JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pendiri dan Direktur Eksekutif Yayasan Cerah Indonesia Adhityani Putri mewanti-wanti bahwa musim pemilu 2024 merupakan momen yang harus diwaspadai oleh anak muda. Pada saat itu, suara anak muda menjadi pihak yang diperebutkan oleh partai-partai peserta pemilu, mengingatnya jumlahnya yang besar sebagai pemilih pemula.
Untuk itu, Adhityani Putri akrab disapa Dhitri menjelaskan bahwa anak muda perlu bersikap kritis terhadap kebijakan yang telah diambil pemerintah, termasuk menyikapi janji-janji kampanye para capres dan parpol yang akan berlaga.
“Anak muda harus bisa mengkritisi kebijakan transisi energi berkeadilan,” ujarnya pada sesi Editor Forum SIEJ dan Yayasan Indonesia Cerah, DI Jakarta, Sabtu (20/8).
Hal itu perlu dilakukan karena kebijakan iklim Indonesia dianggap belum cukup atau tidak sesuai dengan potensi dan tanggung jawab Indonesia dalam rangka upaya menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat.
Tahun ini, Indonesia seharusnya telah menyerahkan NDC Update, sebuah proses yang sudah dimulai sejak minggu lalu. “Namun sampai saat ini masih berlangsung diskusi lintas kementerian untuk menjajaki apakah bisa meningkatkan target penurunan emisi Indonesia,” terangnya.
Sejauh ini, NDC Indonesia dianggap belum memuat detail target sub sektor yang kemudian berdampak pada kebijakan perdagangan karbon yang sedang berpolemik, termasuk berapa sesungguhnya kewajiban sektor dan aktor swasta.
Hal lainnya terkait dengan pendanaan hijau bagi pemulihan ekonomi dan krisis iklim. Menurut Dhitri, kolaborasi anak muda diperlukan sebagai jawaban untuk menyikapi krisis iklim yang diakibatkan oleh penggunaan energi kotor, termasuk politik (kebijakan) menjelang tahun 2024.
“Akan banyak ruang bagi suara anak muda menyoroti konflik kepentingan antara politikus dan kepentingan bisnis (oligarki) jelang 2024,” ucapnya.
Senada dengan itu, Koordinator Nasional Extinction Rebellion (XR) Indonesia Melissa Kowari mengungkapkan bahwa anak-anak muda Indonesia sudah bergerak dan semakin masif membunyikan lonceng bahaya krisis iklim.
“Sederhananya, hanya ada dua pilihan hidup bagi anak muda saat ini, yakni tetap bertahan hidup dalam krisis iklim atau berjuang menjawab krisis iklim tersebut,” ujarnya.
Melissa menambahkan, “Masalahnya, anak muda cenderung seolah sebagai subjek yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan saat ini. Padahal situasinya, anak-anak muda ini diwariskan tanpa ada kebijakan yang mendukung dan menopang, terutama kebijakan politik (generasi tua).”
Misalnya, anak-anak muda memiliki kegiatan intensif mengendalikan sampah plastik, sementara pemerintah masih terus mengizinkan mengimpor plastik yang berpotensi menambah tumpukan sampah plastik di lingkungan.
“Generasi tua membuat generasi muda makin banyak pekerjaan memperbaiki kondisi iklim saat ini. Beban anak muda sebagai keresahan dan kegelisahan iklim yang terus memburuk ke depannya,” ungkapnya.
Melissa yang juga perwakilan Jeda untuk Iklim mengungkapkan, saat ini suara anak muda tentang krisis iklim bukan hanya terkait krisis lingkungan, namun juga krisis kehidupan. Itu seiring data BNPB yang menyatakan jumlah korban jiwa yang terdampak bencana terus meningkat, baik korban bencana alam hingga bencana ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakadilan sistemik.
“Upaya anak-anak muda ialah membangun kesadaran kolektif, mengaplikasi bagaimana anak-anak muda mesti panik dengan kondisi krisis lingkungan saat ini. Mendorong pemerintah melalui people power tersebut,” ujarnya.
Di saat yang bersamaan, anak-anak muda terus melakukan langkah politik, baik dari tataran atas (top up) ataupun gerakan di tapak. “Anak-anak muda telah banyak memulai, seperti startup ekonomi dan bisnis hijau, hingga gerakan-gerakan masif dilakukan seperti gerakan menyatakan darurat iklim hingga melaporkan kerusakan/krisis iklim sebagao pelanggaran HAM,” terang Melissa.
Kolaborasi sendiri sangat diperlukan anak-anak muda bersama-sama media, bagaimana menyuarakan, menyebarluaskan contoh baik hingga membawa isu krisis iklim dalam setiap pembicaraan publik lintas isu.
“Kita butuh semua orang, untuk menyebarluaskan ini. Meski sebenarnya hal ini seharusnya dilakukan Pemerintah yang masih salah arah saat ini,” katanya.
Sementara itu, laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terakhir memperlihatkan trend kenaikan produksi karbon meski telah ada sejumlah kesepakatan dan keinginan dunia menurunkannya. Situasi itu menjadi potret kondisi iklim yang kian memburuk saat ini.
CEO Lanscape Indonesia Agus Sari menilai, kerusakan lingkungan yang terjadi menjadi red code for humanity, agar makin banyak pihak menjadikan kerusakan iklim sebagai krisis yang perlu diwaspadai.
“Situasi iklim yang terus memburuk dan mengancam meski sejumlah pertemuan dunia mengupaya perbaikan. Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan politikus menjawab permasalahan krisis lingkungan kita saat ini,” ujar Agus Sari.
Untuk mengatasi hal itu, Agus menjelaskan bahwa diperlukan kebijakan politik yang masif dan lebih ambisius mengatasi permasalahan krisis iklim. Indonesia sejatinya memiliki solusi atas krisis iklim, didasarkan atas kekayaan sumber daya alam, potensi sumber daya manusia hingga teknologi.
“Seperti pemanfaatan energi baru terbarukan (renewable energy) dari matahari, angin dan laut,” terangnya.
Dengan demikian, perlu upaya membahasakan dan menyampaikan pesan kepada masyarakat mengenai kondisi lingkungan pasca-krisis. Salah satunya ialah mendekatkan isu-isu krisis iklim pada kehidupan masyarakat.
“Misalnya saat polusi udara Jakarta pernah menjadi yang terburuk di dunia, masyarakat seharusnya diberi peringatan dan dilarang ke luar ruangan,” jelasnya.
Pasalnya, ditengah kondisi udara yang buruk, warga yang berada di luar ruangan akan mengalami dampak yang buruk dengan kesehatannya. “Hal-hal seperti ini yang perlu terus disuarakan. Media-lah yang menyampaikan keresahan dan kegelisahan masyarakat tersebut,” pungkas Agus. (Jekson Simanjuntak)