Pemerintah Waspadai Konflik Lahan di IKN Nusantara

Berita Lingkugan Hutan IKN Nusantara News Terkini


JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Emil Kleden meminta pemerintah segera mewujudkan komitmennya terkait prinsip ekonomi hijau untuk kelestarian lingkungan dan ekonomi berkelanjutan secara nyata. 

 

Sebelumnya pemerintah mengklaim pembangunan IKN didasarkan atas prinsip ekonomi hijau dan ekonomi berkelanjutan. Untuk memastikan komitmen tersebut, beberapa peraturan turunan telah dibuat, antara lain; Perpres tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN, Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.

 

Emil menilai, Perpres saja masih kurang namun harus diikuti dengan penerapan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Berdasarkan prinsip tersebut, masyarakat sekitar secara bebas (free) menyatakan setuju (consent) atau menolak terkait kebijakan dalam Pembangunan IKN.

 

“Prinsip FPIC, pada dasarnya adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (informed) sebelum (prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan di wilayah mereka,” katanya.

 

Prinsip dasar ini, kata Emil, penting untuk dijadikan panduan bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN. Pasalnya, sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. “Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya,” imbuhnya.

 

Interaksi penyelenggara IKN dengan masyarakat setempat mengenai hak atas tanah perlu diperjelas. Kalau tidak dibereskan, maka konflik akan terus terjadi dan merusak relasi kedua pihak dalam jangka panjang. 

 

Jangan sampai langkah represif menjadi solusi yang diambil untuk menyelesaikan konflik. “Selain membutuhkan biaya besar, dinamika relasi yang kurang kondusif akan menimbulkan konflik susulan di masa depan,” terang Emil.

 

Penerapan dari prinsip FPIC bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut, seperti perempuan dan anak muda. Selain itu, persetujuan tidak didasarkan atas informasi yang menyesatkan, serta penafsiran sepihak akan hukum yang berlaku.

 

“Keterbukaan informasi bagi Masyarakat Adat sangat vital,” kata Emil.

 

Komitmen pemerintah untuk memastikan hak tanah seseorang secara benar akan sangat diapresiasi. Jika pemerintah merasa memasang patok adalah solusi terbaik dan tercepat untuk meredam konflik, maka hal ini justru bisa menjadi masalah serius di kemudian hari. 

 

“Jangan sampai praktik seperti itu dipertahankan dalam pengadaan tanah untuk IKN,” ujarnya.

 

Pemetaan Hutan Adat


Selanjutnya, langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah secara lebih seksama adalah melakukan pemetaan tata ruang lokasi pembangunan IKN terhadap hutan adat. Misalnya, apakah ada persinggungan lahan IKN dengan wilayah hutan adat, bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap hak Masyarakat Adat atas tanah mereka, dan sebagainya.

 

Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Rikardo Simarmata mengungkapkan, “Langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN. Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok.”

 

Sementara itu, di sekitar lokasi IKN banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka di sana sudah beranak pinak. Misalnya, orang-orang dari Jawa didatangkan untuk industri migas dan proyek transmigrasi. Lalu orang dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah datang untuk alasan memperbaiki hidup. 

 

“Jadi, klaim adanya tanah adat dengan penguasaan komunal di sekitar lokasi IKN memang perlu dilakukan dengan hati-hati”, ujar Rikardo.

 

Terlepas dari itu, menurutnya, untuk keperluan perolehan tanah untuk IKN, pemerintah perlu serius melakukan pendataan kepemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah. “Hal itu perlu karena bagi tanah-tanah yang tidak bersertifikat dan berada di Areal Penggunaan Lain, Kantor Pertanahan setempat tidak memegang datanya. Harus mendapatkannya di kantor desa atau kecamatan,” kata Rikardo.

 

Mengedepankan Ekonomi Hijau


Potensi konflik yang terjadi antara pembangunan dan kelestarian hutan seringkali dipicu kepentingan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi hijau diharapkan mampu menjembatani potensi konflik kepentingan agar masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi sekaligus menerima manfaat dari keseimbangan ekologi yang terjaga dengan baik.

 

Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Riche Rahma Dewita mengatakan, arah pembangunan ekonomi hijau bisa difokuskan pada praktik-praktik jasa lingkungan.

 

Misalnya, pemanfaatan air sebagai pembangkit tenaga listrik, penerimaan pendapatan dari aksi pelestarian hutan lindung yang bisa berkontribusi terhadap penurunan efek gas rumah kaca negara, ataupun penyelenggaraan agroforestry yang memanfaatkan hasil bumi dari hutan.

 

“Semua praktik tersebut sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi langsung pada kehidupan mereka,” ujarnya.

 

Riche juga menegaskan bahwa apapun kebijakan pemerintah terkait ekonomi hijau, sangat perlu mempertimbangkan kapasitas masyarakat dimana kebijakan itu diterapkan.

 

Misalnya, apakah kebijakan ekonomi hijau sesuai dengan arah mata pencaharian masyarakat sekitar, seberapa jauh pemahaman masyarakat sekitar tentang pengelolaan lahan yang mendukung pelestarian lingkungan. Termasuk, teknologi apa yang telah digunakan untuk mendukung penyelenggaraan ekonomi hijau, dan sebagainya.

 

“Berdasarkan seluruh penilaian ini, pemerintah bisa melakukan perencanaan pembangunan untuk memperbaiki apa yang sudah berjalan, sehingga pembangunan ekonomi hijau IKN lebih terarah dan bermanfaat bagi seluruh pihak ,” terang Riche.

 

Sejauh ini, wilayah cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare (ha) yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutar Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur dengan kawasan inti yang ada di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 ha. 

 

Sesuai dengan pengakuan masyarakat setempat, kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Artinya, penduduk yang tinggal di kawasan ini bisa sewaktu-waktu direlokasi karena kawasan mereka belum beralih menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga belum bersertifikasi hak milik. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *