Seekor spesies orangutan, Pongo tapanuliensis, di hutan Batang Toru, Sumatera Utara, 2 November 2017. aliveforfootball.com
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Jelang penyelenggaraan acara puncak COP15 pada 7 Desember di Montreal, Satya Bumi, NGO Lingkungan berbasis di Jakarta, menyuarakan perlindungan terhadap Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, Sumatera Utara.
Ekosistem tersebut adalah salah satu ekosistem di Indonesia yang masih asli dan kaya akan biodiversitas– sekaligus juga merupakan habitat terakhir Orangutan Tapanuli.
Lewat film berjudul “The Last Breath”, Satya Bumi bekerjasama dengan WALHI Sumatera Utara dan Green Justice Indonesia menampilkan fakta dan kondisi terkini di Hutan Tapanuli.
Acara diskusi dan pemutaran film perdana digelar di Gudskul, Jakarta pada Sabtu sore, 4 Desember 2022. Puluhan mahasiswa dari berbagai kampus di Jabodetabek, komunitas pecinta alam, hingga pecinta film, dan sejumlah media massa menjadi peserta acara.
Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut di antaranya; Direktur Green Justice Indonesia Dana Tarigan; Koordinator Litbang Divisi Konservasi Ex-Situ di Yayasan Ekosistem Lestari – Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL – SOCP) Sheila Silitonga; Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo; dan Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati.
Direktur Green Justice Indonesia Dana Tarigan mengatakan, kelangsungan Hutan Tapanuli serta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya sedang dalam ancaman karena berbagai pembangunan infrastruktur skala besar dan sejumlah konsesi lain di lanskap kritis ini yang tidak memperhatikan keseimbangan alam.
“Kami juga bingung mengapa konsesi-konsesi tersebut mendapat ijin, padahal berdampak buruk pada keanekaragaman hayati. Kita memerlukan perlindungan hukum penuh untuk memperkuat posisi legal perlindungan Batang Toru. Berbagai ijin konsesi di lanskap ini semestinya ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek dampak terhadap lingkungan dan masyarakat,” ujar Dana.
Koordinator Litbang Divisi Konservasi Ex-Situ YEL – SOCP Sheila Silitonga mengatakan Orangutan Tapanuli –yang teridentifikasi sebagai spesies terpisah dari kerabat dekatnya di Kalimantan pada 2017– sudah dikategorikan terancam punah di dunia dan masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Populasi Orangutan Tapanuli saat ini hanya tersisa sekitar 800 individu,” ujar Sheila.
Dengan semakin sempitnya habitat mereka akibat fragmentasi yang disebabkan pembangunan infrastruktur dan konsensi lain beberapa tahun belakangan ini, ujar Sheila, kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli semakin terancam.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengingatkan bahwa aspek keberlanjutan seharusnya menjadi perhatian utama dalam pembangunan.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati menilai semua pihak bertanggungjawab untuk menjaga kelangsungan Hutan Tapanuli yang penting bagi kehidupan masyarakat lokal, nasional, dan global ini.
Ia mengatakan bahwa dunia saat ini tengah mengalami tiga krisis utama yang mengancam kehidupan, yakni perubahan iklim, polusi, dan punahnya keanekaragaman hayati. Dalam momentum COP15 Desember ini, Annisa berharap Konferensi PBB tentang keanekaragaman hayati tersebut mengangkat isu ini dengan serius.
“COP15 itu 10 tahun sekali digelar, jadi kalau prediksi orangutan Tapanuli punah dalam 2030, maka di COP selanjutnya mereka sudah tidak ada, kalau kita tidak benar-benar mencari solusi,” ujar dia. “Semua pihak harus proaktif melindungi hutan Tapanuli”.
Adapun dalam COP15 di Montreal Desember ini, tuan rumahnya adalah Cina. Untuk itu, peran Cina dalam melindungi dan meningkatkan keanekaragaman hayati akan berada di punggung dunia. Cina diharapkan menggunakan pengaruhnya untuk melindungi Hutan Tapanuli dan satwa liar ikoniknya. Terutama dalam kegiatan investasi globalnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia sebagai negara hutan paling tinggi biodiversitasnya.
Annisa menegaskan, komunitas global harus berinvestasi lebih banyak serta meningkatkan skala dan kecepatan dalam melindungi alam dan mencegah kepunahan spesies. “Jangan sampai ada waktu yang terbuang untuk melindungi habitat dan memperlambat tingkat kepunahan,” pungkasnya (Wan)