Nuraeni Lestarikan Laut Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Aksi Iklim Bencana Berita Lingkungan Climate Change Ekosistem Laut Global Warming Indeks Kawasan Konservasi Kawasan Pesisir Kelautan Kelestarian Lingkungan News Perubahan Iklim Terkini

MAKASSAR, BERITALINGKUNGAN.COM — Nuraeni masih ingat betul saat ia bersama Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-zahra berupaya memberdayakan masyarakat sekitar. Rumahnya yang terletak di Kelurahan Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, kerap dijadikan tempat berkumpul oleh istri-istri nelayan.

Rumah Nuraeni memang tidak jauh dari Pelabuhan Paotere yang melegenda itu. Di tempat itu berdiri kampung-kampung nelayan, yang ketika cuaca buruk, para nelayan tidak bisa melakukan apapun. Mereka hanya berdiam di rumah.

Jika tidak melaut, otomatis tidak ada penghasilan. Jika tidak ada pendapatan, para istri yang paling merasakan dampaknya. Mereka akan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan dana yang terbatas.

Nuraeni (50) penggagas Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-zahra. (sumber: Jekson Simanjuntak)

Atas dasar itu, Nuraeni melalui KWN Fatimah Az-zahra yang dibentuknya mencoba mencari solusi untuk memberdayakan masyarakat sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, pedagang ikan dan buruh di lokasi pelelangan ikan. Di beberapa kesempatan, ia mengajak istri-istri para nelayan.

“Awalnya waktu mau bergabung dengan kita, suami-suami mereka menentang. Dia merasa terganggu waktu istrinya kita ajak. Pada dasarnya ada juga ketakutan, bahwa istrinya bisa lebih dari suaminya,” ujar Nuraeni.

Mengajak istri nelayan mengikuti pelatihan bukan perkara mudah, apalagi jika kegiatannya dilakukan di hotel. Kala itu, stigma negatif masih melekat kuat di masyarakat  jika berkaitan dengan hotel.

“Setiap selesai pelatihan di hotel, mereka berkelahi. Suaminya ribut, karena pemikiran mereka, kalo istri masuk hotel itu menjadi perempuan nakal,” ungkapnya

“Jadi mereka marah kalo saya ajak istrinya ikut pelatihan.”

Nuraeni lalu menengahi dengan cara memberikan pemahaman, bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah kegiatan tercela. Dia pun menggandeng Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memberikan pelatihan terkait perikanan tangkap dan budidaya yang bisa diikuti para nelayan.

“Akhirnya ada jatah untuk saya ikut pelatihan, dan saya panggillah suami-suami mereka yang suka ribut kalau saya ajak istrinya. Saya ikut kan pelatihan di hotel, dan kebanyakan ternyata gak bisa baca tulis,” terang Nuraeni.

Kondisinya sangat kontras dengan para istri nelayan yang ternyata telah bisa membaca dan menulis. Jamaknya di akhir pelatihan, para peserta diminta untuk menyelesaikan administrasi, termasuk membubuhkan tanda tangan.

“Waktu itu, mereka mengeluh tidak bisa tanda tangan. Trus saya bilang, makanya jangan suka marah sama istri,” ujarnya.

Usai mengikuti pelatihan, para nelayan akhirnya sadar bahwa selama di hotel, mereka mempelajari banyak hal. Selain mendapatkan ilmu, para nelayan juga diberi uang transport.

“Setelah itu, setiap ketemu saya malah tidak ribut. Lalu dia bilang, ‘Bu, kalo ada pelatihan, ajak istri saya lagi ya’. Saya bilang tidak bisa, karena itu ada jadwalnya,” ucap Nuraeni menirukan.

Secara perlahan, menurut Nuraeni, ada pola pikir yang berubah. “Bahwa istri keluar bukan untuk macam-macam. Tetapi mencari ilmu, untuk bisa membantu keluarga,” jelasnya.

Untuk mengubah pola pikir seseorang, pendekatannya harus personal, serta dilakukan secara terus menerus. Disamping itu, kata Nuraeni, perlu panutan yang menjadi role model, sehingga para nelayan percaya bahwa pemberdayaan turut berdampak terhadap kehidupan mereka.

“Selain itu, mereka biasanya tidak mau ikut, karena belum ada hasil. Biasanya orang ikut kalo ada hasilnya,” katanya.

Nuraeni juga masih ingat, “Dulu kalau saya ajak, mereka bilang ‘Aduh bu, capek rapat terus, gak ada hasil’, Saya bilang inilah proses.”

Setelah KWN Fatimah Az-zahra mampu menghasilkan produk, secara berangsur-angsur banyak warga yang ingin terlibat. “Bu bolehkah saya bergabung?” ujar Nuraeni menirukan keinginan masyarakat.

Jika sudah demikian, Nuraeni akan membuka pintu selebar-lebanya. Ia tidak membatasi siapapun yang ingin menjadi anggota KWN Fatimah Az-zahra. Dia juga berharap KWN Fatimah Az-zahra bisa berperan membantu ekonomi keluarga.

“Saya membuka ruang dengan siapa saja, tidak ada batasan. Sehingga tidak ada rasa sesal buat dia, tetapi justru merasa ini ada manfaat ketika mereka bisa mengolah hasil tangkapan suami menjadi bernilai ekonomi yang lebih baik,” paparnya.

Tak berhenti sampai disitu, pemberdayaan perempuan di KWN Fatimah Az-zahra juga terbukti efektif untuk mengurangi ketergantungan nelayan terhadap tengkulak. Sejak lama, tengkulak menjadi ancaman terbesar para nelayan.

“Jangan mau instan. Jangan tangkap ikan langsung banyak, cukup dengan bom, karena ada ketergantungan ke tengkulak,” katanya.

Nuraeni sedang memberi penjelasan kepada nelayan di Pelabuhan Paotere, Sulawesi Selatan. (sumber: KWN Fatimah Az-zahra)

Dampak Perubahan Iklim

Di musim yang tak menentu seperti saat ini (Juni – Juli), Nuraeni menjelaskan bahwa hasil tangkapan nelayan sangat berfluktuatif. Tangkapannya cenderung lebih sedikit jika dibandingkan periode yang sama pada dekade sebelumnya.

Menurut dia, itu akibat perubahan iklim. Dampaknya begitu nyata dan memberi perubahan bagi kehidupan nelayan. Mereka kini kesulitan untuk memprediksi musim yang tepat untuk melaut.

“Dulu jelas musimnya. Musim penghujan dari bulan sekian ke bulan sekian. Ada musim panas, musim angin laut, dan sebagainya. Tapi sekarang perubahan iklim itu terasa sekali dan sangat mempengaruhi,” ungkapnya.

Nuraeni menambahkan, “Jika sebelumnya melaut pada bulan Juni itu enak, tapi sekarang malah kesulitan karena tiba-tiba cuaca berubah. Tiba-tiba hujan, badai, sementara mereka (nelayan) berada di tengah laut.”

Pelabuhan Paotere memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Kota Makassar. Terletak di bagian utara (tepatnya Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah), masyarakat mengenalnya sebagai bandar perahu rakyat. (sumber: https://aspeksindo.or.id)

Ketika cuaca diprediksi bersahabat, para nelayan memutuskan berangkat melaut. Menggunakan sistem penangkapan ikan secara tradisional membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa jika cuaca sedang buruk. Solusi terbaik adalah kembali ke daratan.

Nuraeni menuturkan, jumlah tangkapan ikan yang berkurang saat cuaca yang tidak bersahabat berimbas terhadap harga di pasaran. “Harga ikan pasti melambung tinggi. Harganya saat ini seksi sekali karena jumlah tangkapan yang berkurang,” jelasnya.

Bagi perempuan berusia 50 tahun itu, dampak perubahan iklim telah memberi pengaruh buruk terhadap istri-istri nelayan. Akibatnya, muncul konflik-konflik domestik, seperti kekerasan dalam rumah tangga hingga eksploitasi anak.

Beranjak dari persoalan itu, Nuraeni membentuk Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-zahra. Di kelompok itu, dia membantu para istri nelayan dan perempuan pesisir dalam menggerakan perekonomian keluarga.

Melalui sejumlah kegiatan, Nuraeni mampu mewujudkan perempuan yang mandiri, berdaya dan memiliki keterampilan. Keterampilan yang disesuaikan dengan sumberdaya dari masing-masing anggota.

“Karena tidak semua perempuan memiliki potensi yang sama,” jelasnya. Dengan demikian, setiap istri nelayan dan perempuan pesisir bisa mengembangkan dirinya sesuai potensi yang dimiliki.

“Jangan dipaksakan sesuatu yang dia tidak suka. Jika dipaksakan, tidak mungkin dia akan menjadi besar,” tegasnya.

Terbukti ketika para suami tidak melaut, Nuraeni justru melibatkan mereka untuk kegiatan pemasaran. Para nelayan sangat antusias membantu istri-istri mereka dalam menjajakan produk olahan ke sejumlah lokasi, mulai dari hotel, tempat pameran hingga toko oleh-oleh.

“Kami kan suka ada beberapa hantaran. Kami kasih kerjasama bapak-bapak untuk membantu, misalnya membawa ke hotel, dan sebagainya, sehingga mereka merasa terlibat juga,” papar Nuraeni.

Secara perlahan, Nuraeni berhasil mengubah budaya para nelayan yang awalnya hanya berkutat di laut dan terjebak pada praktik ijon. Usai mengikuti sejumlah pelatihan, para nelayan tidak lagi berdiam diri namun mulai aktif menjajakan hasil tangkapannya ke kompleks perumahan di sekitar mereka.

“Sekarang mereka lebih nyaman untuk uang yang didapatkan, dibanding berkutat di pelelangan, dimana di sana peran tengkulak sangat luar biasa,” ungkapnya.

Nuraeni berpose bersama istri-istri nelayan setelah mengikuti pelatihan tentang kewirausahaan. (sumber: KWN Fatimah Azzahra)

Berwawasan Lingkungan

Cuaca yang tidak menentu, menurut Nuraeni, berdampak terhadap produk olahan yang mereka hasilkan. Sejumlah produk olahan seperti abon, baso, naget, sangat bergantung dari kesediaan bahan baku yang dikumpulkan nelayan.

“Ini karena dampak perubahan iklim,” ujarnya lirih.

Pengolahan abon Tuna, salah satunya. Jika biasanya KWN Fatimah Az-zahra mampu memproduksi satu ton abon dalam sebulan, seiring perubahan cuaca, pasokan bahan baku kerap terkendala.

“Biasanya kami produksi 1 ton dan harus menunggu satu minggu untuk mengumpulkan ikan sampai bisa ketemu sebanyak itu. Tapi sekarang tidak begitu,” terang Nuraeni.

Saat pasokan bahan baku menurun, kondisi turut diperparah dengan pandemi Covid-19. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, keluarga nelayan mencoba bertahan. “Dan untuk kembali pulih perlu proses,” tegasnya.

Berkaca dari situasi itu, Nuraeni berusaha meningkatkan literasi para nelayan. Harapannya mereka bisa memahami dampak dari perubahan iklim, sehingga tidak terkejut dengan fenomena alam yang terjadi. Setelahnya, mereka diajak untuk mencari solusi alternatif lain.

“Kita berharap keluarga-keluarga nelayan mampu melewati perubahan cuaca yang merupakan tantangan bagi mereka. Berharap mereka bisa melalui itu semua ditengah Covid-19,” ucapnya.

Satu-satunya cara adalah dengan menumbuhkan minat kewirausahaan, sehingga para nelayan mampu menyejahterakan keluarganya. “Itu harapan saya ke mereka,” kata Nuraeni bersemangat.

Ketika keluarga nelayan memiliki tekad bulat untuk bangkit dan tidak putus asa, biasanya selalu ada jalan. Jalan seperti itu harus ditempuh. Dan jika berhasil, sikap peduli terhadap lingkungan jangan diabaikan.

“Jika berusaha, jangan hanya memikirkan diri sendiri tetapi bagaimana ada dampak yang baik terhadap orang-orang di sekitar kita. Karena kalau bukan kita yang peduli, maka siapa lagi? Termasuk peduli menjaga alam ini,” urainya.

Nuraeni mengingatkan agar keluarga nelayan peduli terhadap lingkungan, sehingga masyarakat di sekitar juga ikut sejahtera. Sudah saatnya untuk tidak semata-mata mengejar keuntungan diri sendiri, namun turut andil menyejahterakan masyarakat sekitar.

“Dengan begitu masyarakat di sekitar ikut merasakan dampaknya dan alam tetap lestari. Itu bukti ketulusan hati kita,” ungkapnya.

Khusus terkait bahan baku ikan yang digunakan dalam produk olahan, Nuraeni punya resep istimewa. Menurutnya, pasokan ikan dengan ukuran kecil tidak akan diterima, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Mereka hanya menerima ikan-ikan dengan ukuran tertentu.

“Misalnya, jika kita pilih Tuna yang besar, tusuknya sedikit, kemudian berilah kesempatan hidup bagi Tuna yang kecil-kecil itu. Kami hanya mengambil ikan yang berukuran besar dan memang layak dikonsumsi,” ucapnya.

Bagi Nuraeni, penting sekali untuk menjaga habitat ikan tetap lestari. Hal itu berkaitan langsung dengan keberlangsungan usaha produk olahan yang mereka kerjakan. Bahkan, dia bisa membedakan, mana ikan yang diambil dengan cara-cara tradisional dan mana yang tidak.

“Karena bisa kelihatan, ini ikan diambil dengan putas atau tidak. Jika memilih mengambil ikan seperti itu, maka mereka akan tetap menggunakan racun untuk mengambil ikan di laut,” terangnya.

Pelatihan bersama istri-istri nelayan dan perempuan pesisir di rumah Nuraeni di Kelurahan Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah. (sumber: Jekson Simanjuntak)

Peduli Perempuan Pesisir

Terbentuknya KWN Fatima Az-zahra, menurut Nuraeni, bermula dari keprihatinan melihat kondisi keluarga nelayan yang ada di pesisir. Saat itu, ketergantungan terhadap tengkulak sangat tinggi. Di sisi lain, SDM mereka sangat rendah dan belum memadai dalam hal penangkapan ikan.

“Saya pikir yang menerima dampak langsung dari kondisi itu adalah para perempuan. Jadi, saya mendorong perempuan yang ada di sekitar tempat tinggal saya untuk berubah,” paparnya.

Nuraeni yang tinggal di kawasan pesisir, dalam kesehariannya selalu memperhatikan jika banyak nelayan, pedagang ikan, dan buruh kasar terjebak hutang dan tidak mampu membayar.

“Jika mereka pinjam Rp1 juta, maka tagihannya bisa mencapai 1.5juta – 2juta, sehingga mereka tidak merdeka untuk menjual hasil tangkapan mereka,” katanya.

Sistem demikian, menurut Nuraeni akan memiskinkan nelayan dalam waktu singkat. Dia kemudian melakukan pendekatan personal kepada para nelayan. Ternyata hal itu, tidak mudah, karena sistem ijon telah begitu mengakar di masyarakat.

“Saya seperti menghadapi kekuatan mata rantai setan yang susah diputus,” ungkapnya.

Nuraeni kemudian memutar akal. Caranya dengan mendekati istri-istri nelayan yang ada di sekitar rumahnya. Dia menjelaskan bahwa perempuan merupakan madrasah dalam keluarga, termasuk bagi anak-anak.

“Dengan harapan, perempuan-perempuan itu akan merubah pola sikap, pola hidup anak-anak dan mengubah pola pikir suaminya dengan meningkatkan kapasitas,” terang perempuan kelahiran Agustus 1969 itu.

Nuraeni menyimpulkan, “Ini perlu wadah atau kelompok untuk mengerjakannya secara bersama-sama. Maka dibentuklah Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatima Az-zahra dengan mimpi besar agar perempuan pesisir mampu mengolah hasil tangkapan suaminya menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.”

Selama ini, ada persepsi buruk terhadap perempuan pesisir dan istri-istri nelayan. Mereka dicap sebagai komunitas yang terbelakang, bodoh, dan tidak mampu keluar dari cengkraman tengkulak.

Melalui KWN Fatima Az-zahra, Nuraeni memperkenalkan paradigma baru, yakni perempuan pesisir dan istri nelayan merupakan pribadi yang terampil, cerdas, serta mampu menghasilkan nilai tambah di tengah keluarga.

“Bahkan kami punya kelebihan, karena mampu memberi gizi yang baik untuk mereka. Jika tidak ada mereka yang mengelola hasil laut, bagaimana orang diluar sana bisa mengkonsumsi ikan yang sehat,” ungkapnya.

Tak berhenti disitu, Nuraeni juga membangun Sekolah Perempuan Pesisir (SPP) dengan tujuan mengadvokasi perempuan pesisir sekaligus memberi pemahaman bagi keluarganya tentang penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

“Bagaimana kita menjaga laut sehingga bisa hidup dengan laut yang lestari, bersih sehat dan peran penting perempuan pesisir bersama keluarga dalam menjaga laut,” ujarnya.

Khusus terkait penangkapan ikan yang berkelanjutan, Nuraeni memiliki misi agar nelayan mampu menangkap ikan dengan menerapkan praktik yang ramah lingkungan. “Bagaimana tidak menggunakan illegal fishing, seperti menggunakan bom, pakai bius, pakai potas dan sebagainya,” katanya.

Sekilas cara-cara itu, sangat menyenangkan, karena bisa dilakukan dengan mudah dalam waktu singkat. Hasilnya juga banyak. Namun, seperti apa nasib anak cucu kelak, menurut Nuraeni, tetap harus jadi perhatian.

Anggota KWN Fatimah Azzahra berpose dengan latar belakang produk olahan sebelum dipasarkan ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. (sumber: KWN Fatimah Azzahra)

Berawal dari 3 orang

Nuraeni menuturkan jika KWN Fatimah Az-zahra hanya bermula dari 3 orang yang secara perlahan berkembang menjadi 10, 20 orang dan sekarang melibatkan lebih dari 600 perempuan yang berdomisili di pesisir.

“Jumlah itu, diluar yang kami latih secara gratis,” terangnya.

Dengan bentuk usaha sebagai wirausaha sosial, Nuraeni menjelaskan jika keuntungan yang mereka peroleh selalu disalurkan untuk kegiatan pelatihan produk makanan olahan. Bahkan, tak sedikit pihak yang datang berkunjung dari luar daerah untuk belajar.

“Semua itu gratis, yang jika dijumlahkan ada 8 ribu orang yang telah ikuti pelatihan kami,” ungkap Nuraeni. Dengan begitu, setidaknya akan muncul delapan ribu wirausahawan baru.

Sejak memulainya di tahun 2012 hingga sekarang, KWN Fatimah Az-zahra selalu menerapkan prinsip “sejahterahkan diri sendiri sebelum membantu orang lain”. Menurut Nuraeni, hal itu cukup efektif dalam membangun semangat wirausaha, termasuk mampu menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan sosial.

“Jika kamu sudah sejahtera, maka bisa bantu yang lain. Mari kita peduli, mari saling membantu. Saya sangat beruntung karena di kelompok saya, mereka adalah orang-orang yang peduli,” ujarnya.

Pelabuhan Paotere merupakan pelabuhan warisan Kesultanan Gowa Tallo yang masih digunakan hingga saat ini. Di kawasan tersebut ditemukan kampung nelayan. (sumber: https://shipsapp.co.id)

Sementara kaitannya dengan target di masa depan, Nuraeni berharap agar produk yang dihasilkan bisa berdaya saing dengan produk sejenis yang ada di pasaran. “Syukur-syukur bisa masuk ekspor,” katanya.

Namun untuk urusan produksi, kembali Eni mengingatkan agar tidak merusak alam. Penting diperhatikan, bagaimana cara berproduksi dengan tetap menjaga sumberdaya alam tetap lestari.

“Seperti bagaimana menjaga laut, sehingga ikan-ikan kita banyak. Bagaimana menjaga kebersihan laut kita, dan ini tidak bisa hanya dari saya saja,” katanya.

Karena itu, Nuraeni menuntut tanggungjawab pemerintah agar mampu menjalankan aturan secara tegas, termasuk memberi pemahaman kepada masyarakat.

“Karena mengubah orang tidak perlu dengan kekerasan, tetapi secara terus menerus memberi pemahaman tentang metode menangkap ikan yang benar,” katanya.

Dengan begitu, para nelayan bisa menghasilkan produk secara berkelanjutan, tanpa harus melakukan praktik illegal fishing. Di era seperti sekarang ini, menurut Nuraeni, banyak kearifan tradisi yang seharusnya dipertahankan.

“Buktinya di jaman dahulu, orang tua kita bisa mendapatkan ikan yang banyak tanpa harus merusak terumbu karang. Jangan menjadikan alasan menguasai laut sebagai suatu kebanggaan, tetapi sebenarnya sesuatu yang merusak, hanya karena mementingan kepentingan diri sendiri,” jelasnya.

Untuk itu, Nuraeni mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga laut demi masa depan anak cucu kelak. “Sehingga anak-anak kita bisa menikmati bagaimana makan ikan yang sehat dan bergizi yang tidak terkontaminasi berbagai macam bahan beracun,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *