NUSA DUA, BALI, BERITALINGKUNGAN.COM – Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri Permatasari mengatakan bahwa kesenjangan finansial untuk mewujudkan potensi mitigasi di sektor Agricultural, Forestry and Other Land Use (AFOLU) secara global sangat besar.
“Yang dibutuhkan mencapai USD400 miliar/ tahun, sementara yang tersedia saat ini USD 0,7 miliar/tahun,” ungkapnya saat menjadi pembicara pada diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Bali, (6/10).
Anggalia menyebut sektor kehutanan dan tata guna lahan merupakan sektor yang masih berupaya untuk mencapai target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Untuk itu diperlukan distribusi beban mitigasi bersyarat dalam NDC yang perlu ditingkatkan.
“Sepanjang tahun 2018 – 2030 diperlukan USD285 miliar untuk target NDC bersyarat di semua sektor,” katanya.
Dalam konteks kerentanan yang lebih tinggi, diperlukan dukungan yang jauh lebih besar untuk kegiatan adaptasi. “Diperkirakan potensi kerugian mencapai USD38 miliar akibat perubahan iklim. Sementara itu, kebutuhan pendanaan baru USD11,4 miliar untuk mengimplementasikan peta jalan adaptasi NDC,” ujar Anggalia.
Sejauh ini, Indonesia baru memenuhi 34% dari dana yang diperlukan untuk mengimplementasikan roadmap adaptasi NDC. Dana tersebut digunakan untuk membiayai dua program nasional yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat agar mendapat dukungan dan koherensi yang lebih besar.
Program tersebut adalah Program Perhutanan Sosial yang merupakan akses kelola masyarakat yang diimplementasikan melalui lima skema, yaitu: Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan.
Masing-masing skema mempunyai karakteristik yang berbeda dan masyarakat dipersilahkan memilih, sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki, tipologi biofisik kawasan yang akan dimohonkan, serta tujuan izin akses untuk mengelola hutan.
“Sepanjang perjalanannya, Program Perhutanan Sosial dianggap strategi kunci untuk mencapai Indonesia FOLU net sink 2030,” ujarnya. Program ini dianggap mampu untuk mencapai ketahanan ekosistem dan lanskap di NDC.
Program berikutnya adalah Program Kampung Iklim (Proklim). Program nasional ini diharapkan mampu memperkuat kapasitas adaptif dan pengurangan emisi di tingkat tapak dengan fokus pada partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Sejauh ini, Yayasan Madani Berkelanjutan turut andil untuk membangun aksi adaptasi dan mitigasi bersama yang sifatnya kolaboratif di tingkat akar rumput untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan membantu mengurangi emisi.
Sejumlah cara yang dipilih, diantaranya produksi dan distribusi budidaya kopi organik, pengelolaan sampah organik dan membuat kelompok usaha serta mengintegrasikan basis data ekonomi sosial dan spasial ke dalam perencanaan pembangunan daerah.
“Salah satunya, kami berhasil mengintegrasikan Kampung Iklim dan Perhutanan Sosial di Nagari Sirukam, Sumatera Barat bekerjasama dengan KKI-Warsi,” ungkapnya.
Lebih jauh, Anggalia menyebut pelaksanaan Perhutanan Sosial dan Proklim telah membuka beberapa peluang ekonomi baru bagi masyarakat lokal. Hal itu bisa dilihat dari dukungan pemerintah daerah untuk menyalurkan dana desa dalam Perhutanan Sosial.
Hal lainnya, terbangunnya kerjasama dengan BUMDes untuk memperluas pemasaran produk, dukungan perangkat bisnis dari pemerintah di daerah hingga mobilisasi pemuda untuk kegiatan pengembangan bisnis turut andil memajukan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan itu, menurut Anggalia, membuktikan bahwa tanpa investasi kaitannya dengan fasilitasi proses sosial dan membangun kapasitas kelembagaan masyarakat, maka tidak ada aksi iklim di tingkat lokal yang layak dan berkelanjutan.
“Sumber daya untuk memfasilitasi proses masyarakat berpartisipasi tersebar sangat kecil dan tindakan ini mungkin tidak akan memberikan hasil iklim dalam jangka pendek,” terangnya.
Di sisi lain, Anggalia menyebut akses pendanaan iklim di tingkat nasional membutuhkan organisasi masyarakat dan kapasitas kelembagaan tingkat lanjut. Kapasitas kelembagaan tidak mudah untuk diwujudkan karena membutuhkan pendampingan terus menerus.
Sementara itu, mobilisasi pendanaan yang ada saat ini masih terfokus pada mitigasi (seperti: REDD+), bukan program bersama adaptasi dan mitigasi, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan di tingkat akar rumput.
Temuan lainnya terkait dengan persyaratan yang rumit. Hal itu mengakibatkan banyak komunitas tidak mampu mengakses pendanaan iklim meskipun mereka sebagai kelompok rentan.
“Komunitas yang benar-benar menjaga dan melindungi hutan dan menghadapi kerentanan mungkin akan tertinggal,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)