Beras Hasilkan Emisi Methane (CH4) Cukup Tinggi

Beras Berita Lingkungan CIFOR Emisi GRK Konsumi Makanan Makanan News Perubahan Iklim Terkini

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Food and Nutrition Scientist dari CIFOR (Center for International Forestry Research) Mulia Nurhasan menganjurkan masyarakat untuk mengurangi konsumsi nasi karena berdampak buruk terhadap lingkungan, khususnya peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan kerusakan alam. Anjuran mengurangi konsumsi nasi, sejalan dengan konsep ketahanan pangan yang berkelanjutan.

 

Mulia merujuk studi terbaru The American Journal of Clinical Nutrition (2021) yang mempelajari pola konsumsi yang berkelanjutan di Indonesia. Studi tersebut menganjurkan masyarakat untuk mengurangi konsumsi nasi.

 

“Kita sering gak kepikiran, bahwa pola konsumsi makanan kita memiliki dampak pada lingkungan, seperti misalnya konsumsi nasi yang sehari tiga kali, sekali makan sampai sepiring penuh nasi,” katanya.

 

Jika semua penduduk memiliki pola makan yang sama, dipastikan negara memerlukan produksi beras yang semakin banyak. “Sayangnya, produksi beras ternyata menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi,” terang Mulia.

 

Peningkatan gas rumah kaca yang tinggi akan menyebabkan perubahan iklim. Di waktu bersamaan, banyak lahan sawah mengalami penyusutan. Belum lagi, banyak yang menanam padi di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi, sehingga menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar.

 

“Akhirnya, konsumsi nasi kita yang tinggi, turut memperburuk kerusakan alam dan menciptakan masalah sosial,” ujarnya.

 

Emisi GRK beras sangat tinggi

Informasi yang dihimpun Our World in Data (Juni 2021) mencatat bahwa di tahun 2020, dunia telah mengeluarkan sekitar 34.81 miliar ton gas CO2e, dimana 589.50 juta ton diantaranya berasal dari Indonesia. 

 

Gas CO2 adalah gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia. Masih berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa produksi beras per kilogramnya menghasilkan 4,45 kilogram ton gas rumah kaca. Nilai ini termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya. 

 

Umbi-umbian dan singkong, yang juga pangan pokok, menghasilkan jauh lebih kecil gas rumah kaca dari pada beras per kilogramnya. Singkong hanya menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca. Singkong dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat utama di beberapa bagian Indonesia. 

 

“Namun sayang, konsumsinya sebagai pangan pokok menurun,” katanya. Selain singkong dan umbi-umbian, sumber karbohidrat lain juga menghasilkan gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dari beras, di antaranya, kentang sekitar 0,46 kilogram, jagung sekitar 1,7 kilogram, dan pisang sekitar 0,86 kilogram.

 

Uniknya, pemerintah justru membuka lahan baru melalui program food estate di Kalimantan dan Papua. Di wilayah Kalimantan Tengah, food estate dibangun pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) yaitu di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan luas 30,000 hektare. 

 

Menurut data WALHI, di Papua akan dialokasikan lahan food estate antara lain, sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400,000 hektar di Mappi, 32,000 hektar di Boven Digoel, dan 4,650 hektar di Yahukimo yang mendapat kritik dari para aktivis lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat.

 

Lahan pertanian produksi beras terbukti menghasilkan emisi methane (CH4) cukup tinggi, sehingga berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca. Selain itu, berdasarkan penelitian, produksi beras dalam skala massal dan intensif juga cenderung menciptakan ketahanan pangan yang rentan terhadap perubahan lingkungan. “Seperti serangan hama dan bahkan perubahan iklim” kata Mulia merujuk pada publikasi terbarunya.

 

Ketidakseimbangan isi piring 

Sementara itu, studi yang dilakukan CIFOR pada Juni 2021 bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan” menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi. 

 

“Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit dicapai karena makanan kita hanya itu-itu saja” kata Mulia.

 

Keseimbangan makanan bisa tercermin pada keragaman bahan pangan yang tersaji pada isi piring kita. Ketika pilihan makanan di piring tidak seimbang, maka perlu diingat bahwa isi piring berasal dari ekosistem di sekitar kita. 

 

Ketidakseimbangan isi piring akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. “Hal ini karena setiap makanan yang ditempatkan di piring kita, berasal dari sebuah proses produksi dan distribusi bahan pangan yang punya dampak lingkungan dan sosial, termasuk di antaranya, menghasilkan emisi karbon.” terangnya.

 

Mulia menyarankan, mengkonsumsi pangan yang lestari atau berkelanjutan (sustainable diet) menjadi penting agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca, bahkan perampasan hak-hak masyarakat lokal. 

 

Mengurangi makan nasi dan menggantikan porsi yang dikurangi dengan makanan tinggi asupan zat gizi mikro, seperti ikan dan sayuran berwarna-warni, bukan hanya baik untuk kesehatan, namun juga untuk kelestarian alam.

 

“Kita kan gak mau ya, pilihan makanan kita ikut menjadi alasan pembukaan lahan yang menyebabkan buruknya perubahan iklim dan terusirnya masyarakat adat dari tanah leluhur mereka,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *