Masyarakat Adat, Penjaga Hutan Yang Sejati

Berita Lingkungan Charles Roring Emil Kleden Erasmus Cahyadi Herkulanus Sutomo Manna Komunitas Dayak Iban Masyarakat Adat Masyarakat Hukum Adat News Penjaga Hutan Terkini

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan sangat penting karena dapat menjaga keberlangsungan fungsi hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Hal tersebut disampaikan Charles Roring, Pegiat Ekowisata Pengamatan Burung di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dalam lokakarya jurnalis bertema “Masyarakat Adat sebagai Penjaga Hutan” yang digelar SIEJ secara virtual pada Sabtu (29/1).

 

“Ketika masyarakat sudah memperoleh manfaat dari aktivitas wisata, mereka bisa memperoleh pemasukan sehari-hari. Mereka dengan sendirinya juga melindungi kawasan hutan. Dampak positif tidak hanya dirasakan oleh wisatawan, namun masyarakat adat juga mendapat manfaat pemasukan untuk memenuhi kebutuhan mereka,” ujar Charles.

 

Charles mengatakan selain sebagai pemandu wisata, dalam kegiatan ekowisata masyarakat adat juga memiliki peran lainnya seperti juru masak, bahkan menunjukkan bagaimana cara membuat api secara tradisional, cara mengolah sagu dan membuat alat berburu kepada wisatawan.

 

Ada beberapa lokasi wisata hutan yang diminati wisatawan yang didominasi turis asing yaitu di Kampung Kwau dan Susnguakti, Kabupaten Manokwari; dan Lembah Ases di dekat Kota Fef, Kabupaten Tambrauw.

 

“Lebih dari 90 persen wisatawan yang mengambil paket tur di hutan berasal dari luar negeri,” kata Charles.

 

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, di Kalimantan Barat juga memiliki komitmen menjaga hutan sebagai sumber penghidupan. Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, hutan adalah ibu, pohon dan satwa di dalam hutan adalah penjaga kehidupan.

 

Menjaga hutan merupakan amanah leluhur yang harus dijunjung tinggi. Atas komitmen tersebut, Komunitas Dayak Iban mendapatkan Equator Award 2019, bersama 22 komunitas lokal dan adat seluruh dunia dari UNDP (United Nations Development Programme).

 

Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), Herkulanus Sutomo Manna mengatakan masyarakat Iban yang berada di Sungai Utik mendiami wilayah sekitar 10 hektar.

 

“Kita bersyukur wilayah adat ini sudah diakui pemerintah di wilayah Kapuas Hulu. Tapi memang perjuangan panjang ini diperoleh dengan tidak mudah. Berliku-liku masyarakat adat ini mempertahankan wilayahnya,” kata Sutomo.


Dia menambahkan, “Saya sebagai masyarakat yang ada di komunitas Sungai Utik bersyukur kepada pendahulu untuk mempertahankan wilayah adatnya. Komunitas Dayak Iban di Kalimantan ini perjuangannya sudah lama.”

 

Menurut Sutomo, masyarakat Sungai Utik juga sudah melakukan kegiatan ekowisata, baik wisata adat maupun wisata budaya. Komunitas Dayak Iban Sungai Utik, dimana Apai Janggut sebagai tuai rumah masih mendiami rumah panjang yang panjangnya 185 meter.

 

“Mereka masih tinggal di situ. Secara turun temurun disitulah penularan adat budaya dilakukan. Jadi, transfer ilmu dilakukan di situ, karena mereka juga masih tinggal di rumah panjang. Dengan tinggal di rumah panjang, budaya mereka sangat terpelihara,” kata Sutomo.

 

Sutomo menambahkan masyarakat Dayak Iban memiliki filosofi kuat untuk tetap menjaga kelestarian alam. Filosofi masyarakat Dayak Iban menjelaskan bahwa tanah itu sebagai ibu, hutan sebagai bapak, lalu air adalah darah. 

 

“Jika air itu rusak, darah pada tubuh rusak, maka akan sakit. Begitu juga dengan air, maka air tidak boleh dirusak. Jika tanah sebagai ibu, maka dialah yang memberikan kehidupan bagi masyarakat,” imbuhnya.

 

Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Emil Kleden mengatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat diakui dalam perspektif hukum.  Konstitusi UUD 1945 di Pasal 18 B ayat 2 secara tegas menjelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

“Pengakuan ini bersifat deklaratif dengan mencantumkan syarat-syarat seperti negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisioinalnya,” katanya.  Juga sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang.

 

Selain itu, Pasal 28 I ayat 3 menyatakan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 

“Hanya saja belum cukup jelas dan pasti apakah masyarakat tradisional di dalam Konstitusi sepadan dengan MHA,” katanya.

 

Namun, jika merujuk pada frasa “hak-hak tradisional” maka baik masyarakat tradisional maupun MHA memiliki hak-hak tradisional.

 

Jika, konsepsi MHA menggunakan kriteria ‘hak-hak tradisional” (sebagaimana dalam Konvensi ILO 111, disebutkan bahwa indigenous peoples mempunyai ‘tradisional occupation”, atau mata pencaharian secara tradisional). “Maka bisa dipertimbangkan kemungkinan kesepadanan MHA dan masyarakat tradisional sebagai dua istilah untuk satu kelompok sosial yang sama,” ujar Emil.

 

Selama ini, UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi dasar dari rejim hak dalam pengaturan tentang hak ulayat MHA. Kemudian ada UU 41/1999 yang menjadi dasar dari rejim perijinan dalam pengaturan tentang keberadaan dan hak MHA.

 

Dari aturan tersebut, baik Konstitusi, Undang-Undang, maupun peraturan perundangan (regulasi) turunannya tetap menegaskan bahwa pengakuan dan penghormatan negara terhadap MHA hanya berlaku jika dan hanya jika MHA masih hidup (ada).

 

“Dan keberadaan dan hak-haknya itu sesuai dengan perkembangan jaman dan prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang,” terangnya.

 

Syarat masih hidup (ada) sebagaimana diatur dalam sejumlah peraturan perundangan, misalnya UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 39/2014 tentang Perkebunan dan Permen ATR/BPN No. 9 thn 2015 tentang Tatacara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah MHA dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu.

 

Mereka yang masuk dalam penetapan hak komunal atas tanah MHA adalah: masyarakat masih dalam bentuk paguyuban, memiliki ikatan yang kuat pada asal-usul leluhur, ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya, ada wilayah hukum adat yang jelas.

 

Juga ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati dan ada hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam.

 

Kalau pun semua kriteria ini dipenuhi, masih harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan dan hak-hak MHA tersebut,” tegasnya.

 

Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Politik Erasmus Cahyadi menjelaskan tentang kepastian hukum yaitu mempersyaratkan hubungan kausalitas antara masyarakat adat sebagai subjek hukum dengan objek haknya.

 

Pengakuan dan penetapan MA sebagai Subjek hukum dilakukan melalui kebijakan daerah (perda/Keputusan Kepala Daerah/Peraturan Kepala Daerah). Sementara penetapan/pendaftaran hak masyarakat adat dilakukan oleh Menteri (sektoral), sehingga muncul istilah Hutan Adatm Tanah Ulayat, dll.

 

Menurut Erasmus, ada hubungan antara pengakuan bersyarat (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945) dengan Hak menguasai Negara (HMN) sebagaimana tercantum di Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

 

Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) menghasilkan Perda Pengakuan/Keputusan Kepala Daerah dan Penetapan/pendaftaran hak/ pemanfaatan (Hutan Adat /Tanah Ulayat / laut) oleh Menteri (sektoral).

 

Adapun Penguasaan Negara Pasal 33 ayat (3) menjelaskan bahwa penetapan Hak Masyarakat Adat atas Wilayah Adat sekaligus menandakan kembalinya wilayah adat dari penguasaan negara (konteks hak).

 

Erasmus mengatakan, ada hubungan antara pengakuan bersyarat dengan HMN jelas terbaca dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Secara umum, berbagai peraturan tersebut menempatkan pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah sebagai syarat pengukuhan hak Masyarakat Adat oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk “tanah ulayat” dan “hutan adat”.

 

“Di sini muncul kerumitan. Jika berbicara tentang Hutan Adat di dalam kawasan hutan, maka produk hukum yang dikehendaki adalah Peraturan Daerah sebagaimana dikehendaki Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan,” terangnya.

 

Sementara jika adalah hutan adat ada di luar kawasan hutan, maka produk hukumnya tidak harus Peraturan Daerah tetapi bisa dalam bentuk kebijakan daerah lainnya. 

 

“Apabila yang dibicarakan adalah tanah ulayat maka produk hukum yang dikehendaki dikembalikan kepada status suatu kawasan di mana tanah ulayat itu berada,” katanya.

 

Menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 18 Tahun 2019 Tentang Tata cara Penatausahaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, “penetapan pengakuan dan perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 

 

“Artinya, apabila tanah ulayat berada di dalam kawasan hutan, maka Masyarakat Adat harus diakui atau dikukuhkan terlebih dahulu melalui Peraturan Daerah sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan,” katanya.

 

Sementara kalau tanah ulayat berada di luar kawasan hutan maka Masyarakat Adat dapat dikukuhkan atau diakui melalui Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014.

 

“Penetepan hak atau pengukuhan hak atas wilayah adat melalui hutan adat atau tanah ulayat itu sekaligus merupakan penanda “kembalinya” wilayah adat dari penguasaan negara,” ungkap Erasmus.

 

Oleh sebab itu UU Masyarakat Adat diperlukan untuk mengoperasionalisasi pengakuan konstitusi pada tataran yang lebih operasional, memberikan kepastian hukum (Subjek dan Objek) dan melindungi Masyarakat Adat agar bebas perampasan hak, diskriminasi, kekerasan, dll.

 

“Juga untuk Meluruskan rute pengakuan yang diatur dalam berbagai peraturan sektoral dan menjadi dasar bagi Pemerintah dalam melaksanakan pemulihan hak Masyarakat Adat, pemberdayaan, penyelesaian konflik, dan penyelenggaraan program-program pembangunan,” tutupnya.

 

Lokakarya jurnalis yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) ini merupakan salah satu upaya mendorong media di Indonesia untuk bersama menggaungkan peran dan optimisme masyarakat adat di tanah air dalam menjaga dan melestarikan hutan. (Jekson Simanjuntak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *