JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) Universal melalui resolusi A/RES/76/300 yang disahkan pada sidang tahunan United Nations General Assembly (UNGA) ke-76 tanggal 28 Juli 2022.
Pengakuan itu menyusul hak atas lingkungan hidup yang baik sebagai HAM Universal oleh komisi HAM PBB setahun yang lalu. Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diakui sejak tahun 1999 melalui pengesahan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Pengakuan ini diikuti amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, implementasi perlindungan dan perwujudan hak atas lingkungan di Indonesia masih menemui banyak tantangan.
Menyikapi perkembangan tersebut, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat bahwa pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian HAM Universal ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi tantangan perwujudan hak atas lingkungan hidup di Indonesia.
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring mencatat sejumlah tantangan, diantaranya; masih belum meratanya kebijakan atau tindakan yang mengintegrasikan pemenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (hak atas udara bersih, lingkungan yang aman, dll) dengan pemenuhan aspek proseduralnya seperti hak atas informasi, hak atas partisipasi, dan hak akses keadilan.
“Sebagai contoh, dalam kebijakan pemulihan lahan kritis, meski telah mengintegrasikan aspek substantif dan prosedural, namun tindakan pembatasan akses partisipasi masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam masih terjadi,” jelasnya.
Pembatasan itu, baik berupa tidak dijamin dan dipenuhinya akses informasi masyarakat terhadap keputusan atau kebijakan sumber daya alam (izin, HGU, Amdal, dll), maupun upaya SLAPP terhadap masyarakat.
Beberapa kebijakan terkait Proyek Strategis Nasional (PSN), menurut Raynaldo berpotensi menghambat pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Beberapa diantaranya bahkan tidak memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif.
“Sebagai contoh, PP No. 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan PP No. 42 tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional ternyata tidak memberikan ruang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam PSN,” ungkapnya.
Masih lemahnya ketaatan sektor bisnis terhadap pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, ditunjukkan dengan tidak dipatuhinya kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi untuk menjalankan putusan pengadilan atas gugatan yang diajukan pemerintah maupun masyarakat.
Terhadap catatan tersebut, dalam rangka pelaksanaan perwujudan efektif dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai HAM universal, Raynaldo merekomendasikan untuk dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan-kebijakan di sektor sumber daya alam untuk memastikan terjaminnya hak substantif dan prosedural masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Secara khusus, keran partisipasi dan akses informasi masyarakat harus dibuka seluas-luasnya,” jelasnya.
Kemudian perlu adanya komitmen dari sektor bisnis untuk menjalankan putusan pengadilan yang terkait dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Serta dijatuhkannya disinsentif dengan pencabutan, penghentian izin atau penolakan izin baru bagi korporasi-korporasi yang tidak menjalankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Terutama kewajiban terhadap putusan-putusan pengadilan,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)