JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Bank-bank yang dinilai patuh terhadap kebijakan keuangan berkelanjutan (green finance), ternyata masih salurkan dana ke sektor energi berbahan bakar batubara. Mereka masih terlibat di sejumlah PLTU, seperti PLTU Jawa 9 dan 10, PLTU Pangkalan Susu, dan PLTU Tarahan.
Andri Prasetiyo, periset dan pengkampanye Trend Asia, mengatakan, kondisi itu memunculkan paradoks. BRI salah satunya. Bank yang terkenal dalam pembiayaan KUR itu ternyata mendanai PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar US$2.5 juta dan PLTU Tarahan senilai US$8.3 juta.
Bank Mandiri juga sama. Menurut Andri, Mandiri merupakan bank yang paling besar mendanai energi batu bara. Khusus PLTU Jawa 9 dan 10, Mandiri menggelontorkan dana US$2.6 milar dan mendanai Adaro sekitar Rp5.8 triliun.
Daftar lembaga pemberi pinjaman ke Indika sejak Oktober 2018 – Oktober 2020. (sumber: https://coalexit.org) |
Tak hanya itu, Mandiri ditengarai sebagai pengatur penerbitan obligasi kepada Indika. Indika selaku produsen batubara terbesar ketiga di Indonesia menerbitkan obligasi valas dengan nilai mencapai US$675 juta atau setara Rp9,86 triliun dengan kurs Jisdor Rp14.609 per dolar AS.
“Secara eksplisit mereka belum menjelaskan kapan berhenti mendanai tambang batu bara dan PLTU. Padahal tren global jelas mendorong green finance,” katanya.
Laporan Keberlanjutan 2020 Bank Mandiri juga mengklaim sudah patuh terhadap peraturan OJK dengan mengedepankan prinsip green finance.
“Kenyataannya, dana untuk tambang batubara dan PLTU masih ngucur, bahkan ketika mereka sudah mengikuti aturan OJK,” ujar Andri.
Ilustrasi BNI ATM Gallery. (sumber: istimewa) |
BNI juga sama. Bank plat merah milik pemerintah itu kedapatan membiayai PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar US$ 1,83 miliar atau sekitar Rp27 triliun. Tak hanya itu, BNI juga terlibat dalam peninjauan hutang baru (refinancing) Adaro.
“BNI masuk dalam refinancing yang merupakan syarat penting untuk memastikan perpanjangan izin investor tetap masuk. Adaro tahun depan habis, jadi harus diurus refinancing-nya.”
Bank Mandiri mendukung pembiayaan industri dan pembangkit batu bara. (sumber:coalexit.org) |
BNI terlibat mendukung pembiayaan sejumlah lembaga yang masih menggunakan batu bara. (sumber:coalexit.org) |
Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org tidak terkejut saat mengetahui fakta tentang perbankan lokal yang masih membiayai energi batu bara meskipun mengaku menerapkan green finance.
“Ini tidak mengejutkan karena perbankan kita baru memiliki komitmen sustainability di tahun 2018, dimulai dari 8 bank disusul 5 bank lainnya. Jadi bisa dimaklumi bahwa dibutuhkan proses ke sana,” paparnya.
Hanya saja, publik tidak boleh diam. Komitmen bank untuk menjadi hijau harus menjadi pegangan nasabah dalam mendorong bank betul-betul memenuhi janji. “Jika masih membiayai PLTU dan tambang batubara di tengah ancaman krisis iklim merupakan pilihan yang mencederai komitmen itu.”
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. (sumber: istimewa) |
Di tengah kritik perbankan di Indonesia, yang belum lepas dari pembiayaan ke sektor yang berakibat buruk baik iklim dan lingkungan seperti ke energi batubara, Wimboh Santoso Ketua Dewan Komisioner OJK menegaskan sebaliknya. Dia bilang, sustainable banking network telah menempatkan Indonesia bersama Tiongkok sebagai negara penggerak utama (First Movers) dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Bahkan, akan ditingkatkan ke tahapan selanjutnya, pembiasaan perubahan sikap secara menyeluruh (mainstreaming behaviour change).
Untuk mencapai komitmen dan implementasi keuangan berkelanjutan, katanya, perlu perubahan pola pikir kalau faktor risiko lingkungan hidup dan sosial merupakan peluang sekaligus tantangan bagi sektor jasa keuangan.
Peluang untuk menciptakan pembiayaan yang inovatif, sekaligus tantangan melakukan transisi dari bisnis ‘seperti biasa’ menuju pendekatan yang berkelanjutan (sustainable).
“Peran OJK sangat penting dan strategis untuk mempercepat implementasi keuangan berkelanjutan, sejalan dengan usaha menjaga stabilitas ekonomi dan stabilitas keuangan akibat Covid-19 ditengah penerapan digitalisasi perekonomian di seluruh dunia,” katanya saat membuka Webinar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dengan tema Keuangan Berkelanjutan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, Juni lalu.
Untuk itu, kolaborasi bersifat global perlu dibangun sesuai dengan arah yang disepakati bersama komunitas global, seperti World Bank, IMF, maupun Organization for Identity and Cultural Development (OICD)melalui sejumlah inisiatif yang bersifat global maupun lokal.
Apabila kolaborasi dilakukan secara optimal, maka harus mengadopsi pola investasi hijau, dimana setiap keputusan yang diambil memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola.
OJK mendukung implementasi keuangan berkelanjutan. (sumber: commons.wikimedia.org) |
Untuk mendukung implementasi keuangan berkelanjutan, OJK menerbitkan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan untuk lembaga jasa keuangan, emiten, dan juga perusahaan publik dan POJK no.60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan Green Bond.
Sejauh ini, stake holder merespons kebijakan OJK dengan baik. Terbukti, implementasi pembiayaan berkelanjutan di 8 bank peserta pilot project (First Movers) telah dilanjutkan dengan bergabungnya 5 bank lainnya.
Di saat bersamaan, penyaluran portfolio hijau pada perbankan telah mencapai Rp809.75 triliun. Demikian juga dengan penerbitan green bond PT. Sarana Multi Infrastructure sebesar Rp500 miliar dan peningkatan indeks SRI KEHATI dengan dana kelolaan sebesa Rp.2.5 triliun.
“Selain itu ada penerbitan ESG Leader Index oleh bursa efek Indonesia untuk mewadahi permintaan yang tinggi atas reksadana dan ITF yang bertema ESG,” terangnya.
Tak hanya itu, OJK juga mengeluarkan instentif dalam mendukung kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) melalui pengecualian pemenuhan aturan rasio batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dalam proyek produksi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Juga memberikan keringanan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), dan penilaian kualitas kredit dalam pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai oleh konsumen.
****
Trend Asia menyesalkan laporan tahunan sejumlah bank lokal yang menyebut telah mematuhi peraturan OJK dan mengikuti kerangka framework sebagai lembaga keuangan berkelanjutan. Hal itu terjadi akibat aturan yang tidak spesifik mensyaratkan penghentian pembiayaan terhadap energi batu bara.
“Jadi di OJK masih agak loose peraturannya. Sehingga muncul semacam tipuan pemasaran atau bangun citra palsu dari pembiayaan hijau, tetapi disaat bersamaan mendanai PLTU,” katanya.
Jika melihat pola yang terjadi, Andri menilai bank-bank lokal tidak secara langsung melanggar peraturan OJK. Hanya saja, jika mengikuti tren global, bank-bank lokal seharusnya tidak lagi membiayai energi kotor batu bara.
“Sehingga tidak bisa mengatakan ini tidak sesuai aturan, jika aturannya masih memungkinkan untuk itu,” tegasnya.
Pentingnya aturan OJK yang lebih progresif diamini Sisilia. Menurutnya, aturan soal produk keuangan berkelanjutan harus dipatuhi oleh bank-bank lokal, meskipun skemanya bersifat sukarela.
“Ke depan keuangan berkelanjutan harus menjadi kewajiban,” katanya.
Saat ini, green taksonomi OJK sudah diberlakukan pada industri sawit. Misalnya pendanaan untuk sawit mendapat sertifikasi ISPO dianggap sustainable dan terhitung sebagai pendanaan hijau, meski nature dari industri ini adalah ekstraktif.
“Saya berharap, OJK tidak menerapkan hal serupa terhadap industri energi fosil. Karena tidak ada batubara yang bersih. Emisi dari energi fosil tetap tinggi dibandingkan dengan energi terbarukan,” terang Sisilia.
Bank-bank lokal yang memberikan pinjaman terhadap proyek energi kotor, dipastikan bertolak belakang dengan ekonomi hijau. Pola-pola seperti itu, menurut Andri bukanlah green financing namun greenwashing atau berdiri di dua kaki. Di satu sisi membiayai proyek energi bersih, dan di waktu bersamaan mendukung PLTU batu bara.
“Itu ibaratnya mencuci nama baik. Mereka melakukan sesuatu yang jelek, tetapi pada saat yang sama melakukan hal baik. Sebenarnya gak relate tetapi dianggap bahwa ini dalihnya,” katanya.
Setuju dengan Andri, Sisilia juga menilai potensi penyalahgunaan yang mengarah pada greenwashing sangat mungkin terjadi. “Maka dari itu, kita perlu dorong transparansi dunia perbankan,” ujarnya.
Selain pemberian label hijau pada pinjaman yang memenuhi standar ESG, bank juga perlu transparan terhadap pendanaannya. Inisiatif untuk mendorong ini dilakukan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosure.
“Bank yang punya komitmen keuangan berkelanjutan perlu tunjukan juga pendanaan mereka yang dapat memperparah krisis iklim,” katanya.
Ilustrasi praktik greenwashing. (sumber: mancunion.com) |
Greenwashing merupakan distraksi, saat sejumlah bank lokal menutupi praktek kotornya dengan atribut hijau. Akibatnya, tidak ada perubahan mendasar. “Greenwashing merupakan pembohongan publik/ konsumen/ nasabah yang sebetulnya mulai peduli kepada lingkungan hidup,” tegas Sisilia.
Praktik Greenwashing juga dipahami baik oleh Naifah. Ia menilai BNI tidak konsisten saat terbukti melakukannya. BNI diketahui memiliki komitmen terhadap keuangan berkelanjutan saat mendanai proyek-proyek energi baru terbarukan, namun disisi lain ternyata mendanai Adaro.
“Saya melihat tidak konsisten atau double standard. Yang paling signifikan di Adaro. Seakan-akan memberikan karpet merah ke Adaro untuk tetap memproduksi energi kotor,” katanya.
Trend Asia tidak menampik fakta bahwa perbankan murni sebagai entitas bisnis. Namun ketika ratusan bank global mengalihkan pendanaannya kepada sektor-sektor yang lebih hijau, Andri mengatakan, hal itu terjadi karena adanya tekanan publik.
“Bank-bank merasa bahwa sektor batu bara tidak punya masa depan. Sehingga mereka pindah untuk membiayai sektor yang lebih menjanjikan,” katanya.
Sebagai branding, bank-bank global menyebutnya demi lingkungan, namun berdasarkan hitung-hitungan bisnis, mereka melihat energi batu bara tidak memiliki masa depan. “There is no future in coal,” kata Andri.
Bank Mandiri merupakan salah satu bank lokal yang masih mendanai pembangkit berbahan batu bara. (sumber: https://commons.wikimedia.org/) |
Berhentinya bank-bank global membiayai energi batu bara, menjadi momentum bagi Trend Asia dan koalisinya untuk menyadarkan bank-bank lokal untuk peduli krisis iklim.
Jangan sampai, pembiayaan PLTU batu bara yang 70%nya berasal dari bank-bank asing, justru dianggap peluang oleh bank-bank lokal, sehingga berlomba-lomba mendanainya. “Itu bukan tren yang harus diikuti. Harapannya, bank-bank lokal cabutlah dari pembiayaan itu,” tegasnya.
Perlu kepedulian nasabah
Andri juga mengingatkan bahwa publik berhak tahu tentang dana yang mereka titipkan di bank-bank lokal. Jangan sampai bank malah membiayai proyek-proyek yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Ilustrasi kegiatan setor tunai. (sumber: bankmandiri.co.id) |
Sebagai nasabah, Sisilia menolak keras jika dananya digunakan untuk membiayai energi batu bara. Karena itu, ia meminta bank-bank lokal yang menerapkan green finance segera menyusun road map yang jelas agar in line dengan Perjanjian Paris.
Sisilia lalu merujuk langkah taktis sesuai rekomendasi Reclaim Finance agar tagline pembiayaan berkelanjutan tidak dipandang sebagai jargon. Hal yang harus dilakukan, seperti; mengakhiri semua dukungan untuk proyek batubara, mengecualikan perusahaan yang mengembangkan proyek batubara baru, mengecualikan perusahaan dengan eksposur tinggi terhadap batubara dan mengecualikan perusahaan batubara terbesar.
“Serta harus mengadopsi strategi keluar yang kuat untuk mendukung penutupan aset batubara yang ada.”
Aksi menuntut BNI stop biayai energi fosil. (sumber: istimewa) |
Dia tidak rela kalau dana yang ia simpan untuk industri kotor batubara. Menurut dia, masa depan tanpa krisis iklim harus terwujud. “Kita ingin BNI korporatif dan tetap menyediakan masa depan buat kita selagi memakai jasa mereka.”
Ginanjar juga mendesak BNI tidak lagi mendanai energi batu bara. Menurut dia, gerakan anak muda di Indonesia sudah sangat besar dan mereka menyadari dampak buruk energi fosil terhadap krisis iklim. Mereka juga akan terus menekan bank-bank lokal agar memperhatikan lingkungan.
“Baru-baru ini anak muda tersadar jika industri batu bara sangat ditunjang oleh perbankan, karena itu sebagai nasabah, kami tidak ingin BNI mendanai energi fosil,” tegas mahasiswa angkatan 17 itu. (end)
*Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia melayangkan petisi ke Direktur Utama BNI untuk segera menghentikan pendanaan ke proyek batu bara. Petisi tersebut dapat dilihat di change.org/GaPakeNanti
*Liputan ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batu Bara” yang diadakan oleh Mongabay Indonesia dan 350.org.