JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Indonesia Ocean Justice Initiative bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan meluncurkan laporan studi bertajuk “Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan
Kelembagaan”.
Peluncuran ini ditandai dengan pidato utama oleh Menteri Ketenagakerjaan RI dan Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009. Temuan dan rekomendasi laporan dibahas oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Direktur Perlindungan
Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE dan perwakilan dari IOJI. Berbagai instansi pemerintah, parlemen, organisasi internasional dan masyarakat sipil termasuk serikat pekerja hadir untuk menguatkan bahasan kerangka hukum dan tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP).
PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia (trafficking in person). Berangkat dari penelitian hukum dengan pendekatan sosio-legal, Tim Peneliti IOJI mengidentifikasi lima akar masalah yang menghambat pelindungan PMI PP.
Akar masalah utama tersebut antara lain 1) kelemahan instrumen hukum di tingkat internasional, regional, nasional, dan daerah; 2) tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan dalam pelindungan PMI PP; 3) ketimpangan relasi kuasa antara PMI PP dan pemberi kerja; 4) pelanggaran sistemik pada proses perekrutan dan penempatan PMI PP; serta 5) kelemahan sistem informasi, penanganan pengaduan, dan rendahnya akuntabilitas.
“Pemerintah diamanatkan Konstitusi untuk memberikan perlindungan kepada seluruh bangsa Indonesia, termasuk PMI PP”, ujar Dr. Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia periode 2001-2009. Dalam rangka penguatan pelindungan PMI PP, berbagai rekomendasi kebijakan dan aksi maka disampaikan IOJI dalam laporan ini. Pertama, pengembangan kerangka hukum dan tata kelola penempatan PMI PP, terutama melalui ratifikasi ILO C-188 dan CTA 2012, pembentukan standar perburuhan bagi pelaut perikanan migran di tingkat regional, serta implementasi peraturan perundang-undangan yang menjamin pelindungan bagi PMI PP.
“Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 merupakan bagian dari perbaikan tata kelola penempatan PMI PP. Kementerian Ketenagakerjaan akan segera menindaklanjuti segala ketentuan dalam PP 22/2022 melalui penerbitan peraturan menteri. Rekomendasi-rekomendasi dalam laporan IOJI akan sangat mendukung
proses penerbitan aturan ini,” ujar Menteri Ketenagakerjaan, Dr. Hj. Ida Fauziyah, M.Si dalam keterangan resminya yang diterima Beritalingkungan.com (14/9).
Penyusunan Memorandum of Understanding (MoU) terkait penempatan PMI PP dengan negara tujuan penempatan merupakan langkah penting dalam pengembangan kerangka hukum. “Kementerian Luar Negeri fokus membangun koridor aman penempatan PMI PP, salah satunya melalui MoU penempatan khusus sea-based workers, yang tengah dijajaki dengan Pemerintah Tiongkok dan Taiwan,” sebagaimana disampaikan oleh Judha Nugraha, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri.
Kedua, penguatan fungsi kelembagaan dan koordinasi lintas instansi dalam rangka melaksanakan tugas terkait pelindungan PMI PP, baik di dalam maupun luar negeri. Menurut Anggota Komisi IX DPR, Hj. Nur Nadlifah, S.Ag., M.M, “Penerbitan PP 22/2022 diharapkan dapat menguatkan fungsi kelembagaan melalui penegasan kewenangan
kementerian/lembaga terkait dalam pelindungan PMI PP. Koordinasi yang kuat antara instansi Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat juga diperlukan.”
Rekomendasi ketiga yang diajukan IOJI adalah penguatan posisi tawar PMI PP melalui pengorganisasian, edukasi, dan standardisasi perjanjian kerja. Menurut CEO IOJI, Dr. Mas Achmad Santosa, minimnya informasi mengenai deskripsi kerja dan hak-hak pekerja, juga rendahnya tingkat pendidikan pekerja migran, menempatkan PMI PP
pada posisi tawar yang tidak seimbang di hadapan perekrut dan pemberi kerja sejak tahap seleksi hingga penempatan.
Keempat, perbaikan sistem dan penegakan hukum guna memberantas pelanggaran sistematis dalam penempatan PMI PP. Langkah-langkah perbaikan antara lain ketersediaan database pelaut perikanan Indonesia yang terintegrasi untuk mencegah penempatan non-prosedural, penegakan hukum yang memberi efek jera bagi pelaku penempatan non-prosedural, kerjasama internasional melalui Interpol, serta pelatihan intensif bagi aparat penegak hukum dan hakim terkait hak PMI PP atas restitusi.
Anis Hidayah mendukung Pemerintah melakukan langkah-langkah diatas. “Selama ini, terdapat impunitas bagi korporasi-korporasi yang melakukan eksploitasi dan perbudakan modern terhadap PMI PP,” ujar Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.
Rekomendasi kelima adalah penguatan transparansi, akses informasi, dan akuntabilitas pelindungan PMI PP melalui digitalisasi informasi, sebagaimana juga didukung oleh Menteri Ketenagakerjaan. Penguatan ini dapat dimulai dengan pengembangan aplikasi PMI PP yang real time dan terintegrasi antar instansi. Solusi berbasis teknologi digital yang mudah diakses oleh PMI PP dan keluarganya di sepanjang proses migrasi PMI PP ini perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah, kelompok masyarakat sipil, termasuk dunia usaha, terutama dalam perwujudan pembebanan biaya remitansi minimum dan transparan. Solusi ini akan mendukung terlaksananya migrasi PMI PP yang aman, adil, teratur dari Indonesia hingga negara tujuan (Wan)