JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Koordinator Kelompok Kerja, Keadilan Iklim, dan Transisi Energi (ECE WG) C20 Indonesia Lisa Wijayani menyesalkan ketidakmampuan para menteri lingkungan atau iklim dari negara-negara G20 untuk menyepakati komunike bersama, terlepas dari diskusi tentang krisis iklim yang sedang berjalan.
Para pemimpin G20 seharusnya mendeklarasikan komitmen penanggulangan perubahan iklim yang lebih ambisius dan mengadopsi prinsip keadilan iklim dalam setiap aspek mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim saat G20 Summit pada bulan November 2022 nanti.
Untuk itu, kelompok Kerja ECE mendukung semua agenda yang disebutkan di dalam chair’s summary, termasuk tentang pengurangan dampak degradasi lahan dan kekeringan; peningkatan perlindungan, konservasi, dan restorasi lahan ekosistem lahan dan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati; upaya mengurangi polusi dan kerusakan lingkungan; pengelolaan sampah; pengelolaan sumber air yang berkelanjutan; sampah laut; konservasi laut; dan ekonomi sirkular—sebagian hal yang disepakati oleh para menteri tersebut.
“Meski demikian, saat ini belum ada diskusi atau bahkan penyebutan tentang kerangka waktu, kepemimpinan, dan mobilisasi dana untuk mencapai semua poin yang disebutkan di dalam ringkasan tersebut,” ujar Lisa.
Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa 71% pendanaan iklim publik diberikan lewat pinjaman sehingga memperburuk hutang negara-negara berkembang yang sudah memiliki beban hutang yang tinggi dalam konteks krisis berganda saat ini.
“Dan, meskipun tidak bertanggung jawab besar atas krisis iklim, sedang menanggung hutang iklim global north,” jelasnya.
Untuk memperoleh keluaran yang bermakna, para pemimpin negara-negara G20 didesak untuk memajukan rencana terukur dalam penanganan perubahan iklim, terutama bagi kelompok yang paling berisiko, dengan cara meningkatkan kapasitas mereka dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim, mengakui dan memformalkan peran anak-anak serta anak muda, terutama anak serta remaja perempuan; perempuan; masyarakat adat; orang tua; dan orang-orang dengan disabilitas dalam semua kerja iklim, termasuk pengambilan keputusan.
Selain itu, kurangnya diskusi antara Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CWSG) dengan Energy Transition Working Group (ETWG) dan Finance Track G20 Indonesia juga patut disoroti.
Penanggulangan masalah iklim dan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari keluaran kebijakan energi dan ekonomi. Sektor energi adalah pengemisi GRK terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya.
“Oleh karena itu, Kelompok Kerja ECE mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk mengharmoniskan transisi energi berkeadilan dengan upaya memenuhi target 1,5 derajat celsius sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris dan berkomitmen pada tata kelola sumber daya berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan lingkungan dengan percepatan pengembangan infrastruktur energi berkelanjutan, mengingat bahwa infrastruktur tersebut membutuhkan berbagai mineral dan sumber daya alam dalam jumlah besar,” ungkap Lisa.
Dia menambahkan, “Kami juga meminta negara-negara G20 untuk menghentikan investasi pada industri bahan bakar fosil yang saat ini sedang meningkat karena konflik antara Rusia dan Ukraina.”
Menurut Laporan Transparansi Iklim 2021, tidak satupun negara G20 telah memiliki tingkat ambisi yang cukup untuk mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat celsius. Tanpa komitmen yang kuat dari para raksasa besar ekonomi dunia, negara-negara dan masyarakat yang kurang berandil dalam menyebabkan perubahan iklim akan lebih menanggung dampak-dampaknya.
Laporan IPCC terbaru menunjukkan bahwa manusia memiliki kurang dari tiga tahun lagi untuk mengubah pola emisi GRK dunia dan mengingatkan bahwa cuaca ekstrem dan berbagai bencana alam akan terjadi lebih sering dan intens dan lebih berdampak pada kelompok-kelompok rentan di global south.
“Krisis ini telah menyebabkan kematian, kekeringan, kelaparan, kepunahan spesies pada tingkat lokal, migrasi, dan kerugian yang mencapai miliaran dolar A.S,” ujarnya.
Masyarakat adat, lokal, dan sipil juga masih kurang dilibatkan dalam diskusi dan perencanaan penanggulangan perubahan iklim dan masalah-masalah lingkungan lainnya. Selama ini, pembangunan dan inisiatif-inisiatif iklim memperlakukan kelompok-kelompok rentan sebagai korban, bukan agen perubahan yang bisa memimpin dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan.
“Padahal, banyak proyek lingkungan yang direncanakan tanpa pelibatan masyarakat lokal telah menyebabkan maladaptasi yang memperburuk masalah, bukan menyelesaikannya,” ungkap Lisa.
Senada dengan itu, Koordinator Sub-Kelompok Kerja AFOLU dan Hak dari Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia Anggalia Putri mendesak negara-negara G20 untuk menyepakati komitmen yang lebih ambisius untuk menghentikan perusakan ekosistem alam, baik ekosistem darat, pesisir, maupun laut, dan mempercepat pemulihan ekosistem yang rusak dalam rangka mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1.5 derajat celcius.
“Menjaga ekosistem alam, terutama hutan alam tersisa, merupakan upaya mitigasi krisis iklim yang efektif biaya dari sektor AFOLU. Untuk mewujudkan keadilan iklim dan lingkungan, upaya transisi energi dan pemulihan ekonomi harus selalu melibatkan dan menghormati hak-hak masyarakat serta sejalan dengan perlindungan dan pemulihan ekosistem,” terang Anggalia Putri, yang diundang dalam rapat ketiga EDM-CWSG, Senin 29 Agustus lalu sebagai pengamat.
Terakhir, ECE WG C20 Indonesia mendesak semua pemimpin di dunia, baik anggota maupun nonanggota G20, untuk memastikan perlindungan para pejuang lingkungan lewat upaya-upaya hukum dan menghentikan segala bentuk kekerasan, ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi. (Jekson Simanjuntak)