Operasi pertambangn batu bara PT Energi Batu Hitam di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Foto: PT EBH.
Masyarakat adat Dayak Kampung Dingin di Kutai Barat Kalimantan Timur, tak gentar menghadapi jeruji besi untuk membela tanah dan air mereka.
Empat orang penduduk Dayak kampung Dingin, sedang duduk-duduk di tenda darurat di jalan menuju tambang batu bara milik PT Energi Batu Hitam (EBH) ketika muncul beberapa polisi berseragam dan berpakaian preman.
Perusahaan itu telah melaporkan bahwa beberapa orang warga desa telah menghalangi keluar dan masuk area pertambangan, sehingga kegiatan terhenti dan perusahaan mengalami kerugian. Mereka lalu meminta polisi agar masyarakat membuka blokir jalan tapi permintaan itu ditolak para pemrotes sehingga terjadi adu mulut.
“Kami menentang ketidakadilan di sini. Kami mempertahankan hak-hak kami,” kata Friska, 47 tahun, salah satu warga Dayak yang berusaha bertahan di tenda. Tapi apalah daya mereka kalah jumlah dan diseret ke mobil polisi. Hari itu empat orang Dayak dari Kampung Dingin ditangkap dan tenda mereka dibongkar polisi.
Semua berawal dari izin yang diberikan pemerintah kepada PT Energi Batu Hijau (EBH) untuk menambang batubara di area kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai Barat (Kubar) Provinsi Kalimantan Timur. Masalahnya, beberapa masyarakat memprotes EBH karena menurut mereka perusahaan itu telah menyerobot lahan pertanian mereka dan merusak lingkungan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun beritalingkungan.com, warga menuntut pembayaran atas lahan yang belum dibebaskan serta rusaknya aliran sungai yang mengarah ke sungai Dingin yang diduga dilakukan oleh EBH. Misen, salah satu pemrotes menunjukkan dalam video anak sungai di sekitar tenda mereka yang airnya menggenang karena tertahan oleh galian tanah yang menurut mereka berasal dari aktivitas EBH. “Kami kesulitan air bersih dari sungai karena airnya tertahan di sini,” katanya.
Beberapa warga Dayak juga mengklaim PT EBH membangun gudang bahan peledak terlalu dekat dengan ladang tanpa izin warga sekitar. Persoalan itu berbuntut panjang sampai akhirnya sebagian warga memutuskan untuk menutup gudang itu dan jalan masuk ke area tambang sejak 2 Februari 2023 lalu.
Para pemrotes juga menyebutkan bahwa aktivitas tambang telah merusak tanaman pangan dan mencemari sungai Payang dan sungai Dingin di Muara Lawa. “Tuntutan kami adalah penyelesaian ganti rugi atas pengrusakan lahan dan pencaplokan tanah di lokasi kami,” kata Erika Siluq salah satu warga kampung Dingin.
Warga Dayak dari Kampung Dingin memblokir akses jalan ke pertambangan batu bara PT EBH dan meminta perusahaan mengganti rugi lahan dan kerusakan lingkungan. Foto: Haluan Indonesia.
Manajemen EBH lalu melaporkan tindakan warga itu ke aparat kepolisian karena telah memblokir jalan selama 45 hari, sehingga operasi perusahaan berhenti. Tindakan itu juga merugikan 449 karyawan mereka karena tidak dapat pergi bekerja dan tidak ada kepastian atas nasib mereka. “Kerugian perusahaan mencapai Rp 37 miliar,” kata Dompeng salah satu karyawan dan wakil PT EBH kepada beritalingkungan.com
Tidak tinggal diam, warga yang dipimpin Erika Siluq dan Priska juga melaporkan balik perusahaan ke Polres Kubar. Aparat kepolisian turun ke lokasi protes dan melakukan pengecekan para lahan yang sengketa pada 7 Februari yang lalu, namun tindakan kucing-kucingan masih dilakukan perusahaan.
Saat warga meninggalkan lokasi, mereka kembali memasukan alat-alat berat dan melakukan penggalian batu bara. Hal ini yang memicu kemarahan warga hingga melakukan penutupan besok harinya. Hari Kamis Polres Kubar mengadakan mediasi kedua belah pihak, tetapi mediasi itu menemui jalan buntu karena perusahaan tidak sanggup memenuhi tuntutan warga.
Warga menuntut PT EBH membayar ganti rugi atas tanah mereka yang dipakai perusahaan. Besar ganti rugi yang mereka minta adalah Rp 500 juta per ha tetapi perusahaan menolak karena harga yang wajar untuk tanah di wilayah itu hanya sekitar Rp 300 juta per ha.
“Mengenai kesepakatan nilai ganti rugi lahan, belum disepakati berapa naik dan turunnya. Sebenarnya harapan saya bisa diselesaikan dengan cara bermufakat,” ujar Ahmad, perwakilan PT EBH dalam mediasi di kantor polisi. Ia mengaku masih menunggu perintah dari kantor pusat di Jakarta.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Dayak (Gerdayak) Kalimantan Timur Erika Siluq sebagai wakil masyarakat juga mengakui mediasi deadlock. “Negosiasi harga belum tercapai dan tuntutan kami belum dibahas dengan baik sehingga kami tetap melanjutkan penutupan tambang sampai ada kepastian,” ujarnya.
Karena negosiasi tidak tercapai dan warga masih bertahan memblokir jalan masuk ke lokasi pertambangan, polisi pun membubarkan secara paksa blokir itu dan menahan para pemrotes. Mereka dibawa Kantor Polres Kutai Barat (Kubar) dan dimasukkan ke dalam sel tahanan dengan status sebagai tersangka. Polisi menuduh mereka telah memblokir jalan sehingga menghalangi para pegawai EBH untuk bekerja.
Penahanan keempat warga Dayak itu mengundang protes banyak orang, karena laporan atas tindakan perusahaan yang merusak lahan dan lingkungan disampaikan ke polisi belum diproses, justru mendahulukan laporan EBH.
Alih-alih memenuhi tuntutan pembebasan itu, rupanya polisi memilih tindakan lebih keras yaitu menambah jumlah tersangka menjadi 13 orang termasuk Erika Siluq dan suaminya. Polisi berhasil menahan 12 orang, sedangkan Erika kebetulan sedang berada di Samarinda sehingga tidak bisa ditemukan oleh polisi.
Penahanan itu menjadi berita nasional dan kelompok masyarakat sipil membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kemanusiaan Kalimantan Timur yang beranggotakan beberapa LSM seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda dan Gereja Katolik Samarinda.
Mereka meminta seluruh tahanan dibebaskan karena mempertahankan sungai tanah tanah bukan kejahatan. Mereka juga mengkritik penggunaan Undang-Undang Darurat No.12 tahun 1951 oleh polisi, karena menangkap para pemrotes dengan alasan mereka membawa senjata tajam yaitu mandau. Padahal, mandau adalah senjata yang biasa dibawa sehari-hari oleh orang Dayak saat bekerja di kebun atau masuk ke hutan.
“Masyarakat Dayak di kampung Dingin ingin mempertahankan lingkungan dan sungai mereka agar tidak dirusak oleh perusahaan tambang, masa mereka dikriminalisasi karena menolak tambang?” kata Buyung Marajo dari Pokja 30, salah satu anggota Koalisi itu kepada beritalingkungan.com.
Ia menambahkan, bahwa Koalisi meminta agar polisi segera membebaskan seluruh masyarakat Dayak Dingin yang ditahan karena mereka harus bekerja kembali, dan masih punya keluarga yang harus diasuh. Dari 12 orang Dayak yang ditahan polisi, ada seorang kakek berusia 70 tahun dan ada seorang ibu yang masih punya anak kecil yang membutuhkan kehadirannya di rumah.
Sampai akhir Mei lalu, menurut informasi yang dihimpun beritalingkungan.com, polisi bersedia melepas semua tahanan untuk sementara setelah anggota keluarga mereka menjaminnnya. Sementara urusan ganti rugi lahan telah disepakati nilainya oleh PT EBH dengan beberapa keluarga yang tanahnya dipakai perusahaan. Tidak diketahui nilai kesepakatan tersebut.
Tahanan warga Dayaka Kampung DIngin yang dibebaskan sementara oleh polisi atas jaminan dari keluarga mereka. Foto: Ist.
Kepada beritalingkungan.com Buyung Marajo menyatakan bahwa Koalisi mempersilakan soal ganti rugi lahan diselesaikan melalui negosiasi saja, tetapi seluruh tahanan harus dibebaskan tanpa syarat oleh polisi. “Persoalan intinya kan sudah selesai yaitu ganti rugi. Jadi masyarakat yang ditahan harus bebas sepenuhnya bukan bebas sementara seperti saat ini,” katanya.
Sampai berita ini ditulis polisi belum menerbitkan Surat Penghentikan Penyidikan Perkara (SP3) yang memungkinkan para tahanan itu dibebaskan tanpa syarat. (IGG Maha Adi)