebanyak 218 izin usaha pertambangan (IUP) telah mengapling 34 pulau kecil di Indonesia. Contohnya, di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, banyak mata air terancam hancur akibat pertambangan nikel. “Kualitas dan kuantitas air yang digunakan warga setiap hari hancur. Warga harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk membeli air. Situasi ini mendorong warga menggugat hingga ke Mahkamah Agung,” ujarnya.
Pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan materiil 30 warga Pulau Wawonii, menyatakan bahwa segala kegiatan yang tidak menunjang kehidupan ekosistem di atas pulau kecil harus dilarang karena mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya.
Kritik terhadap Hydro Diplomacy
WALHI juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan Jokowi yang mengajak memperkuat hydro-diplomacy. Menurut Parid, ajakan ini sebenarnya adalah ajakan kepada investor asing untuk terus berinvestasi di sektor air, yang akan memperkuat swastanisasi dan privatisasi air di Indonesia.
“Di tengah krisis iklim yang semakin memburuk, Jokowi seharusnya mendorong diplomasi keadilan iklim yang menuntut negara-negara maju dan korporasi multinasional menurunkan emisinya,” kata Parid. Ia juga menyarankan Jokowi untuk mendesak negara-negara maju mengevaluasi bisnis perusahaan air di Indonesia, seperti Danone dan Palyja dari Prancis.
Parid menekankan bahwa kepemimpinan politik menuju ketahanan air berkelanjutan tidak akan terwujud jika Indonesia tetap menjadi target investasi industri ekstraktif negara-negara lain dan perusahaan multinasional yang terus mengeksploitasi mineral di Indonesia, baik di darat, pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil (Marwan Aziz)