JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya berharap pemerintah segera mengimplementasikan keinginan untuk menutup operasi PLTU batu bara sebelum 2040. Pemerintah harus menuangkannya dalam berbagai produk kebijakan dengan peta jalan yang jelas.
“Pasalnya, dalam dokumen RUPTL terbaru 2021-2030, PLTU batu bara justru masih mendapatkan porsi penambahan sebesar 13,8 Gigawatts (GW),” katanya.
Tata menambahkan, “Inisiatif itu menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batu bara di 2040 sesuai rekomendasi IPCC dan melakukan transisi ambisius ke energi bersih dan terbarukan.”
PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW telah berkontribusi besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90 persen diantaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas.
Namun apakah inisiatif ini betul-betul bisa menjadi game changer untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan? Menurut Tata, Ini sangat tergantung kepada implementasinya, untuk memastikan penutupan lebih awal PLTU batu bara diikuti transisi yang sesungguhnya ke energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari.
“Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi,” tegasnya.
Tata juga mengusulkan penghilangan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia. Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi bersih dan terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batu bara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar,” katanya.
Selanjutnya, tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mekanisme tersebut sangat diperlukan.
Mekanisme terbaru, seharusnya tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batu bara baru. Penentuan harga PLTU batu bara dalam mekanisme terbaru harus dilakukan secara transparan.
“Sehingga mencegah kelebihan harga yang mengabaikan bahwa PLTU batu bara terancam menjadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan dan saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas,” katanya.
Tata juga menyerukan agar memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batu bara. Mekanisme itu harus menyediakan pembiayaan yang memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak.
“Pengumuman ini tidaklah berarti bila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang,” terangnya.
Penutupan PLTU benar-benar harus disertai dengan pengembangan energi bersih dan terbarukan, tidak lari ke berbagai solusi semu. “Termasuk tidak mengabaikan dampak merusak operasi PLTU yang telah dan akan terus terjadi hingga 2040,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)