Beruntung Indonesia Punya Badak Sumatra dan Badak Jawa

Berita Lingkungan Keanekaragaman Hayati News Satwa Terkini

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM –Setiap tanggal 22 September 2022 diperingati sebagai Hari Badak Sedunia. Tujuannya yaitu untuk memberikan penyadartahuan tentang perlunya mengajak masyarakat turut berperan dalam tindakan konservasi badak di dunia yang berada dalam kondisi terancam punah.

Di dunia sendiri terdapat 5 jenis badak, yaitu badak hitam dan badak putih Afrika, badak India, badak Sumatra, dan badak Jawa. Terkait statusnya konservasinya yang kritis (critically endangered) berdasarkan Daftar Merah IUCN, badak Sumatra dan badak Jawa terus menjadi perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait di Indonesia agar tetap terlindungi dari ancaman kepunahan, salah satunya melalui kegiatan edukasi.

Direktur Komunikasi dan kemitraan Yayasan KEHATI Rika Anggraini mengatakan, masih banyak masyarakat yang tidak tahu pentingnya melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia, termasuk badak.

“Tak hanya memberikan dampak ekologi, badak juga memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Badak juga merupakan simbol kebanggan bangsa Indonesia yang harus dijaga,” ujarnya.

Upaya pelestarian

Melalui Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Populasi Badak Sumatra, beberapa strategi pemulihan populasi badak Sumatra telah dilakukan oleh pemerintah bersama beberapa pihak.

Kegiatannya meliputi proteksi intensif di kawasan Leuser, membangun fasilitas pengembangbiakan atau suaka badak, dan penerapan teknologi reproduksi perbantuan untuk perkembangbiakan badak.

Sejauh ini, Yayasan KEHATI ikut terlibat dalam konservasi badak melalui program pengalihan pembayaran utang pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat sejak tahun 2017 di beberapa kantong populasi badak seperti di TN Gunung Leuser, TN Bukit Barisan, dan TN Way Kambas.

Terkait pelestarian badak Jawa, menurut Rika, terdapat usulan perluasan habitat. Selain untuk menghindari  ancaman erupsi Gunung Anak Krakatau dan terjangan tsunami, ketersediaan pakan diharapkan bisa menjadi solusi dari perluasan habitat badak Jawa.

“Peran semua pihak untuk terus mengampanyekan pelestarian badak Sumatra dan badak Jawa juga menjadi penting, apalagi di era digital seperti sekarang,” tegasnya.

Masih eksisnya kedua jenis badak ini merupakan kebanggan tersendiri di tengah kepunahan koleganya di negara tetangga. “Namun tentu kita tidak boleh berpuas diri. Dukungan dari semua pihak tetap diperlukan agar badak Sumatra dan badak Jawa tetap lestari,” ungkap Rika.

Mengenal Badak

Secara umum terdapat beberapa perbedaan antara badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Dari sisi fisik, menurut Rika, badak Sumatra merupakan badak terkecil di dunia, dan merupakan satu-satunya badak yang ditutupi oleh rambut.

“Sebelumnya, badak Sumatra memiliki julukan badak bertubuh kecil bercula dua,” ujarnya. Ciri-ciri lainnya yaitu telinga yang besar, kulit berwarna cokelat keabu-abuan atau kemerah-merahan, dan memiliki panjang cula berkisar 25-80 cm.

Sementara badak Jawa merupakan mamalia terbesar kedua setelah gajah di Asia, dengan bobot 1.600-2.280 kilogram. “Badak Jawa memiliki keunikan yaitu bercula satu dan memiliki kulit seperti baju zirah,” kata Rika.

Bibir atasnya yang lebih menonjol digunakan untuk meraih makanan dan memasukannya ke dalam mulut.

Sementara terkait dengan habitat, badak Sumatra bisa dijumpai di Pulau Sumatera baik di alam liar, maupun di kawasan  konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Way Kambas, dan Taman Nasional Bukit Barisan.

“Badak Sumatra juga dapat ditemukan di Kutai Kalimantan Timur,”ucapnya.

Adapun habitat badak Jawa terfokus di Taman Nasional Ujung Kulon. Badak Sumatra sebelumnya, menempati daerah penyebaran yang cukup luas di hutan-hutan dataran rendah dan menengah di Asia yang meliputi India, Bhutan, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia (Semenanjung Malaya dan Sabah), Indonesia (Sumatra dan Kalimantan) dan barat daya China, terutama di Sichuan.

“Sedangkan badak Jawa sebelumnya tersebar di Pulau Jawa dan Sumatra, seluruh. Asia Tenggara sampai ke India dan China,” papar Rika.

Khusus terkait dengan populasi dan status Pelestarian, badak Sumatra diperkirakan kurang dari 100 individu di alam berdasarkan Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) tahun 2016 dan hanya tinggal di Indonesia.

Sedangkan badak Jawa berjumlah sekitar 75 individu berdasarkan data KLHK tahun 2021. “Badak Sumatra dan badak Jawa sama-sama berstatus kritis (critically endangered) berdasarkan Daftar Merah IUCN,” terang Rika.

Selain itu, kemampuan badak dalam menyebarkan benih sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Kotoran dan tanah pijakan badak dapat menjadi tempat yang baik untuk benih tumbuhan hidup.

Badak sendiri merupakan satwa pemakan semak dan pucuk daun sehingga merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru, dimana pucuk daun yang baru tumbuh dapat menyerap karbon dioksida lebih banyak dari pucuk yang sudah tua.

Badak di Afrika juga memiliki daya tarik bagi tumbuhnya kegiatan ekowisata melalui kegiatan safari. Tetapi di Indonesia, badak yang hidup di Taman nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Leuser, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih belum siap untuk dikembangkan menjadi obyek ekowisata.

Ancaman

Menuru Rika, salah satu penyebab rendahnya populasi badak Sumatra dikarenakan rendahnya kapasitas reproduksi individu badak di habitatnya. Selain itu, perburuan dan ketersediaan habitat yang memadai kemungkinan besar masih menjadi ancaman yang serius bagi kelestarian badak dalam jangka panjang.

“Badak Jawa walau ditengarai sudah tidak terdapat perburuan, ketersediaan pangan menjadi ancaman tersendiri,” ujarnya.

Hal itu terjadi karena tumbuhan invasif secara perlahan mengusir tumbuhan asli pakan badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.

Senada dengan itu, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Hariyanto mengungkapkan, invasi langkap (Arenga obtusifolia) merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat badak Jawa secara alami.

Dalam jangka panjang, tanpa adanya pengendalian spesies ini,  dapat menyebabkan menurunnya populasi satwa ini. “Tak heran akan berdampak pada kurangnya keanekaragaman hayati di Taman Nasional Ujung Kulon,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *