SEPAKU, BERITALINGKUNGAN.COM- Kejadian banjir di Desa Bukit Subur, Binuang, Sukaraja, Tengin Baru, Karang Jinawi, Kelurahan Pemaluan, dan Kelurahan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara di Kawasan Inti Pusat Pemerintah (KIPP) IKN tanggal 17 Maret 2023 lalu merupakan fakta kejadian yang menunjukan sebab banjir yang diakibatkan bukan hanya karena tingginya curah hujan, kelerengan dan topografi.
Melainkan juga sebagai respon terhadap rusaknya lingkungan akibat praktek para aktor dalam tata kelola sumber daya hutan dan lahan selama ini di IKN khususnya, Kaltim umumnya.
Asimetris informasi menjadi akar permasalahan dalam pemindahan ibu kota ke Kaltim sehingga publik tidak tahu bahkan tidak bisa melakukan check and balance terhadap proses pembangunan yang berlangsung.
Forest Watch Indonesia mencatat, di keseluruhan Kawasan IKN terdapat 83 perusahaan tambang, 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 4 perusahaan kehutanan. Praktek industri ekstraktif ini telah banyak mengubah lanskap hutan dan lahan yang sekarang ditunjuk sebagai Kawasan IKN.
Agung, Pengkampanye Hutan FWI mengatakan, setidaknya dalam kurun waktu 2018-2021 di Kawasan IKN telah terjadi kehilangan hutan alam seluas 18 ribu hektare atau setara 1,6 kali luas Kota Bogor.
Kejadian banjir yang terjadi di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, letaknya berada di DAS Riko Manggar. Luas DAS Riko Manggar mencapai 220,8 ribu hektar, meliputi Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan Tengah, Balikpapan Utara, Kota Balikpapan serta Loa Janan, Loa Kulu, Long Kali, Penajam, Samboja, Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. KIPP berada di DAS Riko Manggar.
Sekarang ditambah dengan adanya pembangunan di Kawasan IKN seperti untuk bendungan, intake sepaku, dan untuk gedung-gedung perkantoran serta aktivitas bukaan lainnya yang luasnya dalam kurun waktu 6 bulan terakhir mencapai 14 ribu hektare. Tingginya perubahan tutupan hutan dan lahan memengaruhi banyaknya air yang seharusnya disimpan menjadi air tanah kemudian dibuang menjadi air limpasan (run off).
Kejadian banjir yang terjadi di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, letaknya berada di DAS Riko Manggar. Luas DAS Riko Manggar mencapai 220,8 ribu hektar, meliputi Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan Tengah, Balikpapan Utara, Kota Balikpapan serta Loa Janan, Loa Kulu, Long Kali, Penajam, Samboja, Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. KIPP berada di DAS Riko Manggar.
Kejadian banjir di Sepaku sangat berkaitan erat juga dengan bagaimana pola penguasaan hutan dan lahan di DAS Riko Manggar. Sebanyak 33 (2 HPH, 3 HTI, 12 Kebun Sawit dan 16 Tambang) konsesi perusahaan dengan total luas 110,3 ribu hektare telah mengubah lanskap hutan dan lahan di Das Riko Manggar. Wilayah hulu DAS Riko Manggar yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang letaknya berada di Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara, berada di KIPP IKN.
“Wilayah hulu DAS bahkan telah dikuasai perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas 48 ribu hektare atau 44 persen di DAS Riko Manggar. Penanggulangan dan penanganan banjir yang keliru jika menggunakan pendekatan administratif bukan DAS,” katanya dalam keterangan resminya yang diterima Beritalingkungan.com.
Pembangunan IKN yang secara massif dilakukan pada tahun 2022-2023 ini berdampak terhadap perubahan lanskap hutan dan lingkungan di dalam Kawasan IKN. Dari hasil analisis yang kami lakukan terdapat inkonsistensi pemanfaatan ruang dari aktifitas pembangunan yang sedang berlangsung saat ini. Sebesar 13 ribu hektar terjadi bukaan hutan dan lahan di Kawasan IKN sampai dengan bulan Mei 2022.
Kemudian kurun waktu Mei 2022 sampai Desember 2022 terjadi bukaan hutan dan lahan di dalam alokasi ruang Kawasan perlindungan Setempat dan Rimba Kota pada Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis IKN sekitar 604 hektare. “Padahal secara fungsi, pola ruang dibuat untuk konservasi air dan tanah, bukan menjadi pendorong terjadinya kerusakan lingkungan bahkan bencana di IKN.
Pembukaan hutan dan lahan juga semakin tidak terkendali, bahkan spekulan lahan sudah secara massif merusak ekosistem mangrove di luar Kawasan IKN. Sebagai contoh di Teluk Balikpapan, sudah terjadi bukaan hutan mangrove sekitar 1200 hektar selama kurun waktu 2019 sampai 2021. Padahal mangrove di Teluk Balikpapan termasuk Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang harus dilindungi. Proyek urbanisasi IKN ke Kaltim ini berdampak buruk terhadap kelestarian ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan. Bahkan pembangunan jalan tol penghubung IKN telah merusak koridor satwa dari pesisir teluk ke hutan lindung Sungai Wain (HLSW).
“Bagaimana bisa Otorita IKN kemudian memisahkan antara ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan yang masuk Kawasan IKN dan yang tidak? Pendekatan yang keliru, sementara dampak pembangunan IKN banyak berdampak ke hampir seluruh pesisir Teluk Balikpapan,” Ungkap Yolanda Pokja Pesisir.
Fathur Roziqin Fen, Pjs Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim mengatakan, baik petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan kelayakan pemindahan dan pembangunan IKN. Sebagai contoh dari proses penyusunan Undang-Undang IKN, sangat lemah dari proses partisipasi publik yang bermakna.
“Ini adalah dampak nyata dari ketimpangan penguasaan hutan dan lahan. Dengan demikian pemerintah justru menjadi pihak yang menghambat penyelesaian konflik tenurial hingga dampak buruk dari kerusakan lingkungan seperti banjir yang baru-baru ini terjadi,” Ungkapnya.
Masyarakat adat Paser Balik telah menyatakan sikap secara terbuka menolak untuk direlokasi dari wilayah adatnya, baik di dalam pertemuan resmi dengan pemerintah maupun dengan melalui pemasangan spanduk. Sejak awal pemindahan IKN hingga saat ini, masyarakat adat tidak pernah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi penuh dan efektif untuk menentukan nasib dan masa depannya di dalam proses-proses perencanaan dan pembangunan IKN. Secara substansi UU IKN beserta peraturan turunannya sama sekali tidak memberikan jaminan hukum perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.
“Dengan situasi demikian, bagi Masyarakat Adat di lokasi IKN khususnya masyarakat adat Paser balik, pembangunan IKN merupakan proyek pemusnahan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya secara langsung” Ungkap Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM, AMAN.
Menurut Fathul Huda Wiyashadi, Direktur LBH Samarinda, sejak membuat keputusan pemindahan IKN hingga proses pembangunannya berkelindan beragam pelanggaran HAM, baik hak sipol maupun ekosob. Warga setempat tidak pernah diajak berdialog dan tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam proses pembentukan kebijakan. Bahkan warga setempat kini terancam digusur dari tempat tinggal dan kampung halamannya hanya demi memuluskan megaproyek yang sama sekali tidak berdampak secara positif kepada warga.
Kebohongan demi kebohongan terus dihadirkan demi memuluskan megaproyek yang merampas ruang hidup rakyat Di samping itu, saat ini intimidasi semakin masif dilakukan oleh penguasa melalui alat-alatnya (sipil, polisi, dan militer) terhadap warga yang menolak melepaskan lahannya.
“Banjir di sepaku akan dijadikan alat legitimasi bagi pemerintah untuk terus melanjutkan proyek dengan dalih pengendalian banjir yang akan merampas ruang hidup warga di sekitar lokasi proyek,” pungkasnya (Wan)