LABUAN BAJO, BERITALINGKUNGAN.COM — Perwakilan warga Kampung Nunang Yosep Erwin yang bertindak mewakili warga Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur menegaskan penolakannya atas rencana penambangan panas bumi (Geothermal) di ruang hidup mereka.
“Penolakan ini dilakukan untuk merespon upaya paksa Pemerintah dan perusahaan yang tetap melanjutkan proyek ini, di tengah derasnya penolakan warga,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Beritalingkungan.com.
28 September 2021 lalu, Komite Bersama dan Pemerintah Daerah Manggarai Barat menandatangani nota kesepahaman pengembangan panas bumi Wae Sano di Jakarta. Selain penanandatanganan MoU, turut ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengadaan Tanah untuk Area Eksplorasi (pengeboran eksplorasi) pada wilayah terbuka Wae Sano antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Menurut Yosep, upaya paksa pemerintah dipicu oleh surat rekomendasi dari Keuskupan Ruteng kepada Presiden Jokowi pada tanggal 29 Mei 2021, yang memberi lampu hijau kelanjutan proyek panas bumi, secara khusus di Wellpad A Kampung Lempe.
“Sebulan setelah itu, Rabu 20 Oktober 2021, anggota Komite Bersama yang mendukung rencana ekstraksi proyek panas bumi Wae Sano mendatangi kami untuk mengklarifikasi keaslian tanda tangan warga, pada surat yang telah dikirim ke Bank Dunia pada 2020 lalu,” terangnya.
Upaya paksa pemerintah dan perusahaan itu menimbulkan banyak pertanyaan. “Ini jadi pertanyaan kami selaku pemilik ruang hidup Wae Sano, terkait kepentingan apa dan siapa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan di balik upaya paksa pembangunan ini,” ujarnya.
Demikian juga dengan Bank Dunia yang meminta anggota Komite Bersama untuk melakukan verifikasi (tanda tangan) penolakan warga, seolah menunjukkan jika penolakan warga Wae Sano selama ini direkayasa oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Atas dasar itu, Yosep menegaskan kembali bahwa mereka menolak pembangunan Geothermal Wae Sano karena titik-titik pengeboran yang berada langsung di ruang hidup mereka, seperti: pemukiman, lahan pencaharian, sumber air, rumah adat, gereja, dan sekolah.
“Bahkan, pihak pemerintah dan perusahaan juga secara terbuka menawarkan opsi relokasi (baca: menggusur) perkampungan warga Nunang,” katanya.
Sementara itu, perwakilan warga Kampung Lempe Frans Napang menegaskan bahwa langkah Pemkab Manggarai Barat menandatangani MoU dengan pihak Komite Bersama sangat merugikan masyarakat. “Kami tegaskan bahwa penandatanganan MoU itu adalah sebuah proses yang terjadi di ruang gelap yang berupaya merekayasa suara penolakan kami,” terangnya.
Sejauh ini, warga di sekitar Wellpad B (Kampung Lempe) menyatakan tidak pernah menyetujui dan tidak pernah memberikan mandat ke pihak manapun untuk bertindak atas nama warga dalam rangka mendukung kelanjutan proyek panas bumi di wilayah mereka.
“Karena itu, rekomendasi dari pihak Keuskupan Ruteng sama sekali tidak berdasarkan aspirasi kami,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan warga Kampung Lenda Aleks Abur menjelaskan bahwa hampir seluruh proses masuknya rencana pengeboran panas bumi Wae Sano menggunakan pendekatan “jalur atas”, serba tertutup dan diduga penuh transaksional.
“Penolakan kami secara lisan dan tertulis selaku pemilik ruang hidup Wae Sano adalah riil, berangkat dari kesadaran bersama warga kampung. Itulah sebabnya, dari awal, kami meminta Bank Dunia untuk turun langsung, sehingga bisa mengetahui secara utuh situasi yang terjadi di lapangan,” paparnya
Selanjutnya, Aleks mendesak pemerintah dan perusahaan untuk menghentikan pembangunan proyek panas bumi, termasuk meminta Bank Dunia menghentikan pendanaan kepada PT SMI dan GeoDipa. (Jekson Simanjuntak)