SIEJ Ingatkan, Agenda Lingkungan Hidup Belum Selesai

Berita Lingkungan Lingkungan Hidup News Refleksi Akhir Tahun SIEJ Terkini

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) merangkum berbagai isu yang mewarnai jurnalisme lingkungan sepanjang tahun 2021. 

 

Sekjen SIEJ Joni Aswira mengatakan, sebagian besar telah dibahas di dalam forum editor meeting dan workshop jurnalis. “Kami menghadirkan para narasumber pemerintah, NGO, dan akademisi. Ibarat mengalirkan listrik, kami berusaha menjadi hub atau tepatnya jangkar informasi bagi jurnalis,” katanya dalam Refleksi Lingkungan Hidup 2021.

 

SIEJ juga turut andil mendistribusikan kajian penelitian para akademisi dan CSO, termasuk menghadirkan kisah-kisah inspiratif dari para pegiat lingkungan. “Semua itu kami distribusikan melalui kanal-kanal media sosial dan nawala yang rutin diterbitkan,” imbuhnya.

 

Demi mendorong jurnalisme lingkungan yang mendalam dan berkualitas, beberapa pelatihan digelar dan dibarengi dengan program beasiswa. Sepanjang 2021 SIEJ mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk menyelenggarakannya. Sebagian hasil liputan itu diterbitkan di ekuatorial.com, media portal geo-tagging milik SIEJ.

 

Joni juga mengatakan, sesungguhnya tak banyak yang menggembirakan tentang kondisi lingkungan dalam setahun terakhir. Di tengah upaya keras semua pihak untuk keluar dari pandemi, agenda penyelamatan lingkungan seperti jalan di tempat. “Bencana demi bencana masih saja tinggi sepanjang 2021,” ujarnya.

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bencana sepanjang 2021. Hasilnya, bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor masih mendominasi dari total 3.058 kejadian. 

 

Kejadian cuaca ekstrem juga begitu, hingga turut memicu bencana banjir bandang, kebakaran hutan, gelombang tinggi. Namun tingginya curah hujan dan cuaca ekstrem bukanlah semata penyebab seperti yang kerap dilontarkan pemerintah.

 

“Degradasi kawasan, penurunan daya dukung lingkungan serta kebijakan tata ruang juga punya andil besar,” katanya.

 

Kita tentu masih ingat, banjir berkepanjangan di Kalimantan yang menggenangi 12 kabupaten/kota beberapa waktu lalu. Banjir berdurasi satu bulan itu telah menggenangi wilayah yang akan menjadi Ibu Kota Negara (IKN). Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya tak memungkiri banjir tersebut disebabkan oleh kerusakan lingkungan.

 

“Banyak data menunjukkan laju deforestasi kita tinggi, meskipun pemerintah mengklaim terjadi penurunan siginifikan dalam kurun 20 tahun terakhir atau deforestasi paling terendah,” terang Joni.

 

Dia juga merujuk hasil penelitian iklim yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Agustus lalu mengenai kenaikan suhu bumi. Menurutnya, perubahan iklim begitu nyata membawa dampak bagi keberlangsungan ekosistem sehingga menyebabkan bencana dalam beberapa dekade terakhir. 

 

Peningkatan emisi GRK yang membuat suhu bumi menghangat saat ini kemungkinan akan melampaui batasan yang telah ditetapkan dalam waktu 10 tahun. “Laporan IPCC menyebutkan kenaikan suhu bakal naik menembus 2 derajat Celcius, lebih cepat dari kita bayangkan,” paparnya.

 

Itu membuktikan bahwa manusia berperan besar membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan, dan daratan. Kabarnya, laporan itu yang dibahas dalam konferensi perubahan iklim COP ke 26 di Glasgow, November lalu.

 

Saat itu, lebih dari 100 negara berkomitmen untuk menghentikan doferestasi 2030 dan mengembalikkan hutan dan degradasi lahan. Belakangan frasa ‘menghentikan deforestasi’ menuai polemik karena disebut klaim yang miss-leading oleh Menteri Iklim dan Lingkungan Internasional Inggris, Zac Goldsmith, yang menyatakan 105 negara mendeklarasikan penghentian deforestasi pada 2030.

 

Padahal, dalam Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use tidak menggunakan terminologi “penghentian deforestasi”. Indonesia juga menolak terminologi Nol deforestasi karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di tanah air. 

 

Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya bahkan mempertegas terminologi FoLU (Forestry and other Land Use) net carbon sink 2030. FoLu tidak bisa diartikan zero deforestation. Siti Nurbaya juga mengatakan, pembangunan tidak boleh dihentikan atas nama emisi karbon dan deforestasi.

 

“FoLU net carbon sink artinya tidak menambah jumlah gas rumah kaca ke atmosfer saat memanfaatkan hutan dan lahan lainnya,” ucap Joni. Untuk bisa mencapainya berarti mengurangi emisi sebanyak mungkin, dan menyeimbangkan emisi tertinggal dengan menghilangkan emisi lain dalam jumlah yang setara.

 

Terlepas dari perdebatan dan perbedaan terminologi, pemulihan hutan sebuah keniscayaan ditengah kerusakan yang terjadi. Pandemi dan bencana alam turut memperparah dan menyebabkan kerugian kian berlipat ganda. “Terutama dampak ini paling dirasakan oleh masyarakat kecil berpenghasilan rendah,” katanya.

 

Joni menjelaskan, SIEJ juga menyoroti isu transisi energi, sebagai upaya menuju energi bersih. Transisi untuk menghapuskan energi fosil batubara menjadi satu-satunya isu yang gagal disepakati dalam COP26 lalu. “Tak semua negara sepakat namun berkomitmen meninggalkannya secara bertahap,” ujarnya.

 

Selain itu, tidak kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, dan komitmen politik yang tidak konsisten membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga kuartal ketiga 2021, bauran energi terbarukan masih di angka 11.2%.

 

Tak hanya itu, SIEJ juga menyoroti aspek pangan. Krisis iklim tak hanya mendatangkan bencana, tetapi mengancam keberlangsungan pangan hingga berdampak terhadap sistem pertanian di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

 

Dalam skala besar misalnya, pemerintah terus menempatkan proyek food estate sebagai solusi ketahanan pangan. “Padahal banyak kalangan, terutama akademisi dan CSO mengkritik proyek ini karena akan menimbulkan deforestasi dan memicu konflik,” terangnya.

 

Bicara mengenai konflik lahan, masyarakat adat juga rentan mengalami diskriminasi. Sepanjang 2021, SIEJ mengangkat tema-tema dan problematika seputar masyarakat adat, baik melalui editor forum maupun workshop jurnalis. Termasuk mendorong segera disahkannya RUU Masyarakat adat yang masih terkatung-katung dalam satu dekade terakhir.

 

“Eksistensi masyarakat adat harus kita akui sebagai komunitas yang terus menjaga ekosistem hutan, menjaga kebaragaman pangan, dan pewaris nilai-nilai luhur,” jelas joni.

 

Topik-topik diatas hanyalah sedikit problem yang menuntut penyelesaian segera. Karena itu, SIEJ akan terus berkomitmen untuk mengawal jurnalisme lingkungan bertumbuh di dalam perspekftif keadilan dan berpihak pada kemanusiaan, “Tak hanya melontarkan kritik, tapi jurnalisme yang menawarkan solusi-solusi bagi pembuat kebijakan, bagi semua pihak,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *