JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Peneliti dan manajer program Trend Asia Andri Prasetiyo menilai keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batu bara demi menjamin pasokan, menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi kita di ambang krisis.
Kebijakan yang diberlakukan selama satu bulan, terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022 sengaja diambil seiring krisis listrik akibat defisit pasokan batubara di pembangkit PLN. Ketersediaan batu bara diperkirakan di bawah batas aman untuk mencukupi kebutuhan selama 15 hari.
“Keputusan pemerintah harus menarik rem darurat dengan menghentikan secara total ekspor batu bara menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi kita benar-benar tidak aman dan di ambang krisis,” ujar Andri.
Masalah pasokan batubara PLN disebabkan karena perusahaan-perusahaan batu bara tidak taat memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Puncak persoalan yang terjadi saat ini seharusnya dapat diprediksi dan bisa diantisipasi lebih awal.
Merujuk Ridwan Djamaluddin, Direktur Ditjen Minerba Kementerian ESDM, jika aturan larangan ekspor tak dikeluarkan, maka hampir 20 PLTU dengan daya 10.850 MW akan padam. Presiden Joko Widodo bahkan mengancam perusahaan batu bara yang tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi DMO akan mendapat sanksi dan izin usahanya akan dicabut.
“Pemerintah sudah terlanjur menempatkan batu bara sebagai bauran energi utama dan belum dapat melepaskan diri secara signifikan. Alhasil, ketika rantai pasoknya bermasalah, bayang-bayang krisis energi terasa begitu dekat,” papar Andri.
Untuk mengatasinya, sanksi tegas berupa pencabutan izin setiap perusahaan yang tidak patuh DMO seharusnya tidak hanya menjadi sebatas ultimatum Presiden. “Tetapi harus segera dilakukan,” katanya.
Beberapa waktu terakhir, harga komoditas batu bara di pasar dunia terus melonjak. Harga acuan global bahkan sempat menyentuh angka US$260 per metrik ton. Hal itu ditengarai sebagai penyebab perusahaan-perusahaan batubara lebih memilih menjual hasil produksinya ke luar negeri.
Akibat ketidakpatuhan DMO, pemerintah terpaksa memberikan surat keputusan pelarangan ekspor terhadap 34 perusahaan. Nyatanya, sanksi tersebut tidak mampu memberikan efek jera dalam mendorong kepatuhan.
Selain itu, KESDM mencatat, tingkat kepatuhan ratusan perusahaan tambang batu bara untuk memenuhi DMO sangat rendah. Dari target tahun 2021 sebesar 137,5 juta ton, realisasi yang tercapai hanya sebesar 63,47 juta ton atau sekitar 46 persen, terendah sejak 2017.
Hingga akhir 2021, hanya terdapat 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO batu bara sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2021. Dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah, hingga 1 Januari 2022, hanya terpenuhi 35 ribu metrik ton, atau kurang dari 1 persen.
Selain itu, data realisasi DMO oleh PLN menunjukkan perusahaan batu bara raksasa yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) juga tidak memenuhi ketentuan DMO oleh pemerintah, semisal PT Arutmin Indonesia.
Andri memperkirakan, ke depannya ancaman krisis energi yang terjadi akibat minimnya pasokan batu bara akibat fluktuasi harga global akan terus berulang, jika pemerintah terus bergantung terhadap penggunaan energi kotor.
Hingga saat ini, porsi batu bara masih mendominasi dalam sistem ketenagalistrikan nasional. Menurutnya, hal itu akan menjadi implikasi serius bagi ketahanan energi nasional. “Begitu pun terhadap upaya percepatan transisi energi nasional,” katanya.
Pemberian sanksi administratif hingga pencabutan izin terhadap perusahaan yang tidak patuh, atau bahkan peninjauan kembali harga DMO batubara dinilai dapat menjadi pilihan solusi jangka pendek mengatasi persoalan ini.
Namun, ada yang jauh lebih penting dan strategis. Jika pemerintah ingin melakukan perubahan menyeluruh terhadap kerangka kebijakan energi, maka solusi tersebut jelas tidak cukup.
“Pemerintah harus mempercepat proses transisi energi dengan memilih energi terbarukan,” tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kebijakan ini terkait kepentingan nasional, yakni prioritas pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri dan untuk PLN. Diketahui, PLN sedang mengalami defisit pasokan batubara di sejumlah pembangkit listriknya, khususnya di jaringan Jawa-Madura-Bali. (Jekson Simanjuntak)