Pasca Petani Klaten Terapkan SRP, Hasil Panen Beras Meningkat Hingga 400 Kg Per Hektar

Berita Lingkungan News Pertanian Pertanian Berkelanjutan Sustainable Rice Platform (SRP) Terkini

KLATEN, BERITALINGKUNGAN.COM –  Hasil panen petani dan biaya produksi bisa ditekan hingga 20% ketika petani di Klaten menerapkan Sustainable Rice Platform (SRP) atau budidaya beras berkelanjutan.

“Khusus peningkatan produksi petani mencapai 200 – 400 Kg/Ha,” kata Sekretaris Koperasi Tani Pangan lestari (KPTL) Slamet Rahayu saat ditemui di sekretariat KPTL di Desa Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada Sabtu (5/11).

Melalui konsep SRP, para petani tertarik dan mulai melakukannya dengan cara coba-coba. Jika ada petani yang memiliki 4 petak lahan sawah, maka satu petak diperuntukkan bagi SRP sebagai pembanding.

“Karena mereka masih taraf belajar, biasanya para petani, ada bukti dulu baru mereka mencoba. Tidak bisa langsung,” jelasnya.

Termasuk kader yang saat ini ada di 7 desa di Kecamatan Cawas dan 2 desa di Kecamatan Bayat. Mereka adalah pionir-pionir lokal di wilayah masing-masing yang telah menerapkan SRP.

“Kami anggotanya ada 360 orang. Kami arahkan anggota menjadi penggerak SRP di wilayah masing-masing,” terang Slamet.

Dengan konsep penggerak, mereka sekaligus berperan sebagai pendamping para petani. Mereka bertugas mengawal kegiatan budidaya beras berkelanjutan, mulai dari penanaman bibit hingga panen.

Hal senada diamini Ketua Koperasi Tani Pangan Lestari (KTPL) Rustamaji. Menurutnya, sistem pendampingan menjadi ciri khas SRP. Kegiatan tersebut difokuskan pada tujuh desa.

“Sentralnya di sekretariat ini. Di masing-masing desa, kita punya pengurus lokal. Mereka akan memantau jika menemukan adanya keluhan petani,” ujarnya.

Selanjutnya, pengurus koperasi yang ada di desa turut mengkoordinir dan memantau semua kebutuhan para petani. Termasuk mengajukan pendampingan dari pihak lain, jika dibutuhkan.

“Kita juga punya pendamping dari BPL maupun pihak lain yang sedikit lebih paham tentang pertanian. Para pendamping turun langsung ke lapangan,” ungkap Rustamaji.

Dewan Pengawas Koperasi Tani Pangan Lestari (KTPL) Budi Sulistio (44) yang juga penyuluh pertanian, membenarkan jika pihaknya aktif melakukan pendampingan kepada para petani. Menurutnya, SRP membutuhkan pendampingan, karena sebelumnya petani sempat trauma ketika mencoba pertanian organik.

“Sebelumnya, saya juga terlibat pada gerakan petani organik dan cenderung ekstrem. Harus langsung 100% menjadi organik. Itu dulu sempat menimbulkan trauma,” tegasnya.

Sementara untuk SRP yang jika disederhanakan sebagai pertanian terpadu ramah lingkungan, menurut Budi, intinya adalah sinergitas dengan banyak pihak dan mengambil peran yang tepat.

“Kegiatan yang bisa dilakukan, tetapi juga fleksibel dan tidak kaku,” ujar Budi yang juga berprofesi sebagai petani.

Budi menjelaskan, saat menerapkan 100% pertanian organik, ternyata hasil yang didapat menurun drastis. “Kultur petani kita belum siap, lahan petani belum siap. Dan parahnya lagi, ketika menghasilkan produk yang mendekati organik, pasarnya belum ada dan standar harganya juga belum ada. Itu membuat trauma di petani,” paparnya.

Hadirnya konsep SRP memberi tantangan tersendiri dan menarik untuk dicoba. Terbukti dalam 1 tahun berjalan,  koperasi telah mampu menghasilkan produksi beras sebesar 6-9 ton/ Ha per musim panen.

“Kalo di Kecamatan Cawas, kisaran 7-8 ton yang bagus. Tapi ada juga daerah-daerah yang lebih kritis masih di bawahnya. Ya variatif  hasil per petak,” ungkap Budi.

Khusus untuk varietas padi unggul lokal yang aromatik, seperti Rojolele Srinuk, hasilnya sangat baik. Harganya pun bersaing dengan beras premium lainnya, seperti Super Sidomulyo Mentik Susu.

“Dengan varietas itu bisa kelihatan bedanya. Dengan konsep SRP dan organiknya tinggi, itu aromatiknya muncul. Itu bedanya,” ujarnya.

Suasana sekretariat Koperasi Tani Pangan lestari (KPTL) yang berlokasi di Desa Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Peran Koperasi

Rustamaji menjelaskan bahwa, satu-satunya koperasi yang didirikan oleh para petani di Kabupaten Klaten hanyalah Koperasi Tani Pangan Lestari (KTPL) yang baru berumur satu tahun.

“Kita baru 1 tahun mas, belum punya Rencana Anggaran Biaya (RAB). Insyaallah nanti Januari,” jelasnya.

Menurut Rustamaji, keberadaan KTPL diinisiasi oleh beragam komunitas. Ada yang berasal dari kelompok tani, kelompok tani informal (KT Wijithukul di Cawas, KT Mawar), hingga anggota kelompok tani formal, binaan dinas pertanian. “Tapi itu sifatnya bukan atas nama kelompok tani, tapi personal,” ungkapnya.

Terbentuknya KPTL beranjak dari  kendala yang sama. Pada tahun 2020  hingga awal 2021, petani kesulitan untuk menjual gabahnya. “Akhirnya kita mencari cara agar bisa menjual dengan harga terbaik,” kata Rustamaji.

Ketika gabah ditawarkan ke beberapa pedagang pengepul ataupun kilang yang biasa mengumpulkan gabah, mereka selalu bertanya tentang kesediaan stok yang dimiliki. “Stokmu berapa? Bisa menjamin tidak ketersediaan gabah?” ujar Rustamaji menirukan sejumlah pertanyaan yang kerap disampaikan kepadanya.

Hal itu tidak mudah untuk dijawab, karena anggota koperasi berasal dari berbagai komunitas. “Jadi untuk menyediakan gabah dalam jumlah besar, kita gak bisa,” katanya.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Rustamaji mengusulkan dibentuknya kelompok yang lebih formal dan mampu menaungi semua kebutuhan anggota. Harapannya, mereka bisa menjual gabah secara bersama-sama.

Saat itu ada beberapa alternatif pilihan. Misalnya ada yang mengusulkan paguyuban, dan koperasi. “Kebetulan waktu itu kita diajak pelatihan SRP di  kebun Bayat. Disitu kita ngobrol-ngobrol dengan pak Nana (Rikolto), dan disarankan untuk membentuk koperasi,” papar Rustamaji.

Khusus terhadap anggota, Rustamaji memilih berterus terang dan tidak bisa menjanjikan hal-hal diluar kewajaran. Misalnya, ketika mereka bergabung dengan koperasi maka hasilnya akan meningkat, dan dibeli dengan harga mahal.

“Kita belum bisa. Yang bisa dilakukan hanyalah pendampingan mutlak. Proses mereka menabur benih, tanam, penyemprotan dan pemupukan mereka selalu konsultasi,” ungkapnya.

Di waktu yang bersamaan, para petani merasa senang ketika pendampingan dilakukan. Pasalnya, pendampingan dari pemeritah sering kali  tidak maksimal. Bahkan banyak petani yang tidak tersentuh sama sekali.

“BPL kerjaannya kurang maksimal. Makanya ketika kita temani, mereka semangat,” ujarnya.

Senada dengan itu, Budi Sulistio membenarkan jika KTPL diiniiasi dari sejumlah kegiatan kolektif, seperti kegiatan pertanian organik, pertanian semi organik dan kegiatan lainnya.

“Mudah-mudahan dengan bersama-sama berkumpul gerakannya lebih berpengaruh dan lebih bisa di masyarakat. Mengajak itu jika banyak orang, tentu berbeda, ketika mengajak hanya beberapa orang,” ungkapnya.

Saat itu, hanya beberapa orang yang telah melakukan budidaya secara ramah lingkungan. Sementara yang lainnya belum bisa lepas dari pemakaian pestisida.

“Bahkan meskipun pupuk kimia sudah dikurangi, mereka kita arahkan di titik-titik dimana risiko bisa dikurangi,” kata Budi.

Fungisida, misalnya. Pada fase menjelang panen sering digunakan oleh para petani, dengan alasan sebagai booster untuk mencerahkan padi. “Pengertian itu kita hilangkan, karena itu hanya fungisida,” ungkapnya.

Lebih jauh, ketika para petani belum bisa didampingi, menurut Budi, “Minimal kita warning hal-hal yang belum sesuai SRP, pengaruhnya gagal seperti ini loh. Supaya nanti menjadi pemahaman bersama.”

Aktivitas panen di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. (Fotot: Jekson Simanjuntak)

Branding SRP

Menurut Rustamaji, konsep SRP belum dipahami secara benar, baik oleh produsen (petani) maupun konsumen. Hal itu mengakibatkan, produk yang dihasilkan dengan konsep SRP tidak bisa di-branding dengan baik.

“Sehingga kita tidak bisa mem-branding perlakuan SRP. Perlakuan semacam ini, semi organik, sehingga untuk menaikkan harga belum bisa ternyata. Jatuhnya, harganya sama dengan beras umum,” terang Rustamaji.

Untuk itu, salah satu alternatif yang bisa disampaikan kepada petani adalah mengajak mereka menanam padi varietas Rojolele Srinuk. Pasalnya, harga beras Rojolele lebih tinggi dibandingkan beras pada umumnya.

“Selama ini varietas Rojolele dikenal dengan harga yang tinggi. Yang membuat para petani tertarik bergabung dengan koperasi, salah satunya kampanye beras Rojolele Srinuk,” ungkapnya.

Selain itu, pihak koperasi bertugas untuk menyalurkan benih kepada petani. Benih tersebut didapatkan dari Dinas Pertanian Kabupaten Klaten. Benih berasal dari varietas lokal yang kemudian dilakukan pemuliaan tanaman.

“Secara kebetulan, koperasi dipercaya untuk mengambil benih Srinuk dari Pemda. Itu yang bisa mengeluarkan dan mereka yang membuat benih,” ujar Rustamaji.

Dia menambahkan, “Dulu Rojolele tok, umurnya panjang dan produksinya sedikit. Tapi setelah ada rekayasa genetik yang merupakan kerjasama Pemda Klaten dengan BATAN, umurnya menjadi sama dengan padi lain. Produktivitasnya juga meningkat.”

Saat ini, permintaan beras Rojolele Srinuk melonjak tajam, karena Pemerintah Kabupaten Klaten mewajibkan setiap pegawai negeri di wilayah Klaten untuk mengkonsumsinya. “Setiap bulan dipotong gajinya,” ungkap Rustamaji.

Budi Sulistio membenarkan jika Rojolele Srinuk merupakan hasil rekayasa genetik yang dilakukan BATAN dengan mengambil indukan dari benih lokal Rajalele asal Klaten. Setelah dilakukan rekayasa genetik, umurnya menjadi lebih pendek, dan memiliki keunggulan lain, yakni rasa dan aroma yang khas.

“Umur 100 hari sudah bisa panen. Ini berbeda dengan beras Rojolele lokal Klaten yang dulu umurnya hampir setengah tahun. Hanya ini pulennya tetap sama dan petani sekarang gak bisa diajak tanam padi yang umurnya 6 bulan,” papar Budi.

Keunikan lainnya, benih Rojolele Srinuk tidak diizinkan untuk dibawa ke luar dari Kabupaten Klaten. Benih hanya diperuntukkan bagi petani yang tergabung di dalam koperasi atau kelompok tani.

“Kemarin koperasi diminta ikut membantu menyebarluaskan benih, sehingga dari dinas ada upaya menyebarluaskan penanaman di tingkat petani, salah satunya lewat kita.” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *