SORONG, BERITALINGKUNGAN.COM – Kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan 5 orang saksi fakta dalam sidang gugatan PT Inti Kebun Lestari (IKL) melawan Bupati Kabupaten Sorong dengan nomor perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR di pengadilan TUN Jayapura pada 30 november 2021
Lima saksi tersebut berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman pangan, Holtikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Sorong dan dua orang perwakilan masyarakat hukum adat.
Dian Patria saksi dari KPK menerangkan bahwa sejak tahun 2018 seluruh kepala daerah di Provinsi Papua barat telah berkomitmen melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. KPK bertugas mendampingi tim yang dibentuk oleh pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melakukan evaluasi.
“Ada 24 izin perusahaan di evaluasi, hasilnya 16 perusahaan perizinannya ditertibkan dengan luas mencapai 340.000 hektar dengan 70% wilayahnya merupakan kawasan hutan alam,” kata Dian.
Evaluasi yang dilakukan KPK terhadap 600 ribu hektar luas konsensi di Papua Barat ternyata hanya 17 ribu hektar yang melakukan pembayaran pajak, hingga ada potensi kerugian negara sebesar Rp20 triliun. “Sehingga evaluasi izin-izin penting dilakukan termasuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup,” ujarnya.
Di persidangan, Benediktus Heri Wijayanto selaku Ketua Tim Evaluasi Perijinan Sawit di Provinsi Papua Barat menerangkan dalam proses evaluasi telah memanggil seluruh perusahaan untuk memberikan data dan mendengar hasil rekomendasi tim, termasuk PT Inti Kebun Lestari.
Dari penelitian dokumen dan lapangan, PT IKL sebagian besar tidak melaksanakan kewajiban Izin Usaha Perkebunan, sehingga tim merekomendasikan Pemerintah Kabupaten Sorong untuk melakukan pencabutan izin kerena banyak pelanggaran.
Sementara itu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong Subur menerangkan, sejak mendapatkan izin lokasi, PT IKL tidak pernah mengajukan proses permohonan hak atas tanah.
“Perusahaan hanya mengirimkan laporan upaya pendekatan ke masyarakat adat, sehingga didalam rapat evaluasi kabupaten sepakat untuk mencabut izin lokasi PT IKL,” ujarnya.
Keterangan itu diperkuat kesaksian dua masyarakat adat, Manase Fadan dari Kampung Klasman dan Ruben Malakabu dari Kampung Malaus yang menerangkan tidak mengetahui izin-izin yang dimiliki perusahaan. Masyarakat baru mengetahui ada izin diatas tanah ulayat setelah bupati saat ini mencabut izin-izin perusahaan.
Saat gugatan berlangsung, beberapa orang yang mengaku perwakilan perusahaan mendekati masyarakat. Mengetahui mereka didekati, masyarakat adat memutuskan menolak kehadiran perusahaan sawit di tanah ulayat.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Jerat Papua Septer Manufandu mengatakan, banyak izin perusahaan yang bermasalah. Praktik jangka waktu izin yang melewati batas waktu, hingga perusahan yang tidak memenuhi janji kepada masyarakat adat.
Menurut Septer, tindakan Bupati Sorong merupakan langkah yang baik sesusai dengan regulasi yang mengakui hak masyarakat adat seperti diatur Perda Nomor 10 tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Juga sesuai dengan Perbup Nomor 6 tahun 2020 tentang Implementasi Wilayah Adat dan Perdasus Gubernur Papua Barat Nomor 9 tahun 2019 tentang Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua barat.
“Tindakan yang diambil bupati merupakan tindakan penyelematan hutan, tanah dan manusia Malamoi,” katanya.
Saat sidang berlangsung, Forum Mahasiswa Peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar unjuk rasa meminta hakim menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan.
Mahasiswa menilai kehadiran perkebunan kelapa sawit tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat. “Namun justru menyingkirkan kehidupan masyarakat hukum adat dari tanah leluhur,” kata Eko, perwakilan forum mahasiwa. (Jekson Simanjuntak)