JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Perusahaan China Energy Construction Tianjin Electric Power Construction Co., Ltd. baru-baru ini memenangkan tender proyek PLTU di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Proyek itu diinvestasikan bersama Ningbo Lygend Resources Technology dan Indonesia Harita Group.
Proyek pembangkit listrik batubara berkapasitas 4×380 MW tersebut dibangun untuk menunjang proyek smelter bijih nikel laterit yang juga berlokasi di Pulau Obi. Tahapan pertama proyek, meliputi konstruksi dan instalasi sistem. PLTU ini diklaim akan memasok sumber energi bagi pengembangan smelter nikel sebagai bahan baku industri baterai.
Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo menelusuri proyek yang memiliki keterlibatan dengan China tersebut. Dia menemukan kontrak pembangunan PLTU pertama pasca pernyataan komitmen iklim oleh Presiden Xi Jinping yang akan menghentikan pembangunan PLTU di luar negeri pada September 2021 lalu.
“Janji Xi Jinping dalam pidatonya di Majelis Umum PBB itu sangat tidak sesuai dengan tindakannya di lapangan,” katanya.
Pembangunan proyek tersebut jelas menunjukkan bahwa China sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, tidak serius dan konsisten menjalankan komitmen iklim terbarunya.
Dalam komitmennya itu pula, Xi Jinping pernah mengatakan bahwa China akan meningkatkan dukungan keuangan untuk proyek energi hijau dan rendah karbon di negara-negara berkembang. Namun, Andri menilai, proyek pembangunan PLTU dalam rangka menunjang industri smelter untuk pemenuhan baterai bagi komponen energi dan transportasi hijau adalah langkah tidak tepat.
Dia menegaskan, proyek energi hijau harus terlepas seutuhnya dari kaitan energi kotor batubara dari hulu ke hilir. “Jika proyek energi hijau dan rendah karbon tersebut masih ditopang dengan energi kotor batubara, maka proyek itu tidak sepatutnya disebut proyek energi hijau dan berkelanjutan,” paparnya.
Dalam konteks ini, keputusan pemerintah untuk membangun kompleks industri berskala besar di Pulau Obi bermasalah dan patut disorot. Dengan luasan wilayah yang terbatas, di satu sisi daya dukung dan daya tampung lingkungan Pulau Obi akan mengalami persoalan.
Di sisi lain, Pulau Obi juga memiliki potensi energi terbarukan yang terbatas, sehingga tidak cukup memadai untuk memasok kebutuhan energi bagi kawasan industri di wilayahnya. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas menjadi justifikasi untuk menggunakan energi batubara.
“Merujuk mandat dari Perjanjian Paris, langkah tersebut justru menunjukkan bagaimana pemerintah tidak membuat perencanaan yang matang dalam menghubungkan antara pembangunan industri dan pasokan energi yang bersih,” terangnya.
Andri menilai, alih-alih memaksakan membangun pembangunan industri smelter di Pulau Obi, pemerintah dapat mengupayakan kebijakan interkoneksi dengan cara membangun smelter di wilayah yang mampu memasok kebutuhan energi dengan sumber energi bersih di luar batubara, untuk memproses pasokan dan bahan baku nikel.
Proyek ini juga menimbulkan dampak buruk bagi warga yang tinggal di sekitar wilayah proyek. Salah satunya dialami oleh Lily Mangundap. Seperti wawancaranya dalam Project Multatuli, dia bercerita bahwa proyek industri smelter nikel ini telah “membunuh” ia dan keluarganya secara perlahan-lahan.
Perusahaan PT Trimegah Bangun Persada, anak usaha Indonesia Harita Group, menggusur paksa lahan kebunnya untuk perluasan konsesi perusahaan dengan membangun pabrik pengolahan (smelter) nikel. Lahan yang jadi sumber penghidupan Lily lenyap dan berganti menjadi Kawasan Industri Pulau Obi yang menjadikan bijih nikel bahan baku baterai untuk kendaraan listrik.
Melalui proyek ini, China juga menunjukkan paradoks kebijakan iklimnya di dalam dan di luar negeri. Seperti Indonesia, dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbarunya, China juga berjanji akan mencapai netral karbon pada 2060.
Untuk mencapainya, China mengumumkan akan secara ketat mengontrol penggunaan batubara agar tidak lagi mendominasi bauran energi mereka. Namun, alih-alih melakukan hal sama seperti di negaranya, China justru masih membangun PLTU baru di Indonesia.
Sebuah kertas kebijakan berjudul Internationalism in Climate Action and China’s Role (2022) memaparkan, China telah membuat langkah besar dalam menerapkan kebijakan iklim di dalam negeri, tetapi tidak akan mencapai tujuannya tanpa tindakan tambahan yang mendesak untuk mendorong transisi energi bersih di dalam dan luar negeri.
“China seharusnya serius kembali menepati komitmen iklimnya dengan cara menarik diri dari keterlibatan di proyek ini dan melakukan reorientasi dukungan kepada proyek energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan,” pungkas Andri. (Jekson Simanjuntak)