Jekson Simanjuntak
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Selasa pagi, 21 Desember 2021, ada yang berbeda dengan langit Jakarta sepengamatan Farida Indriastuti. Pagi itu, ditengah kelabunya udara, ia mengalami kesulitan bernafas.
Waktu merujuk pukul 07.58 WIB, saat ia membuka pintu belakang yang merupakan balkon apartemennya. Farida buru-buru menutup kembali pintu tersebut, begitu mengetahui pekatnya udara yang membuat pandangannya terganggu.
“Waktu buka pintu belakang (balkon), langsung engap. Biasanya gue bisa nafas lega. Ini susah karena udara pekat sampai ke bawah,” ungkap perempuan yang berprofesi sebagai penulis lepas itu.
Farida Indriastuti menggemari kegiatan bersepeda untuk mengurangi emisi GRK. (sumber: https://www.instagram.com/faridaindriastuti/) |
Jika tidak ada kesibukan, Farida rajin memotret dari balkon hanya tuk sekedar mengabadikan suasana pagi kota Jakarta. Kegiatan itu sekaligus menambah dokumentasi foto, jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
“Biasanya saat pagi, gue punya foto yang membedakan antara kondisi normal dengan kondisi pekat, yang biasanya masih jelas sampai ke bawah. Nah itu, kan, beda banget. Beberapa aku sempat motretin,” terangnya.
Selain susah nafas, perempuan berkaca mata itu mencium sesuatu yang berbeda. Menurutnya, aromanya sangat menyengat, berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Itu juga yang membuatnya segera menyambar masker dan terus mengenakannya hingga siang hari.
“Ada bau yang berasal dari udara. Itu seperti belerang, tapi gak bisa mendeskripsikan baunya. Itu benar-benar pekat, gak kelihatan. Udaranya kok gini. Gue kaget!” paparnya.
Jika udara pagi sedang bersih, ia terbiasa memandang lepas hingga ke ujung cakrawala. Gedung-gedung, seperti kawasan perumahan di Cempaka Putih, Puskesmas hingga gedung BNPB terlihat dengan jelas.
Pagi itu, Farida tidak menyangka akan merasakan pengalaman yang berbeda. Meskipun telah tinggal di ketinggian cukup lama, ia belum pernah mengalami hal seburuk itu.
Saat sulit bernafas, ia teringat peristiwa serupa, puluhan tahun silam. Tepatnya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, Farida kecil menjalani perawatan intensif akibat sesak nafas dan batuk berkepanjangan yang dideritanya.
“Gue itu sensitif dari kecil. Misalkan waktu SD di Surabaya pernah mengalami paru-paru flek. Selama 3 tahun, ibu dengan susah payah merawat. Gue sampai dipindahkan karena kualitas udara yang buruk,” ungkapnya
Tak ingin peristiwa yang sama terulang, Farida bergegas menutup semua jendela dan memaksanya berdiam diri. Beruntung, siang harinya, kualitas udara secara perlahan kembali normal.
“Karena punya alergi udara, makanya pintu langsung kututup dan pakai masker,” ucapnya.
Pengalaman lainnya, ia rasakan saat melakukan perjalanan ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selama disana, badannya mengalami bentol-bentol. Setelah berobat selama setahun, ruam-ruam itu akhirnya hilang. Menurutnya, penyakit itu ada kaitannya dengan debu batu bara.
“Gue merasa gatal-gatal dan harus mengkonsumsi obat selama satu tahun. Maklum, selama 23 hari disana selalu terpapar debu,” katanya.
Farida Indriastuti menuliskan kekhawatirannya di media sosial, sambil me-mention Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (sumber: https://www.instagram.com/faridaindriastuti/) |
Khawatir dengan kondisi terburuk, Farida sempat menuliskan keluhannya di media sosial. Ia bahkan menyebut Gubernur DKI Anies Baswedan dalam postingannya, sembari memberitahu tentang bau yang tidak sedap itu.
“Makanya kucolek Anies. Gak peduli apakah dia respons atau tidak. Setidaknya dia tahu, bahwa lokasiku di perbatasan Jakarta Timur dekat dengan industri,” katanya.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan. (sumber: https://www.facebook.com/azas.nainggolan) |
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan juga mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, kondisi udara Jakarta sangat pekat, seperti berkabut, saat ia menuju PN Jakarta Pusat dari arah Bogor, beberapa waktu lalu. Ia tak menyangka, pemandangan pagi itu membuatnya ekstra waspada saat berkendara.
“Saat keluar Cawang dan sambung lagi di tol dalam kota, baru keluar di Cempaka Putih untuk menuju PN Jakpus, itu kayak mendung. Padahal masih pagi, sekitar jam 10,” katanya.
Soal kondisi kualitas udara Jakarta, Tigor menyebutnya sangat mengkhawatirkan. Terbukti, Psoriasis (peradangan kulit yang ditandai dengan ruam merah) yang diidapnya selalu kambuh jika berada di Jakarta. Namun ketika berada di Bogor, penyakit itu hilang.
“Itu jika saya di Jakarta, biasanya kambuh terus. Keluar merah-merah di kulit. Tapi sekarang saya tinggal di Bogor, penyakit itu berkurang,” tegasnya.
Kata Tigor, merujuk keterangan dokter kulit yang merawatnya, penyakit itu erat kaitannya dengan kualitas udara. “Kerja badan jadi lebih santai jika di Bogor. Jika di Jakarta, kerja badan lebih keras dan berat. Itu karena udara,” ungkapnya.
Tak hanya Tigor, istrinya juga mengalami hal serupa saat menetap di Jakarta. Istrinya yang punya pengalaman Asma (peradangan dan penyempitan saluran napas) kerap kambuh, jika kualitas udara memburuk.
“Jika di Jakarta, dia sering mengalami sesak nafas. Sementara di Bogor, dia aman-aman saja,” kata Tigor yang juga pengamat kebijakan transportasi publik.
Ia menambahkan, “Itu membuktikan kualitas udara yang dialami masyarakat secara riil. Jadi, Pemprov DKI Jakarta gagal untuk melindungi warganya atas udara bersih.”
Buruknya kualitas udara ibu kota, diyakini Tigor sebagai yang terburuk dalam dua tahun terakhir. Jika tidak ditangani dengan baik akan berujung pada pelanggaran hak azasi warga. “Padahal sebelumnya, Jakarta sempat menjadi kota dengan udara terbersih di dunia. Jika kita tracking ini merupakan pertama kali Jakarta mendapat kualitas udara yang buruk,” terangnya.
***
Manajer Klinik Alam Sehat Lestari (ASRI) dr. Alvi Muldani menjelaskan, pasca penerapan sanksi kepada Pemprov DKI oleh PN Jakarta Pusat atas kasus pencemaran atau polusi udara, belum terlihat perubahan mendasar terkait dengan kesehatan warga ibu kota. Hal itu baru bisa diukur, jika sejumlah kebijakan telah dikeluarkan.
“Belum bisa kita lihat, tergantung tindakan yang dilakukan pemerintah berupa regulasi atau program yang dibuat untuk meminimalisasi polusi udara,” katanya.
Manajer Klinik Alam Sehat Lestari (ASRI) dr Alvi Muldani. (sumber: https://www.linkedin.com/in/alvi-muldani) |
Selama ini, ada banyak dampak kesehatan yang dialami oleh warga akibat polusi udara. Data terbaru WHO menyebutkan, setiap tahun sedikitnya 7 juta jiwa melayang akibat polusi udara. “Dunia kehilangan tahun sehat sebanyak jutaan orang,” jelasnya.
Tak hanya itu, polusi udara juga berdampak pada kematian dini anak akibat infeksi pernapasan dan asma, sementara pada orang dewasa mengalami penyakit jantung koroner dan stroke.
“Data polusi udara terbaru juga berhubungan dengan kejadian penyakit Diabetes Melitus (DM) dan penyekit neurodegenerative,” ungkap dokter yang merupakan relawan dan konsultan kesehatan Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI).
Akibatnya, polusi udara menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan, karena hampir mendekati jumlah korban akibat perilaku merokok dan obesitas. Secara ekonomi, polusi udara menyebabkan kerugian negara sebesar US$85 billion dan menghilangkan 160.000 nyawa di 5 kota terpadat di dunia.
Itu sebabnya, Alvi mengajak warga untuk lebih peduli, termasuk memiliki kesadaran agar rutin memeriksa tingkat kualitas udara, mengingat dampaknya terhadap kesehatan. Caranya dengan mengakses data kualitas udara di masing-masing kota beserta level polusinya berdasarkan PM 2.5 melalui IQ air index.
“Supaya kita sadar akan potensi bahaya polusi yang ditimbulkan oleh paparan polusi udara, dan sesungguhnya ada informasi yang bisa kita gunakan,” katanya.
Dampak PM 2.5 terhadap kesehatan dan rekomendasinya. (sumber: IQ air index) |
Jika partikel halus akibat pencemaran udara yang ukurannya 2,5 mikron (PM 2,5) masuk ke dalam paru-paru bisa menyebabkan masalah pada kesehatan. Ukuran yang sangat kecil, namun beratnya lebih besar dibandingkan polutan lain, membuatnya bisa menembus paru-paru, lalu dialirkan oleh pembuluh darah ke seluruh tubuh. Akibatnya bisa memunculkan beragam penyakit, mulai dari iritasi mata, terganggunya saluran napas, munculnya kanker paru, hingga penyakit otak degenerative.
“Bisa dibayangkan salah satu komposisi PM2.5 itu adalah silika, yang merupakan senyawa dalam pasir dan gelas/kaca,” ungkap Alvi. Pada ibu hamil, partikel itu bisa menembus ari-ari dan mengganggu perkembangan janin, sejak dari berat bayi rendah, kelahiran premature, keguguran, bahkan kecacatan janin.
Karena keberadaannya sering tidak disadari dan penyakitnya tidak spesifik, masyarakat cenderung abai. Padahal polutan merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan masyarakat.
“Pada tahun 2013, WHO mengklasifikasikan PM2.5 sebagai zat penyebab kanker,” tegasnya.
Selain rutin memeriksa kualitas udara, Alvi juga menganjurkan warga untuk menghindari wilayah dengan kualitas udara buruk. Ini penting diperhatikan, karena orang yang memiliki sakit, kondisinya bisa semakin parah akibat terpapar polusi udara.
“Karena itu, perlu juga dipersiapkan obat-obatanan rutin, in case jika penyakit tersebut tercetus karena kualitas udara yang buruk,” ujarnya.
***
Peneliti ICEL Bella Nathania mengatakan, warga DKI Jakarta mendapat kado istimewa, September lalu, usai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan 32 warga terkait polusi udara.
Melalui putusan itu, Presiden Joko Widodo beserta empat menterinya dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan divonis bersalah atas polusi udara di Jakarta. Para tergugat dihukum untuk melakukan sejumlah langkah guna memperbaiki kualitas udara ibu kota negara, Jakarta.
“Intinya, putusan PN Jakpus memerintahkan terutama Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan inventarisasi terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah,” papar Bella.
Presiden Joko Widodo beserta 4 menterinya dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan divonis bersalah atas polusi udara di Jakarta. (sumber: https://www.facebook.com/sandyawan.sumardi) |
Majelis hakim juga memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar secara terfokus, tepat sasaran dan melibatkan partisipasi publik.
“Memang di dalam gugatan yang kami minta untuk melakukan inventarisasi dan menyusun rencana, khusus untuk Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jabar dan Gubernur Banten. Ini dilakukan karena pencemaran udara tidak hanya di satu wilayah saja. Tapi terjadi lintas wilayah,” ungkapnya.
Bella Nathania, Peneliti dari Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL. (sumber: ICEL) |
Menurut Bella, ada tiga hal penting yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta pasca kemenangan warga atas gugatan polusi udara.
Pertama, melakukan inventarisasi emisi sebagai dasar penyusunan dan implementasi strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara. Inventarisasi emisi penting untuk mengidentifikasi sumber pencemaran yang signifikan dan melakukan evaluasi terhadap tren emisi untuk penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (RPPMU).
PerMen LH No. 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah telah memerintahkan agar menyusun strategi dan pemerintah daerah dibebankan untuk melakukan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.
“Ini ada sedikit perubahan konstelasi, khususnya di PP no.22 tahun 2021 yang mengatur terkait inventarisasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (RPPMU),” katanya.
PP no.22 menurut Bella lebih komprehensif. Terbukti dari inventarisasi pencemaran udara, penetapan BMUA, menyusun WPPMU, hingga menetapkan RPPMU. “Yang memiliki tanggung jawab tidak hanya pemerintah daerah saja, tetapi pemerintah pusat punya peran yang cukup besar juga,” ujarnya.
Alur pengelolaan kualitas udara dimulai dari inventarisasi meliputi; identifikasi sumber pencemar dan/atau sumber gangguan, dan pengecekan mutu udara ambien. Identifikasi diperlukan untuk melihat jenis, lokasi, sebaran, dampak dari pencemaran. Lalu ada tingkat pertumbuhan penduduk, hingga kepadatannya. “Jadi dari sisi demografi dan aspek lingkungan, serta aspek kesehatan selalu dilihat,” kata Bella.
Hasil inventarisasi udara tersebut digunakan untuk menetapkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA). Hasil BMUA digunakan sebagai dasar penysunan Wilayah Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (WPPMU).
Selanjutnya, WPPMU digunakan untuk menyusun mutu udara sasaran, sebelum digunakan dalam pembuatan RPPMU. Di RPPMU, jika pemerintah melihat adanya udara tercemar, maka statusnya dibagi dua, yakni tercemar atau tidak tercemar. “Jika tercemar, kepala daerah seharusnya menetapkan mutu udara sasaran,” tegasnya.
Bella menambahkan, “Menurut pembacaan saya, mutu udara sasaran ini seharusnya lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan BMUA. Sementara RPPMU adalah nilai konsentrasi udara ambien tertinggi di dalam kelas WPPMU.”
Kedua, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi lainnya dalam menangani pencemaran udara lintas batas. Sebelumnya di Peraturan Pemerintah (PP) No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dikenal istilah baku mutu udara ambien daerah.
“Pemerintah provinsi bertugas menyusun inventarisasi udara provinsi, menetapkan mutu udara sasaran (dalam hal statusnya tercemar), menyusun RPPMU Provinsi meliputi WPPMU Propinsi dan lintas kab/ kota. Dan jika tercemar, gubernur segera menetapkan mutu udara sasaran,” terang Bella.
Sementara terkait dengan pencemaran udara yang sifatnya lintas batas, berdasarkan PP no.22 tahun 2021 pemerintah provinsi diminta melakukan konsultasi dengan pemerintah kab/ kota dalam menyusun inventarisasi emisi
“Jika sumber pencemar berasal dari Jawa Barat dan Banten, Pemprov DKI bisa konsultasi dengan provinsi tetangga, termasuk kab/ kota lain yang berdekatan” katanya.
Ketiga, partisipasi publik menjadi penting dalam inventarisasi udara dan penyusunan RPPMU. “Partisipasi publik tidak hanya dalam penyusunan RPPMU, tetapi dimulai dari inventarisasi emisi hingga penetapan RPPMU,” terangnya.
Ketika masyarakat diperbolehkan mengkritisi metode yang dilakukan pemerintah, maka pemerintah akan memperoleh masukan dan informasi, termasuk data yang mungkin belum dimiliki.
“Tentu, partisipasi publik tidak hanya semata-mata dengan mengundang mereka di acara sosialisasi maupun diskusi,” katanya. Namun, pemberian informasi yang dibutuhkan publik akan meningkatkan partisipasi, sehingga terbentuk sistem yang baik.
***
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi tidak menampik jika banyak tantangan yang dihadapi masyarakat terkait dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat, sebagai implementasi dari putusan PN Jakarta Pusat.
Menurutnya, Jakarta sudah mengalami krisis ekologi dan WALHI sejak 2009 sudah menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup Jakarta telah melampaui batas dan yang terjadi sekarang adalah degradasi lingkungan.
“Pulau Jawa sudah kolaps. Daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah tidak lagi mumpuni,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Jika ini tidak dihentikan dari sekarang, Bagus khawatir, akumulasi pencemaran udara bisa berdampak luas sehingga memunculkan bencana ekologis. Faktanya di beberapa wilayah, termasuk Jakarta, intensitas kejadian bencana ekologis dalam satu dekade terakhir mengalami peningkatan.
“Termasuk di Banten. Luasan wilayah yang masuk kategori rentan terhadap bencana pada tahun 2012 sekitar 52 – 53%. Sekarang di 2019-2020 meningkat hingga 90%,” terangnya.
Khusus DKI Jakarta, menurut Bagus, hampir seluruh wilayahnya rentan akan bencana ekologis. Sementara di Indonesia, secara rata-rata, mayoritas terhadap kerentanan bencana adalah sedang hingga tinggi. “Tidak ada yang rendah,” tegasnya.
Bagus menerangkan, “Jakarta sedang sakit oleh karena buruknya kualitas udara dan berbagai persoalan lainnya. Itu membuat warga rentan terhadap penyakit.”
Sehingga, hak atas lingkungan yang sehat, setelah melihat berbagai beban persoalan di Jakarta, ibarat mimpi. Pemerintah seharusnya aktif dalam menjamin setiap warga negara mendapatkan hak tersebut.
“Ini cenderung abai. Bahkan dalam hak ekonomi, sosial, budaya dan termasuk juga lingkungan hidup, negara seharusnya aktif,” katanya.
***
Dosen Teknik Lingkungan ITS Arie Dipareza Syafei menjelaskan tentang pertimbangan ilmiah sebagai dasar penyusunan rencana dan strategi untuk pengendalian pencemaran udara. Pasalnya, pencemaran udara bisa terjadi dimana saja dan kapan saja dalam skala lokal, urban, kota atau regional, kontinental bahkan global.
“Kita harus cermat dalam membagi pencemaran udara, dan semua telah sepakat bahwa pencemaran udara tidak terpaku pada wilayah tertentu,” katanya.
Menurutnya, pencemaran udara pasti memunculkan polusi lintas batas. Itu sebabnya, penting untuk mengetahui skala pencemaran yang biasanya dihitung berdasarkan jarak. Sejumlah literatur menyebutkan, jika pencemaran berada hingga 5 Km di permukaan Bumi maka sifatnya lokal. Jika mencapai 50 Km sifatnya urban. Sedangkan regional adalah 50 – 500 Km, kontinental 500 – 1000 Km, serta global berarti menyebar ke seluruh dunia.
Dosen Teknik Lingkungan ITS, Arie Dipareza Syafei. (sumber: https://www.facebook.com/ariedsyafei) |
Menurut Arie, Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (PPMU) dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Rencana Perlindungan dan pengelolaan mutu udara (RPPMU) terangkum di dalam PP no.22 tahun 2021.
Perencanaan meliputi; inventarisasi udara, penyusunan dan penetapan BMUA, Wilayah Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (WPPMU), dan RPPMU. Inventarisasi dilakukan untuk menghitung berapa ton emisi yang telah dikeluarkan.
“Bisa per kecamatan atau per daerah tertentu,” ucapnya. Tujuan utamanya untuk mengatahui beban emisi dari semua sumber, mulai dari transportasi, industri, bahkan restoran termasuk di dalamnya.
“Ini merupakan pengerjaan yang sangat luar biasa. Pekerjaan besar dan harus didukung oleh semua pihak,”
Oleh sebab itu, Arie menuturkan, yang menjadi tantangan adalah pencarian sumber data. “Hal itu harus dilakukan secara persuasif, karena tidak semua sumber emisi bersedia memberikan datanya,”ujarnya.
Lebih lanjut, Arie mengatakan, hal utama yang dilakukan ialah mengidentifikasi sumber emisi. “Ini harus dicicil, meskipun berat. Kemudian berapa beban emisinya. Berapa ton CO/tahun yang dihasilkan sumber emisi. Selain itu, stasiun pemantau perlu ditambah jumlahnya,” terangnya.
Jika sudah dipantau, baru dipelajari berapa konsentrasi maksimum dan jam berapa konsentrasi minimum. “Konsentrasi maksimum selama 10 tahun terakhir seperti apa?” tanya Arie.
Jika nilainya tinggi dan melebihi angka baku mutu udara, maka daerah tersebut harus dipertimbangkan untuk melakukan penanganan segera.
“Jakarta misalnya, space-nya sudah semakin terbatas, maka green buildingnya seperti apa, kawasan terbuka hijau dan setiap gedung diwajibkan ada tanaman di rooftop. Hal-hal seperti itu harus mulai dipikirkan, sering keterbatasan lahan,” ungkapnya.
Karena itu, putusan terkait gugatan warga, menurut Arie sebagai langkah maju dalam pemulihan kualitas lingkungan di Jakarta. Oleh karenanya, pemerintah harus mengimplementasikan putusan tersebut dengan menyusun kebijakan-kebijakan berdasarkan pendekatan ilmiah, terkoordinasi dan partisipatif.
***
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusiono A. Supalal mengatakan, pasca putusan gugatan warga terkait pencemaran udara, pihaknya telah melakukan serangkaian kebijakan yang menjamin kualitas udara yang baik dan sehat bagi warga ibu kota.
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusiono A. Supalal. (sumber: https://www.facebook.com/yusiono.supalal) |
Setidaknya ada tujuh hal yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup. Pertama, melakukan uji umisi terhadap kendaraan bermotor umum atau barang, dan peremajaan kendaraan umum atau kendaraan penumpang umum.
Kedua, melakukan manajemen lalu lintas, yakni penerapan ganjil-genap. “Dan Itu sudah dilakukan sejak lama,” katanya. Selain itu, turut diselenggarakan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) yang juga sudah sejak lama diberlakukan.
Ketiga, pelaksanaan uji emisi kendaraan pribadi atau mobil penumpang perseorangan. “Itu pun sudah dan sedang dilakukan,” tegas Yusiono.
Keempat, memperbaiki fasilitas keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki dan pesepeda. Dengan demikian, warga Jakarta akan merasa nyaman saat berada diluar ruangan.
Kelima, melakukan pengawasan terhadap emisi dari cerobong atau industri. “Untuk sektor industri, kami dari Dinas LH memiliki tugas melakukan pengawasan setiap tahunnya. Selain melakukan pengawasan, kita bandingkan dengan baku mutu yang ada agar bisa melihat ketaatan dari kegiatan usaha tersebut,” paparnya.
Saat ini, Dinas LH mewajibkan setiap industri skala kecil maupun besar yang berada di wilayah administrasi DKI Jakarta untuk memasang continues emission monitoring system.
“Ini alat yang dapat memantau emisi dari cerobong secara terus menerus. Jadi itu pun kami sedang mengupayakan untuk kesana,” ujarnya.
Keenam, melakukan penghijauan dan pengembangan sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ini penting agar tumbuhan hijau dapat menyerap emisi yang ada di Jakarta, sehingga menghasilkan iklim mikro yang menyejukkan.
Ketujuh, memperbanyak penggunaan energi baru terbarukan. “Ada solar panel yang difokuskan pada gedung-gedung milik pemerintah. Seperti di pasang di sekolah dan gedung-gedung pemerintahan,” tegasnya.
Dengan demikian, Yusiono menegaskan, pihaknya telah melakukan perbaikan, sebagai respons atas gugatan warga. Ia juga menyadari bahwa udara bersih merupakan hak warga. Karenanya ia memastikan bahwa Dinas LH Provinsi DKI Jakarta akan selalu bersikap koorporatif dan kolaboratif. Termasuk ikut dalam optimalisasi pembangunan rendah karbon.
Selain itu, ia memastikan bahwa Instruksi Gubernur No. 66/ 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara di Jakarta telah dilakukan dengan baik oleh setiap instansi di lingkungan Pemprov DKI Jakata
Terkait baku mutu udara ambien atau ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien, Yusiono menjelaskan, mereka mengikuti PP no.22 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penetapan baku mutu udara ambien kini menjadi kewenangan KLHK.
“Sebelumnya kita telah punya Perda hingga Instruksi Gubernur sebagai payung hukum, namun dengan terbitnya PP no.22/ 2021, kita pedomani itu,” katanya.
Tak hanya itu, Yusiono juga menjelaskan tentang Indek Standar Pencemar Udara (ISPU) di DKI Jakarta. Saat ini, data yang dikumpulkan dari 5 stasiun pengamatan, dalam setiap 30 menit akan masuk ke sistem. Data itu diolah sesuai dengan pedoman dari KLHK dan dihitung, untuk mencari besaran ISPUnya. “Dari ISPU itu yang kemudian kita sosialisasikan melalui web Dinas LH, Pemprov DKI, dll,” terangnya.
ISPU merupakan angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
“Indek Standar Pencemar Udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi,” katanya.
Kemudian masing-masing angka itu memiliki kategori tersendiri. Mulai dari kategori baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya. “Ada 5 kategori yang merujuk pada angka indeks tersebut,” ujarnya.
Secara umum, nilai ISPU di DKI Jakarta dominasinya dalam kategori ‘sedang’. Pada tahun 2020 terlihat ada perbaikan karena pandemi, dimana aktivitas masyarakat berkurang. “Tahun ini masih ada pengaruh dari kondisi pandemi tersebut,” katanya.
***
Yusiono mengatakan, penyebab pencemaran udara di DKI Jakarta didominasi oleh transportasi darat, sisanya dari pembangkit listrik, pembakaran domestik, dan industri. Kajian Inventarisasi Sumber Pencemaran Udara pada 2020 yang dilakukan Dinas LH DKI Jakarta berkolaborasi dengan Vital Strategies menemukan bahwa kontributor polusi udara dari sektor transportasi darat, terutama untuk NOx (72,4 persen), CO (96,36 persen), PM10 (57,99 persen) dan PM2.5 (67,03 persen).
“Sedangkan sektor industri pengolahan menjadi sumber polusi terbesar untuk polutan SO2 serta terbesar kedua untuk NOx, PM10, dan PM2.5,” katanya.
Hari bebas kendaraan bermotor di kawasan Bundaran HI. (sumber: https://commons.wikimedia.org) |
Penelitian itu menunjukkan bahwa kendaraan bermotor adalah sektor kunci yang harus ditangani secara baik untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta. Apalagi, jumlah kendaraan bermotor terus bertumbuh, lebih dari 5 persen sejak 2012 .
Dinas LH DKI Jakarta kemudian berinovasi dengan memberlakukan uji emisi untuk kendaraan berusia lebih dari 3 tahun. Uji emisi kendaraan roda dua dan roda empat juga diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
“Uji emisi merupakan pengujian pada kendaraan bermotor untuk meminimalisasi gas rumah kaca dan udara berbahaya dari mesin kendaraan bermotor,” tegasnya.
Azas Tigor Nainggolan menilai Pergub tersebut tidak efektif untuk menurunkan polusi udara di Jakarta. Pasalnya, pemberlakuan uji emisi hanya menguntungkan pihak tertentu saja.
“Menurut saya, bukan itu yang harus dilakukan, karena itu berdampak pada keuntungan bengkel-bengkel besar semata,” katanya.
Menurutnya, yang perlu diselesaikan adalah kontribusi pencemaran yang berasal dari kemacetan. “Harusnya yang diselesaikan adalah kemacetan Jakarta. Mengapa macet? Karena orang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi,” ungkapnya.
Sudah seharusnya warga diarahkan agar tidak menggunakan kendaraan pribadi. “Pindahin ke angkutan umum. Perbaiki kualitasi layanan angkutan umum di Jakarta,” ujarnya.
Azas Tigor juga menyesalkan terjadinya 502 kecelakaan yang melibatkan bus PT Transjakarta dalam kurun Januari-Oktober 2021. Menurutnya, angka itu ikut menurunkan minat warga untuk menggunakan angkutan umum.
“Yang seperti ini seharusnya diperbaiki dan disupport pemerintah daerah, agar angkutan umumnya bagus. Itu perbaiki dulu Transjakarta,” pintanya
Azas Tigor juga mengkritisi buruknya sistem perparkiran di DKI Jakarta. Parkir seharusnya dilakukan di tempat yang telah disediakan. “Coba lihat sekarang pada parkir sembarangan. Padahal jaman sebelumnya sudah ada parkir berbayar,” ujarnya.
Azas Tigor menambahkan, “Lihat di Jatinegara, di depan kantor polisi orang parkir sembarangan. Juga di pasar burung Pramuka. Di Gajah Mada juga sama.”
Itu sebabnya, ia mengusulkan agar Pemprov DKI memperbaiki layanan parkir dan angkutan umum sehingga lebih efisien. “Sekarang orang pake layanan KRL, harus ojol dulu. Mau naik transjakarta harus pake ojol dulu. Turun dari transjakarta atau turun dari KRL, naik ojol dulu. Itu belum akses berarti,” terang Tigor.
Hal lain yang juga efektif dalam meningkatkan kualitas udara di Jakarta adalah penerapan larangan menggunakan kendaraan pribadi di Jalan Sudirman – Thamrin. Itu memungkinkan, karena disana ada akses Transjakarta dan MRT.
“Sudah tidak perlu kawasan itu dilewati kendaraan pribadi. Perkantoran juga punya pintu belakang semua. Sehingga di jalan itu hanya boleh angkutan umum dan sepeda, serta pejalan kaki,” terangnya.
Jalan Sudirman Thamrin layak diujicobakan terkait pelarangan tersebut. “Itu akan mengurangi polusi, apalagi Sudirman – Thamrin merupakan kawasan perkantoran padat. Selama ini, tingkat polusi sangat tinggi disitu,” pungkasnya. (end)