CIREBON, BERITALINGKUNGAN.COM – PLTU Cirebon 1 berkapasitas 1 x 1000 megawatt yang terletak 10 km di sebelah timur Kota Cirebon, Jawa Barat telah mengakibatkan perubahan drastis, baik dari sisi lingkungan maupun tatanan kehidupan masyarakat.
Hal itu diamini oleh Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat Wahyudin (Iwang). Menurutnya, PLTU Cirebon 1 yang dibangun di atas lahan seluas 150 ha telah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang tadinya merupakan lahan pertanian, khususnya tambak garam berubah menjadi lahan terlantar tidak terurus.
“Terjadi perubahan fungi lahan bagi masyarakat Desa Kanci, yang dulunya masyarakat bergantung mata pencariannya dari bertambak garam,” katanya.
Bahkan, tanah yang ada saat ini, sudah banyak dikuasai oleh koorporasi. Masyarakat tidak lagi memiliki lahan. “Sebagian tanah yang ada disini, bukan milik pribadi. Ini adalah lahan yang sudah berpindah tangan ke beberapa perusahaan yang mayoritas didominasi oleh perusahaan China. Sistemnya adalah sewa atau kerja sama,” ungkapnya.
Kehadiran PLTU yang dibangun dengan skema Independent Power Producer (IPP) itu telah mengakibatkan kehidupan nelayan, baik nelayan tradisional (menggunakan perahu) maupun nelayan pinggiran (mencari ikan di pinggir pantai) terpuruk. Mereka tidak lagi bisa melaut, karen akses menuju laut telah ditutup oleh PLTU.
“Dua komunitas tersebut sudah tertutup aksesnya ketika ada PLTU. Artinya mereka tidak bisa ke laut dan drastis mata pencaharian hilang,” jelas Wahyudin.
Hal yang sama juga dialami oleh petani tambak garam dan masyarakat yang mengusahakan tambak ikan atau udang. Menurut Wahyudin, para petani yang dulunya berusaha tambak ikan, seperti Bandeng dan udang Panami, jumlahnya terus menyusut. Jika pun ada, mereka sudah tidak memiliki lahan.
“Yang masih bertahan hingga saat ini adalah petani tambak dan sistemnya bukan milik pribadi tetapi nyewa ke beberapa perusahaan China yang memiliki lahan tersebut,” ujarnya.
Perubahan iklim
Hal lainnya terkait dengan pemanasan global, menurut Wahyudin, sudah sangat nyata. Wilayah Cirebon yang dulunya dikenal panas, kini suhunya terus meningkat seiring beroperasinya PLTU Cirebon 1. Hal itu ditengarai mempercepat terjadinya perubahan iklim.
“Perubahan iklim juga dirasakan, dimana Cirebon ini memang sangat panas. Tetapi ketika ada PLTU, suhunya semakin tinggi, akibat pembakaran batu bara untuk membangkitkan listrik di PLTU,” terang Wahyudin.
Greenpeace Indonesia mencatat, satu PLTU memiliki masa operasi, rata-rata 25-30 tahun. Ketika beroperasi 24 jam dalam sehari, PLTU mengemisikan polutan mematikan seperti PM2,5, PM10, NOx, SO2 serta debu.
Bahkan ketika PLTU mengklaim menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi (high efficiency and low emmission/HELE) seperti clean coal technology (super critical dan ultra super critical), ternyata sistem HELE tetap melepaskan emisi CO2 ke udara yang menyebabkan pemanasan global.
Di sisi lain, Indonesia mengakui Perjanjian Paris, namun PLTU batubara terus ditambah. Situasi ini, berdampak buruk dan berkontribusi signifikan untuk pemanasan global.
Sementara itu, Endcoal.org mencatat sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt. Pembangkit-pembangkit itu telah menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia yang mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.
Indonesia merupakan negara dengan PLTU terbanyak di dunia. Posisinya berada dibawah Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Rusia. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Indonesia, pengadaan listrik masih 61% bergantung PLTU batubara. Ini artinya, energi kotor masih mendominasi.
Masih menurut Endcoal.org, jika rencana pembangunan 1.200 PLTU di seluruh dunia tetap berlangsung, diperkirakan temperatur Bumi naik hingga lima derajat celcius. Kiamat jadi nyata.
Hal buruk lainnya
PLTU batubara melepas polutan udara mematikan, mengakibatkan penyakit serius dan kematian dini. Hal itu terbukti di Cirebon dengan kehadiran PLTU Cirebon 1. Banyak warga terpapar beberapa penyakit kronis seperti, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit kulit.
“Warga mengalami ISPA dan gatal-gatal dan sebagian nelayan juga sama,” ungkap Wahyudin.
Dari sisi teknologi, PLTU Cirebon 1 yang menggunakan metode supercritical boiler telah mengakibatkan pencemaran ekosistem laut. Sistem pendingin cooling tower yang ditengarai ramah lingkungan telah menyebabkan matinya biota laut, pasca pembuangan limbah ke tengah laut.
“Ada saluran khusus dari PLTU yang dibuang langsung ke laut. Air itu sangat panas sehingga mempengaruhi habitat. Akibatnya ikan-ikan hilang dan mati,” ujar Wahyudin.
Tak berhenti sampai disitu, kerusakan ekosistem di sekitar PLTU juga diakibatkan oleh proses bongkar muat batu bara. Aktivitas itu berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan laut di kawasan PLTU.
“Misalnya, tongkang-tongkang batu bara yang ketika melempar jangkar telah merusak jaring-jaring tangkap milik nelayan dan juga merusak karang yang merupakan habitat ikan,” paparnya.
Keberadaan kongkang tersebut hanya sejauh 100m dari jety. Jety merupakan akses untuk melakukan bongkar muat batu bara. “Jika kita berada di pinggir pantai, tongkang batu bara bisa kita lihat, paling sedikit 10 tongkang dalam setiap kedatangan,” kata Wahyudin.
Dalam sebulan, periode kedatangan tongkang sebanyak tiga kali. Jika ditotal jumlah tongkang dalam sebulan mencapai 30 kapal yang kebanyakan berasal dari Kalimantan.
“Semua tongkang berasal dari Kalimantan, baik untuk PLTU I maupun PLTU II,” ujarnya.
Beralih Profesi
Saat ini, kondisi masyarakat di sekitar PLTU Cirebon 1 sangat mengkhawatirkan. Masyarakat mengalami kehilangan mata pencaharian, sehingga harus melakukan alih profesi.
“Mereka yang awalnya petambak garam, nelayan pinggiran dan nelayan tradisional, beralih menjadi kuli bangunan. Mayoritas kuli bangunan,” ungkap Wahyudin.
Selain itu, banyak juga warga yang menganggur, karena tidak memiliki keahlian lain. Dalam kondisi tertentu, mereka terpaksa melakukan apa saja demi bertahan hidup.
“Keahlian mereka hanya sebagai petani, nelayan pinggiran dan nelayan tradisional, karena sudah melakukannya bertahun-tahun,” ujarnya. Itu yang mereka dapatkan secara turun temurun sebagai peninggalan nenek moyang.
Khusus terkait perempuan, Wahyudin menyebutnya sebagai keprihatinan tersendiri. Pasalnya, sebagian besar ibu-ibu yang tadinya ikut membantu suami sebagai petani atau nelayan pinggiran, kini kehilangan mata pencaharian.
“Mereka sangat sulit berpindah profesi dari yang tadinya petani atau nelayan, ketika akses dan ruang hidup terampas, mereka tidak ada penghasilan,” katanya.
Minim Perhatian
Menurut Wahyudin, masyarakat di sekitar PLTU seakan berjuang sendiri. Pasca berdirinya PLTU Cirebon 1 disusul PLTU Cirebon 2, peran pemerintah daerah sangat minim. Tidak banyak yang dilakukan untuk mendukung ruang hidup dan kehidupan masyarakat.
“Faktanya hingga saat ini, saya menyayangkan sekali, kehadiran pemerintah tidak menjawab terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat terdampak langsung, ketika mata pencaharian mereka hilang,” katanya.
Sejauh ini, WALHI Jabar menjadi salah satu pihak yang aktif memperjuangkan nasib petani dan nelayan di kawasan PLTU. Mereka terus menyuarakannya ke sejumlah pihak, termasuk pemerintah daerah.
“Kami berada terus di tengah-tengah untuk menyuarakan ini kepada pemerintah dan mengajak komunitas, karena praktik yang terjadi tidak menempatkan pemerintah, bagaimana pasca pembangunan, pasca pembebasan, dan pasca akses ruang masyarakat ini hilang,” ungkapnya.
Wahyuddin berharap, pemerintah segera menjawab kegelisahan masyarakat. Namun yang terjadi tidak demikian. “Itu yang kami sayangkan,” kata Wahyudin.
Selama ini, memang ada aturan tentang tanggungjawab pihak perusahaan melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR). Hanya saja, menurut Wahyudin, CSR belum mampu menjawab persoalan masyarakat.
“CSR sendiri tidak dalam konteks menjawab bagaimana kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Jika diberikan, seharusnya yang mendapatnya adalah masyarakat, utamanya mereka yang terdampak secara langsung. “Bukan organisasi, bukan ormas, bukan tokoh masyarakat, bukan kepala desa. Bukan! Tapi masyarakat terdampak lansung,” jelas Wahyudin.
Sejauh ini, PLTU di Cirebon dibangun oleh konsorsium yang terdiri dari Marubeni (Jepang), Indika Energy (Indonesia), Samtan dan Komipo (Korea) dan Jera (Jepang). PLTU tersebut mendapatkan pembiayaan melalui tiga lembaga keuangan yaitu Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) untuk PLTU Cirebon 2. (Jekson Simanjuntak)