Pendanaan Dan Komitmen Kepala Daerah Berdampak Pada Inventarisasi GRK

Berita Lingkungan Gas Rumah Kaca GRK KLHK Netral Karbon News Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Terkini Urban

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Kepala Seksi Inventarisasi GRK Sektor Energi dan IPPU dari Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan dan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ratnasari mengatakan, pemerintah telah memiliki sejumlah kebijakan terkait penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca (GRK).

Kebijakan itu meliputi Perpres 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional dan Peraturan Menteri LHK No. 73 tahun 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca.

“Ini merupakan aturan yang mewajibkan pemerintah daerah dan non party stakeholder melakukan kegiatan inventarisasi GRK,” katanya. Selanjutnya mereka diminta memberikan pelaporan setiap tahunnya untuk di compile yang pada akhirnya menjadi bagian dari pelaporan nasional.

Tujuan pelaporan itu untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK, termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

“Juga untuk menyediakan informasi pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional,” ujar Ratnasari saat menjadi pembicara pada webinar “Lokakarya Media – Percepatan Pencapaian Target Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim”, Selasa (7/12).

Adapun cakupan emisi, meliputi pengadaan dan penyediaan energi, proses industri dan penggunaan produk, dan sektor pertanian, kehutanan, lahan gambut dan penggunaan lahan lainnya serta pengelolaan limbah.

Nilai Ekonomi Karbon (NEK)

Pemerintah telah mengeluarkan Perpres 98/2021 terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mengatur perdagangan karbon (carbon pricing). Namun hingga saat ini, peraturan turunan tentang sertifikasi, verifikasi dan hal lainnya masih dalam pembahasan.

“Sementara menunggu, daerah yang ingin melaporkan perdagangan karbon sebaiknya mulai menyusun aturan dan beres-beres dulu di tingkat sub-nasional (daerah),” katanya.

Saat ini, beberapa instrumen pendukung Nationally Determined Contributions (NDC), diantaranya menggunakan Sign Smart telah dipergunakan oleh pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi maupun non-parties stakeholder lain untuk menghitung emisi yang telah dikeluarkan.

Sign Smart dibuat oleh Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi untuk menghitung emisi GRK,” katanya.

Kemudian untuk aksi mitigasi dan adaptasi, termasuk pendanaan bisa diinput melalui SRN. “SRN adalah sistem registrasi nasional terkait pengendalian perubahan iklim,” ujarnya.

Ratnasari menambahkan, “Jadi SRN lebih terarah pada pendataan tindakan mitigasi, sedangkan Sign Smart lebih kepada pendataan inventarisasi GRK. Selain itu, di KLHK ada program SIDIK atau Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan.”

Kedepannya, SRN akan dilekatkan pada sistem perdagangan karbon. Karena itu, harmonisasi dan sinergi SRN terus dilakukan, sehingga bisa digunaan secara online oleh kementerian lain. Apabila private sector dan pemda memiliki sistem registrasi tersendiri, maka sistemnya disinergikan melalui SRN. “Sehingga data-data terkait aktivitas mitigasi dan pendanaan akan terhubung di SRN,” tegasnya.

Tak hanya itu, SRN juga mencakup sumber pendanaan, baik yang berasal dari APBN maupun donor asing. “Semua terlihat disitu. Berapa mereka telah berkontribusi dalam isu ini bisa terlihat secara jelas,” ungkap Ratnasari.

Jika ternyata kebutuhan dananya dianggap kurang, maka aktivitasnya perlu dibuat secara detil. Pasalnya, negara-negara maju tidak lagi mendukung negara berkembang secara ‘gelondongan’, namun spesifik disesuaikan dengan kebutuhan di tingkat lokal.

“Sistem ini sangat transparan karena semua orang bisa mengakses SRN dan bisa melihat berapa dana yang terpakai, serta berapa sumbangan donor yang masuk. Termasuk jenis kegiatannya,” jelasnya.

“Misalnya, Kota Bandung ternyata membutuhkan IGM Card. Ini sangat spesifik dan dana yang disediakan donor bisa langsung diarahkan ke unit-unit tertentu.” imbuh Ratnasari.

Peran BPDLH

Selain itu, ada institusi pendukung lain, yakni Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk untuk menampung donor asing khusus untuk isu-isu lingkungan, utamanya terkait perubahan iklim.

“Sehingga nanti kebutuhan pendanaan dan peningkatan kapasitas serta alih teknologi, targetnya bisa tercapai. Tidak lagi melalui badan-badan lain atau pemerintah pusat,” ujarnya.

Selama ini, pemerintah daerah selaku sub-nasional diminta mengajukan proposal atau menyesuaikan dengan program yang diadakan oleh pemerintah pusat, agar bisa mengakses dana perubahan iklim. Selanjutnya, pemerintah di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi bisa secara spesifik mengajukan dana dana yang dibutuhkan.

Ini yang menyebabkan peran sub-nasional (pemerintah daerah) merupakan motor penggerak utama dengan pendekatan bottom up terkait mitigasi dan adaptasi isu perubahan iklim.

“Isu iklim baik terkait inventory, mitigasi dan adaptasi sangat spesifik, sehingga tidak akan sama antara satu daerah dengan daerah lainnya,” kata Ratnasari.

Sejak tahun ini, pemerintah pusat telah mengarahkan pandangannya pada pemerintah daerah, karena emisi terbesar ada disana. Itu diperlukan agar dana yang diberikan oleh donor dapat disalurkan secara tepat.

Meskipun perubahan iklim merupakan isu global, namun implementasi di tingkat nasional haruslah disesuaikan dengan kondisi daerah, baik dari sisi kelembagaan maupun instrumen kebijakan.

“Sehingga Indonesia dapat secara maksimal mendukung upaya penurunan GRK di dunia,” terangnya.

Perda Perubahan Iklim

Khusus terkait implementasi Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), menurut Ratnasari, seharusnya diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah (perda). Hanya saja, banyak daerah belum memiliki perda terkait isu iklim.

“Terkait perubahan iklim sebenarnya sudah ada di UU 32, tetapi UU tersebut mengamanatkan agar dibuatkan PP tentang isu perubahan iklim,” katanya.

Saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) masih berbentuk draf yang nantinya akan memberikan kewajiban kepada masyarakat untuk mengurangi emisi. Ini juga sebagai aturan cantolan untuk pembuatan perda.

“Selama ini, KLHK melakukan kolaborasi hanya di tingkat provinsi, makanya kita enggage organisasi semacam ICLEI yang bekerja di tingkat provinsi juga Kabupaten Lestari,” katanya.

Mengantisipasi kekosongan payung hukum, KLHK kemudian membentuk program yang setiap tahunnya bisa dilaksanakan oleh kabupaten tentang inventarisasi GRK dan melakukan bimbingan teknis di tingkat provinsi.

“Kita juga ada Balai Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) di 5 region dan merupakan perpanjangan tangan LHK di tingkat daerah,” terangnya.

Untuk menjembatani hal itu, Ratnasari menegaskan bahwa sejumlah pilot project telah digagas. Contohnya, di Kabupaten Gorontalo, KLHK berhasil membentuk Pokja Perubahan Iklim. “Disitu dengan koordinasi dari Dinas LH setempat yang akan meng-enggage OPD yang ada,” katanya.

Ratnasari menegaskan, “Ini merupakan salah satu contoh sukses kami, ketika berhasil mensosialisasikan dan mendorong pemda sebagai bentuk komitmen kepala daerah.”

Komitmen Kepala Daerah

Saat ini, permasalahan utama lebih kepada komitmen kepala daerah. Pasalnya, setiap pergantian pimpinan daerah, memunculkan kebijakan baru sehingga membentuk sistem yang juga baru. Akibatnya inventory, identifikasi mitigasi, termasuk identifikasi kebutuhan tidak berjalan dengan baik.

“Itu telah dilakukan melalui pokja, dikoordinir oleh Dinas LH setempat,” katanya.

Menurut Ratnasari, anggota pokja terdiri dari para OPD yang disahkan melalui surat keputusan bupati. Keputusan itu dibuat untuk memperkuat secara legal, karena belum ada cantolan hukum di tingkat nasional.

“Begitu juga di tingkat provinsi, kita mekanismenya melalui pokja, yaitu Pokja Perubahan Iklim yang disetiap daerah sangat berbeda,” terangnya.

Selanjutnya, kabupaten yang berada di bawah naungan Kabupaten Lestari akan diorganisir melalui Laboratorium Pengendalian Kualitas Lingkungan (LPKL). Itu sebabnya, KLHK bekerjasama dengan LPKL setempat demi memperkuat sistem inventarisasi GRK.

“Ini bukti bahwa isu perubahan iklim tidak hanya top down, karena data-data untuk sektor limbah misalnya, hanya ada di daerah. Kita di nasional mungkin punya data dalam bentuk besar, tetapi secara spesifik, daerah yang memiliki data-datanya,” tegas Ratnasari.

Jika daerah memiliki pemimpin yang peduli dan berkomitmen kuat terkait perubahan iklim, maka programnya akan berjalan baik. “Jika ada daerah yang memiliki komitmen kuat, namun terkendala pendanaan, akibatnya program perubahan iklim kurang masuk kesana,” ujarnya.

Ratnasari menegaskan, “Hadirnya PP akan mampu menyelesaikan permasalahan finansial. Tetapi dengan syarat, daerah harus mengajukan proposal dan melakukan identifikasi terlebih dahulu tentang kebutuhannya.” (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *