Kebijakan Limbah Plastik Australia Picu Persoalan Baru Di Asia Tenggara

Australia Berita Lingkungan Limbah Plastik News RDF Sampah Sampah Plastik Terkini

GOTHENBURG, BERITALINGKUNGAN.COM — The International Pollutants Elimination Network (IPEN) menerbitkan serangkaian penelitian yang mengungkapkan bagaimana kebijakan sampah baru Australia mendorong investasi besar-besaran dalam pemrosesan sampah plastik menjadi bahan bakar. Sayangnya, ekspor negara itu mengancam pengelolaan dan penanganan sampah di negara-negara ASEAN. 

 

Meskipun Australia mengumumkan berhenti mengekspor limbah yang tidak diproses pada tahun 2020, setelah China dan negara-negara Asia Tenggara lainnya melarang impor limbah plastik di tahun 2018, koordinator kampanye untuk Zero Waste Australia Jane Bremmer menilai, “Australia telah secara efektif mengubah nama sampah plastik menjadi bahan bakar yang berasal dari sampah (refure-derived fuel/RDF), sehingga dapat terus diperdagangkan.”

 

Bremmer menegaskan bahwa sikap Australia telah merusak Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya, serta

komitmen perubahan iklim global.

 

“Kami prihatin dengan kebijakan ‘kuda trojan’ sampah plastik Australia dan kemampuan negara-negara Asia Tenggara untuk menangani limbah bahan bakar yang berasal dari sampah dengan aman,” katanya.

 

Bremmer menambahkan, “Kami juga ingin memperjelas bahwa pembakaran RDF tidak dapat dianggap sebagai sumber energi atau listrik yang rendah karbon.”

 

RDF atau bahan bakar yang berasal dari sampah diharapkan bersaing untuk menghasilkan energi bersih dan terbarukan di Australia dan kawasan Asia-Pasifik. Hanya saja, kurangnya standar internasional atau kerangka peraturan untuk produksi, perdagangan dan penggunaannya, merupakan ancaman bagi kesehatan, lingkungan, dan hak asasi manusia, terutama di negara-negara berkembang.”

 

Penyelidikan IPEN

Untuk memahami status pengelolaan sampah di seluruh wilayah, IPEN dan organisasi anggotanya telah menyelidiki kebijakan Australia tentang pengelolaan dan ekspor limbah, dalam sebuah penelitian yang disebut “Australian Refuse-Derived Fuel” (produk bahan bakar atau ekspor limbah plastik yang menyamar).

 

IPEN juga memantau kapasitas Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam mengelola limbah sisa, termasuk impor, serta kerangka peraturan dan undang-undang terkait penggunaan RDF.

 

Sejauh ini, studi pertama menjelaskan bagaimana undang-undang limbah baru yang baru-baru ini diperkenalkan di Australia mendorong infrastruktur bahan bakar limbah plastik, termasuk kemungkinan toksisitas dan dampaknya terhadap kesehatan.

 

Studi juga menyoroti sejumlah kekhawatiran, yaitu rencana untuk mendanai dan mempromosikan ekspor RDF untuk dibakar di negara-negara di seluruh Asia Tenggara, sebagai energi yang bersih dan terbarukan. 

 

IPEN menunjukkan bahwa UU Amandemen Limbah Berbahaya Australia, yang disahkan pada Juni 2021, gagal merujuk pada Amandemen Larangan Konvensi Basel yang baru. Akibatnya, Australia ingin mempertahankan hak hukum domestik untuk membuang limbah ke negara-negara tetangga yang lebih miskin.

 

Sementara itu, laporan dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina menunjukkan potensi risiko yang signifikan terkait dengan penggunaan RDF, meskipun belum diukur secara rinci. Hanya saja, sampah plastik campuran dalam bentuk RDF terbukti mengandung berbagai aditif kimia beracun, termasuk polutan organik persisten, logam berat, dan bahan kimia pengganggu endokrin. 

 

Ketika digunakan sebagai bahan bakar, RDF dapat menghasilkan dioksin dan furan yang sangat beracun yang dapat mencemari rantai makanan lokal.

 

Secara keseluruhan, IPEN mengatakan studi menunjukkan bahwa beban impor RDF tidak proporsional dan berdampak buruk bagi masyarakat lokal, lingkungan dan kesehatan masyarakat.

 

Komentar Mitra IPEN 

Koordinator Nasional untuk EcoWaste Coalition Filipina Aileen Lucero mengatakan, temuan di laporan itu menunjukkan penggunaan RDF meningkat di Filipina. Ini berkontribusi pada masalah dan tantangan perdagangan limbah yang ada di negara tersebut. 

 

“Negara-negara berkembang di ASEAN terus menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah bagi dunia maju dan industri. Ini tidak hanya memperburuk risiko lingkungan dan kesehatan tetapi juga memperkuat krisis limbah yang dihadapi negara-negara seperti Filipina,” ungkapnya.

 

Sementara itu, Senior Research Ofcer untuk Asosiasi Konsumen Penang Malaysia Mageswari Sangaralingam mengatakan, meskipun pemerintah Australia mengumumkan larangan ekspor limbahnya pada tahun 2020, dia tetap kecewa karena negara ini terus mengekspor limbahnya sebagai ‘produk bahan bakar’. 

 

“Australia akan menghindari larangan ekspor limbahnya sendiri dengan mengirimkannya sebagai produk ‘energi dari limbah’ ke wilayah lain,” ungkapnya.

 

Senada dengan itu, Senior Advisor dari Nexus 3 Foundation, Indonesia Yuyun Ismawati memperingatkan bahwa terburu-burunya Indonesia berinvestasi di berbagai fasilitas RDF memberi sinyal ancaman polusi yang besar. 

 

“Mendandani industri pembakaran RDF sebagai juara polusi iklim melalui cofiring dan solusi utama untuk pengelolaan limbah dan krisis energi adalah hal yang sangat salah,” terangnya. (Jekson Simanjuntak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *