Masih berdasarkan laporan tersebut, anak-anak di Indonesia yang lahir tahun 2020 berisiko menghadapi 3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, 2 kali lebih banyak mengalami kekeringan serta 3 kali lebih banyak gagal panen.
Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan, saat ini kondisnya terus memburuk ketika dampak krisis iklim menjadikan jutaan anak dan keluarga jatuh dalam kemiskinan jangka panjang di Indonesia.
“Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak menanggung beban berat karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi,” katanya.
Krisis iklim juga mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak dalam berbagai bentuk. Secara spesifik, Save the Children Indonesia menemukan sejumlah fakta, diantaranya; hasil prediksi iklim sepuluh tahunan menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan jumlah curah hujan selama El Nino.
Berdasarkan prediksi peluang terjadinya peristiwa cuaca kering ekstrim pada 2020-2025, beberapa wilayah diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrim di atas normal (BAPPENAS 2018). Pada 2020, Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kejadian bencana menyebutkan terdapat sebanyak 4.650 total kejadian bencana alam dan 99,2% merupakan kejadian bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.
Di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pengungsi akibat kekeringan bertambah secara signifikan dari 21.688 jiwa tahun 2018 menjadi 6 kali lebih besar pada 2019 hingga mencapai 139.746 jiwa, termasuk anak-anak.
Di Sulawesi Selatan, jumlah populasi terpapar gelombang tinggi dan abrasi diperkirakan mencapai 265.307 jiwa. Dari angka tersebut, 40.508 jiwa merupakan kelompok rentan termasuk anak-anak. Anak-anak yang berada di wilayah Kepulauan Selayar, Takalar, Pangkajene Kepulauan dan Makassar memiliki risiko tinggi abrasi.
Di Jawa Barat, catatan statistik tahun 2022 menyebutkan jumlah kejadian banjir mencapai 247 pada tahun 2021. Dari kejadian tersebut, korban meninggal dunia 20 orang, 282 mengalami luka dan 1.440.252 orang terdampak dan mengungsi termasuk anak-anak. Jumlah kelurahan/desa terdampak banjir dari seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat bertambah secara signifikan sejak 2019 hingga 2021.
Save the Children menekankan masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram ini. Jika kenaikan suhu dijaga tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, dampak dari ancaman iklim pada generasi mendatang dapat berkurang, seperti: kekeringan sebesar 39%, 38% untuk banjir sungai, 28% untuk gagal panen, dan sebesar 10% untuk kebakaran hutan.
“Investasi pada penurunan emisi seharusnya berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan upaya penurunan risiko dan meningkatkan kapasitas adaptasi pada anak,” terang Selina.
Untuk itu, Save the Children Indonesia menggandeng berbagai pihak, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk bersama-sama melakukan aksi adaptasi melalui Aksi Generasi Iklim.
Perwakilan Child Campaigner Jawa Barat Save the Children Indonesia Ranti (17) menjelaskan aksi Generasi Iklim sebagai sebuah gerakan yang diinisiasi dan dipimpin oleh anak-anak dan orang muda. Tujuannya untuk memastikan anak-anak dan keluarga terutama mereka yang terdampak secara langsung dari krisis iklim dapat melakukan upaya-upaya bertahan hidup dan beradaptasi, serta memperkuat sistem terkait penanganan perubahan iklim yang lebih berpihak kepada anak.
“Setelah mendapatkan penjelasan mengenai dampak krisis iklim, saya lebih sadar bahaya perubahan iklim yang kita rasakan hari ini,” katanya.
Lebih jauh Ranti menjelaskan, “Sudah saatnya anak-anak ikut bergerak dan dilibatkan, karena kami yang akan merasakan dampak terburuk dari krisis iklim saat ini dan pada masa mendatang.”
Selain itu, pemerintah harus melibatkan anak-anak dalam membangun kesadaran dampak krisis iklim dan menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk anak-anak berpendapat.
“Harusnya, semua anak bisa mulai berpartisipasi. Tapi sayangnya masih banyak anak-anak belum tahu tentang krisis iklim dan bagaimana mereka bisa berperan untuk membuat perubahan. Sebagai Child Campaigner, saya ingin mengajak semua anak bergerak dan tidak takut untuk bersuara.” ujar Ranti.
Aksi Generasi Iklim diprakarsai oleh anak-anak Indonesia terutama mereka yang berhadapan dan terdampak langsung dari krisis iklim, anak-anak tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim – KLHK Sri Tantri Arundhati mengatakan, inisiasi Aksi Generasi Iklim yang dilakukan oleh anak-anak dan orang muda berkontribusi pada program adaptasi perubahan iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Hal ini juga sejalan dengan berbagai rekomendasi internasional tentang pentingnya melibatkan anak dan orang muda dalam upaya adaptasi,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)