JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hariadi Kartodihardjo menjelaskan, korupsi yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk bidang kehutanan sudah terinstal ke dalam institusi dan sistem pemerintahan.
Hasil riset tahun 2013 mengenai suap di perusahaan kehutanan masih terjadi hingga hari ini. Konflik lahan dan hutan juga terus meluas, demikian pula tumpang tindih penggunaan hutan dan lahan secara sistematis terus terjadi hingga mencapai 77 juta hektar.
“Ironinya semua itu berjalan sesuai dengan peraturan dan pedoman kerja, dan tidak ada yang melanggar hukum,” ujar Prof Hariadi pada webinar “Transparansi dan Anti Korupsi dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia”, Kamis (16/12).
Menurut Prof Hariadi, hal itu terjadi karena korupsi dalam pelaksanaan tata kelola selain dilaksanakan melalui penggunaan instrumen negara (state capture corruption), misalnya melalui penetapan pasal-pasal dalam peraturan-perundangan, juga melalui pelemahan fungsi-fungsi lembaga negara (institutional corruption).
“Korupsi ini bukan dilakukan dengan cara barter atau quid pro quo, tetapi melalui regulasi dan prosedur resmi yang dijalankan oleh lembaga resmi,” ungkapnya.
Dalam perizinan, korupsi demikian, selain mempermudah dan melonggarkan prosedur izin, juga memperlancar jalannya izin. Uniknya, lembaga perizinan tidak mampu mengendalikan izin-izin yang dikeluarkannya
Prof. Hariadi menegaskan, “State capture corruption dapat pula berupa internalisasi berbagai jenis peraturan daerah, termasuk mengurangi luas kawasan lindung dalam tata ruang, memudahkan kelompok usaha tertentu untuk menjalankan bisnisnya di daerah, maupun penetapan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dalam peraturan daerah.
Hal demikian berakibat pada lemahnya penegakan hukum serta lemahnya pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. “Tetapi semua itu sudah berjalan sesuai dengan peraturan-perundangan” jelasnya.
Merefleksikan lemahnya aspek kelembagaan yang menyuburkan korupsi, Dr. Rimawan, peneliti Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, salah satu persyaratan kemajuan sebuah negara adalah aspek kelembagaan yang kuat.
“Sehingga bisa menjamin perkembangan ekonomi dan memberikan manfaat sesungguhnya bagi kesejahteraan rakyat,” katanya.
Pada negara maju, aspek kelembagaan mengatur tata hubungan antar elemen masyarakat, sehingga menurunkan aspek korupsi. Akhirnya, potensi negara untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat akan berhasil.
“Saya mengamati bahwa struktur ekonomi Indonesia sejak Belanda mengambil alih VoC di tahun 1800 hingga sekarang masih didominasi ekonomi ekstraktif. Natural resource curse hypothesis terjadi di perekonomian Indonesia: negara dengan kandungan sumberdaya melimpah cenderung tidak memiliki sistem kelembagaan yang baik, sehingga pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut suboptimal dan tertinggal dari negara yang justru tidak memiliki sumberdaya alam,” terang Rimawan yang juga aktivis anti korupsi.
Laporan yang dirilis KPK pada 24 Maret tahun 2020 mencatat bahwa perkebunan sawit sebagai sektor dengan potensi pajak yang tidak dipungut oleh pemerintah sekitar Rp18,13 triliun pada tahun 2016. “Padahal, potensi pajak di tahun tersebut bisa mencapai Rp40 triliun,” ujarnya.
Salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaan negara, menurut Rimawan, akibat rendahnya tingkat kepatuhan pajak, dimana kepatuhan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi hanya 6,3% dan WP Badan sebesar 46,3% (KPK, 2016).
Sementara itu, pandemi turut menciptakan kontraksi ekonomi di seluruh dunia. Banyak negara menerapkan budget defisit, kebutuhan mengkompensasi masyarakat, namun rasio pajak mengalami penurunan drastis akibat kontraksi ekonomi.
“Modal finansial menjadi sangat langka sejak pandemi dan akan terus berlaku hingga 5-10 tahun mendatang,” ungkapya.
Kelangkaan modal sejatinya dapat diminimalisasi dengan menggerakkan modal sosial, namun modal sosial hanya berjalan jika ada kepercayaan. Kepercayaan adalah fungsi dari integritas dan transparansi.
Membangun modal sosial dalam jangka panjang, menurut Rimawan hanya akan berhasil jika integritas dan transparansi dilakukan secara konsisten antar waktu. Ditambah lagi, sekarang tuntutan dari dunia internasional sudah semakin tinggi, dimana keberlanjutan menjadi elemen utama dalam ekonomi.
Semua sektor akan terdorong menuju green economy (ekonomi hijau) atau blue economy (ekonomi biru) yang menempatkan dampak lingkungan dan sosial setara dengan dampak ekonomi. Kondisi itu menjadi momentum perubahan ekonomi untuk memutus rantai ekonomi ekstraktif menuju struktur ekonomi alternatif yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan.
“Jadi, sekarang semuanya kembali lagi kepada pemerintah untuk menentukan arah pembangunan Indonesia kedepannya,” ujarnya.
Sebagai tuan rumah G20, komitmen Indonesia sebagai negara yang bermartabat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan akan semakin disorot. “Maka, sudah saatnya rakyat bisa menikmati hasil pembangunan secara adil dan mencapai tingkat kesejahteraan yang seharusnya mereka nikmati dari negara yang kaya ini,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)