Geothermal, Energi Bersih Sejuta Manfaat

Berita Lingkungan Energi Energi Baru Terbarukan Energi Bersih Energi Masa Depan Energi Panas Bumi News Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Terkini Transisi Energi

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Ashadi, salah seorang pengajar dari Jakarta Drilling School (JDS) masih ingat betul bagaimana ia bekecimpung  di dunia pengembangan energi panas bumi (geothermal) dalam 10 tahun terakhir.

 

Menurutnya, energi panas bumi sangat menarik karena menghasilkan energi bersih. Jika pun ada emisi, konsentrasinya sangat kecil dibandingkan energi kotor yang berasal dari fosil.

 

“Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai clean energy renewable,” kata Ashadi pada sesi Pelatihan Media Pengenalan Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya, Sabtu (25/6).

 

Di JDS yang merupakan pusat pendidikan berbasis kompetensi dengan orientasi di bidang pengeboran minyak, gas bumi serta panas bumi, Ashadi membagikan pengalamannya.

 

Ashadi, salah seorang pengajar dari Jakarta Drilling School (JDS)  (sumber: Jekson Simanjuntak)

Ia menjelaskan tentang keunggulan energi panas bumi yang mampu memperbaiki base load. Sebuah kondisi yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya, semisal tenaga surya. Diketahui ketersediaan energinya hanya pada siang hari saja. “Sehingga tidak serta merta selama 24 jam ada,” paparnya.

 

Juga saat merujuk energi lain, seperti hidro, ketersediaannya mengikuti pasang surut air laut dan debit air. “Jadi tidak selama 24 jam tersedia,” terang Ashadi yang sempat berkarir di Chevron Geothermal.

 

Kondisinya sangat berbeda dengan energi panas bumi. Setelah berhasil melakukan eksplorasi, maka energinya akan tersedia selama 24 jam. “Sehingga itu bisa menjadi base load, dari kacamata PLN,” ujarnya.

 

Dengan sumberdaya yang begitu besar, Ashadi meyakini Indonesia mampu memimpin dalam pengembangan energi panas bumi di level global. Pasalnya, energi panas bumi Indonesia kapasitasnya mencapai 40% dari total yang ada di dunia. 

 

“Ini merupakan keunggulan alam Indonesia yang perlu dimanfaatkan,” tegasnya.

 

Selain itu, Indonesia termasuk dalam kawasan Ring of Fire, dimana energi panas bumi sangat melimpah. Itu sebabnya, pemerintah memetakan wilayah kerja pertambangan (WKP) berdasarkan pola rangkaian gunung api yang disesuaikan dengan sumberdaya yang ada. 

 

Pemerintah telah memiliki WKP di hampir semua wilayah di Indonesia, kecuali Kalimantan dan Papua, karena daerah tersebut tidak termasuk dalam kawasan gugusan gunung berapi.

 

“Saya sendiri pernah terlibat mengembangkan geothermal di Jawa dan Sumatera. Tiap-tiap lokasi memiliki tantangan dan keunikan tersendiri,” kata Ashadi yang sekarang aktif di KS Orka & Sorik Merapi Geothermal.

 

Pengurangan GRK Sektor Energi

Indonesia telah berkomitmen penuh, baik melalui Protokol Kyoto maupun Perjanjian Paris untuk berkontribusi nyata dalam pengurangan gas rumah kaca. Sektor energi menjadi salah satu fokus pemerintah, selain menjaga ketahanan energi, suplai dan pengembangan, termasuk melakukan terobosan melalui kebijakan, baik di sektor hulu maupun hilir.

 

Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono. (Sumber: Jekson Simanjuntak)

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono pada sesi webinar terkait pengenalan panas bumi kepada awak media, di Jakarta, Sabtu (25/9).

 

Dari sisi ketahanan energi, pemerintah menyadari bahwa penggunaan energi baru terbarukan merupakan solusi yang harus segera dilakukan. Salah satunya melalui pengembangan energi panas bumi.

 

“Salah satu target pemerintah adalah meningkatkan peran energi panas bumi untuk kebutuhan listrik dan mulai mereduksi peran energi fosil,” katanya.

 

Dia menjelaskan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi yang besar, berkelanjutan sekaligus ramah lingkungan. “Hanya saja bila dibandingkan dengan sektor migas, pelaku usaha panas bumi jauh lebih sedikit,” ujarnya.

 

Dewan Pengawas Aspermigas Prof. Subroto (sumber: Jekson Simanjuntak)

Senada dengan itu, Dewan Pengawas Aspermigas Prof. Subroto mengamini jika Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang melimpah. Selain terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan bagian dari Ring of Fire atau wilayah yang dikelilingi oleh banyak gunung berapi. 

 

“Ini merupakan kekayaan alam yang melimpah dalam bentuk geothermal,” kata Prof. Subroto pada sesi Pelatihan Media Pengenalan Panas Bumi, Sabtu (25/6).

 

Hanya saja, ketika Indonesia melakukan transisi energi, yakni beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan, hal itu bukan perkara mudah.


Direktur Utama JSK Petroleum Academy Moch. Abadi mengatakan, energi panas bumi berasal dari bawah permukaan Bumi dan letaknya sangat dalam sekali. Energi panas bumi adalah energi yang tersimpan di perut Bumi.

 

Energi panas dibawa ke permukaan oleh konduksi termal, utamanya intrusi ke dalam kerak Bumi dari magma cair yang berasal dari mantel. Kondisi itu juga diakibatkan oleh sirkulasi air tanah ke kedalaman yang lebih jauh.

 

“Yang kita manfaatkan bukan panasnya, tapi steam atau uap airnya,” kata Abadi.

 

Pangsa EBT dalam bauran energi nasional. (sumber: Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono)

Netral Karbon 2060

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, karena berada di kawasan Ring of Fire. Alasan itu, menurut Abadi, menjadi pertimbangan ketika ingin memanfaatkan energi panas bumi secara optimal.

 

“Potensi Indonesia sebesar 40% dari seluruh sumberdaya panas bumi di dunia,” tegasnya.

 

Khusus Indonesia, pada tahun 2060 diharapkan sudah netral karbon (zero emision), sehingga tidak ada lagi emisi yang terbuang. “Itu sebabnya di tahun 2025, pemerintah menghentikan penggunaan energi batu bara,” katanya.

 

Jika dibandingkan dengan konsumsi minyak bumi (energi fosil) terdapat perbedaan mencolok antara produksi dan kebutuhan. “Secara konsisten, produksi minyak bumi terus menurun, sementara kebutuhan justru naik,” katanya.

 

Begitu juga dengan kebutuhan gas, keberadaannya masih stabil. Namun demikian, Abadi memastikan, lama kelamaan cadangan gas pasti habis. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, selain menggunakan energi panas bumi, sebagai energi baru terbarukan.

 

Penggunaan energi panas bumi juga erat hubungannya dengan upaya mencegah pemanasan global. Jika Bumi telah memanas, maka kutub utara dan kutub selatan akan mencair.  Setelah itu, tinggi permukaan air laut akan naik. 

 

“Ini tentu sangat bahaya sekali bagi kita,” ujarnya.

 

Untuk menghindari dampak pemanasan global, Eko Budi Lelono menyebut energi panas bumi sebagai salah satu solusi. Indonesia bisa memanfaatkannya, karena tersebar merata di sejumlah wilayah, mulai dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara.

 

Indonesia bahkan menempati peringkat kedua di dunia untuk pemanfaatan panas Bumi sebagai pemangkit listrik.

 

“Total sumberdaya kita 23.7 GW dengan cadangan sebesar 14.4 GW dan kenyataannya kurang dari 10% atau 2.130.7 MW ekivalen yang telah dimanfaatkan,” ujar Eko.

 

Sumberdaya tersebut kebanyakan berada di wilayah vulkanik. Namun tidak tertutup kemungkinan energi panas bumi bisa ditemukan di kawasan non-vulkanik. “Seperti di jalur tektonik (sesar aktif) dan cekungan sedimen,” katanya.

 

Eko menambahkan, “Peluang ini akan digunakan untuk menopang ketahanan energi kedepannya.”

 

Energi panas bumi yang melimpah akan tersedia selama Bumi masih ada. (sumber: Moch. Abadi)

Renewable Energy

Energi panas bumi disebut renewable energy karena sifatnya tidak akan habis dan tetap ada selama-lamanya. Tidak seperti energi fosil dan batu bara yang lama kelamaan akan habis. Energi panas bumi yang melimpah akan tersedia selama Bumi masih ada. 

 

Geothermal ini, sampai kapan pun, sampai dunia kiamat tetap ada,” kata Abadi.

 

Keterbaruan dan keberlanjutan tenaga panas bumi akan selalu ada, karena setiap ekstraksi panas yang diproyeksikan lebih kecil dibandingkan dengan kandungan panas bumi itu sendiri.

 

“Bumi memiliki kandungan panas internal sekitar 100 miliar kali konsumsi energi tahunan 2010 di seluruh dunia,” katanya.

 

Energi panas bumi ada kaitannya dengan bencana gempa bumi yang sering melanda. Secara umum, dampaknya dianggap negatif seiring rusaknya sejumlah fasilitas hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Namun siapa sangka, ada sisi positif dari fenomena alam tersebut.

 

“Gunung api punya kekurangan, seperti gempa dan kemungkinan erupsi.  Namun positifnya kita bisa memanfaatkan panas bumi menjadi energi baru terbarukan,” ujar Abadi.

 

Itu sebabnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi dibangun di tepi lempeng tektonik, di mana sumber daya panas bumi tersedia dekat dengan permukaan.

 

Indonesia termasuk dalam kawasan Ring of Fire. (sumber: Moch. Abadi)

Proses Kerja

Energi panas bumi bukan dihasilkan dari sentral (inti) Bumi, namun dari lapisan paling luar, dikenal dengan istilah Crust. Secara pembagiannya, lapisan terdalam adalah Inner core, setelah itu Outer Core, lalu mantel dan terakhir Crust.

 

Crust berada di lapisan paling atas dengan ketebalan 20 – 65 Km, dan pengeboran geothermal paling jauh hanya 6 Km. Adapun ketebalan mantel sejauh 2.900 km, sedangkan Core mulai berada pada kedalaman 3.470 km.

 

“Itu Crustnya saja sudah cukup bagus. Jika kita perhatikan cukup panas sekali suhunya. Untuk di Core, suhunya mencapai 4.000ºC (7.200ºF),” ujar Abadi.

 

Dengan cara itu, masyarakat bisa memanfaatkan energi panas bumi yang didapat dari lapisan Crust, yang merupakan lapisan paling atas.

 

Pada kedalaman 4.000Km (2.500 miles) suhunya mencapai 4.000ºC (7.200ºF). Sedangkan di kedalaman 6.400 Km (4.000 miles) suhunya 5.000ºC (9.000ºF).  Panas yang dihasilkan merambat di beberapa lapisan yang berbeda.

 

“Disitu ada beberapa macam panas bumi, karena panas yang dihasilkan berbeda-beda. Ada yang  superheated atau hot dry rock dan ada yang medium,” ungkapnya.

 

Dengan menggunakan bor, panas dialirkan ke permukaan melalui sistem tertentu. Kemudian tekanannya diatur, sehingga mampu menyalurkan uap air (steam)  bertekanan tinggi untuk menggerakkan turbin. 

 

“Turbin akan menggerakkan generator dan akan menghasilkan listrik yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,” kata Abadi.

 

Sebelum menyalurkan listrik ke rumah-rumah, PLN akan menyediakan tower bertegangan tinggi. Sementara itu, sisa atau residu akan kembali disirkulasikan ke dalam Bumi.

 

“Kita tidak menghasilkan sampah (waste), karena sampahnya berupa uap air dengan kadar yang sangat sedikit,” paparnya.

 

Secara umum ada perbedaan antara energi panas bumi dan energi fosil. Energi panas bumi berupa uap air dapat langsung digunakan untuk menggerakkan turbin. “Sementara energi fosil dengan crude oil, harus dibawa dahulu ke kilang/ refinary untuk diolah menjadi bahan bakar minyak,” katanya.

 

Baru kemudian bahan bakar minyak dikirim lagi ke suatu tempat untuk menjadi BBM, yang digunakan sebagai bahan bakar penggerak turbin.

 

Energi panas bumi adalah energi panas dari dalam bumi. (sumber: Moch. Abadi)

16 Unit PLTP 

Eko Budi Lelono mengatakan, Indonesia telah memiliki 16 unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas terpasang di 16 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Pada 2019 seluruh WKP mampu memproduksi listrik hingga 13.978 Giga Watt Hour (GWh) dari 101,5 juta ton produksi uap.

 

“Kita akan berusaha menambahnya, untuk pembangkit listrik panas bumi hingga ke pulai kecil dan wilayah terluar di masa mendatang,” kata Eko.

 

Menurutnya, Badan Geologi telah menemukan potensi panas bumi yang melimpah di sejumlah lokasi, namun belum dimanfaatkan. Perlahan namun pasti, pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau 16,8% di tahun 2025.

 

“Kita sudah punya road map untuk menjalankan 46 proyek (panas bumi) dengan total kapasitas sebesar 1.222 MW,” ujarnya.

 

Harapannya, pembangkit tersebut mampu berkontribusi terhadap panambahan 5.000 MW dari sekarang sekitar 2000an MW. Pengembangan panas diperkirakan dapat menyerap investasi sebesar 4,1 miliar USD. 

 

Sementara itu, Ashadi mengatakan total sumberdaya di Sumatera sebesar 9.779 MW dan yang terpasang baru 744 MW. Di Pulau Jawa, potensi sumberdaya sebesar 8.107 MW, sementara yang terpasang baru 1.254 MW.

 

“Di pulau-pulau lain, masih banyak yang belum dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa kesempatan dari sisi developer masih besar sekali di Indonesia,” katanya.

 

PLTP Kamojang merupakan PLTP pertama di Indonesia. (sumber: https://www.dunia-energi.com)

Sejarah Geothermal Indonesia

Menurut Ashadi, energi panas bumi sebagai energi terbarukan mulai dikembangkan selama hampir 100 tahun di Indonesia. Eksplorasi panas bumi bertujuan untuk menghasilkan listrik, diusulkan pertama kali pada tahun 1918. 

 

Pengeboran awal dilakukan oleh Seksi Vulkanologi yang berganti nama menjadi Survei Vulkanologi Indonesia (VSI), divisi khusus dari Survei Geologi Indonesia (GSI) bentukan kolonial belanda. Saat itu eksplorasi dilakukan di Kawah1 Kamojang, Jawa Barat, pada tahun 1926. 

 

“Beberapa lubang dibor mencapai kubah fumarol yang besar. Sumur ketiga (KMJ-3) sedalam 66m dan menghasilkan uap,” katanya

 

Abadi menambahkan, “PLTP pertama beroperasi sejak tahun 1983.”

 

Perkembangan energi panas bumi sempat berhenti beberapa kali. Periode pertama pada saat energi fosil booming dan periode kedua ketika krisis ekonomi 98 melanda Indonesia. Selain itu, pada periode 2008 – 2013 pembangunan pembangkit energi panas bumi juga sempat berhenti karena beberapa alasan.

 

“Secara umum, Indonesia hampir 100 telah menggunakan geothermal,” tegasnya.

 

Tantangan pengembangan energi panas bumi. (sumber: Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono)

Menarik Investor

Upaya pemerintah untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengaturan tarif dengan skema insentif, program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, sinergi BUMN (PLN, Pertamina dan Geodipa) hingga pemanfaatan Geothermal Fund.

 

Selain itu, pengembangan panas bumi di Indonesia bagian timur serta optimalisasi pada wilayah eksisting melalui pengembangan pembangkit skala kecil terus dilakukan.

 

Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono menjelaskan, pengaturan tarif dasar listrik dari panas bumi masih terus dikaji sehingga lebih kompetitif dan menarik bagi pengembang. Disisi lain, hal itu diharapkan mampu mengurangi pengeluaran pemerintah dalam hal subsidi listrik.

 

“Ini merupakan peran dari Direktorat Panas Bumi, Direktorat Jenderal EBTKE untuk menghasilkan kebijakan dan aturan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” terangnya.

 

Khusus terkait skema insentif untuk bea masuk, saat ini sedang diusahakan. Ini penting agar komponen dan instrumen kebutuhan pembangkit dan barang/ material yang berasal dari luar negeri (impor) mendapatkan potongan pajak masuk.

 

Pemerintah juga berupaya penyederhanakan perizinan dan deregulasi dalam rangka mempermudah investasi dan meningkatkan ease in doing business di Indonesia.

 

“Untuk menarik investasi, pemerintah telah menerbitkan tax allowance dan pengurangan pajak PBB,” ungkapnya

 

Sementara itu, program Geothermal Fund merupakan fasiltas pembiayaan untuk penyediaan data dan informasi panas bumi melalui kegiatan eksplorasi panas bumi. Pembiayaan itu untuk memitigasi risiko hulu melalui Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) dan Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM). 

 

“GEUDP dilakukan oleh pemerintah melalui penugasan kepada PT. Sarana Multi Infrastructure (SMI) dengan sumber dana APBN dan hibah World Bank,” kata Eko

 

Sedangkan GREM ditawarkan kepada BUMN dan swasta dengan sumber dana terdaftar dalam bluebook. “Mekanisme GREM khusus bagi BUMN dan swasta,” jelasnya.

 

Tak hanya itu, Kementerian ESDM tengah mengusulkan Perpres sebagai kebijakan untuk pembelian harga beli listrik yang berasal dari energi terbarukan yang diharapkan dapat menjadi stimulus dalam pengembangan energi terbarukan kedepan.

 

Dari sisi pembiayaan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan eksplorasi panas bumi atau goverment drilling dengan mekanisme pinjaman yang dilakukan Kemenkeu dan mekanisme eksplorasi panas bumi oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM.

 

“Langkah ini diperlukan untuk mengurangi biaya di saat eksplorasi awal,” tegasnya.

 

Insentif fiskal pada bidang panas bumi. (sumber: Kepala Badan Geologi Kemen ESDM Eko Budi Lelono)

Harga Keekonomian

Di tengah menipisnya produksi dan ketersediaan bahan bakar fosil, perkembangan teknologi di bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mengakibatkan biaya pengembangan Pembangkit EBT terus menurun.

 

“Dengan begitu dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil,” ujar Eko.

 

Upaya menurunkan harga listrik dari PLTP antara lain dengan cara pengeboran eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah pada wilayah terbuka. “Ini dilakukan untuk mempercepat pengembangan terutama di sisi hulu, karena risiko di dalam eksplorasi masih tinggi, berkisar 90%,” katanya.

 

Prof. Subroto tidak menampik jika pemerintah harus menyediakan energi terbarukan yang bersih dan harganya terjangkau bagi masyarakat.

 

“Apa yang dilakukan merupakan tindakan penting terkait penyediaan energi murah,” ujarnya.

 

Upaya lainnya, melalui penerapan Reimbursement Biaya Eksplorasi untuk 12 Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi/ PSPE (sebesar 831,5 MW) dan 19 Pemegang Izin Panas Bumi/ IPB yang belum PPA (sebesar 1.250 MW). Namun, untuk tahapan ini perlu diatur terlebih dahulu melalui regulasi.

 

“Kendati demikian, inisiatif eksplorasi dalam bentuk pengeboran telah dilaksanakan di wilayah panas bumi Cisolok, Cisukarame di Jawa Barat dan di Nage, NTT,” jelas Eko Budi Lelono.

 

Sesuai tugas pokok dan fungsi, pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh Badan Geologi, melalui Pusat Sumberdaya Mineral Batu bara dan Panas Bumi. Dalam hal sinergi diantara BUMN, telah dilakukan joint development antara PT. PLN Persero dengan PT Geodipa Persero. 

 

“Untuk lapangan candradimuka rencana pengembangan 40MW antara PT. PLN Persero dengan PT. Pertamina Geothermal dengan rencana pengembangan 120 MW,” katanya.

 

Air atau uap dapat keluar dari celah-celah di bumi dalam bentuk geyser (kadang-kadang sebagai magma dari gunung berapi). (sumber: Moch. Abadi)

Bukan Aktivitas Pertambangan

Eko Budi Lelono mengatakan, tidak mudah untuk melakukan percepatan pengembangan energi panas bumi. Pembangunan pembangkit di beberapa lokasi membutuhkan waktu selama 7-10 tahun.

 

“Itu sejak eksplorasi hingga produksi dan tantangannya cukup berat. Salah satunya adalah isu lingkungan dan sosial,” katanya.

 

Berbagai berita yang mendiskreditkan proyek panas bumi juga sempat marak. “Seolah-olah menjadi barrieruntuk masyarakat di pelosok, karena informasi dan pemahaman yang kurang,” papar Eko.

 

Kebanyakan, karena belum memahami perbedaan antara tahapan eksplorasi, eksploitasi dan produksi atau pemanfaatannya. “Termasuk di dalamnya isu AMDAL,” katanya. 

 

Padahal banyak status kegiatan masih di tahap eksplorasi. Namun karena kurangnya pengetahuan, masyarakat kerap mengasumsikan kegiatan panas bumi sebagai aktivitas pertambangan.

 

Eko menjelaskan, usaha panas bumi sangat berbeda dengan aktivitas pertambangan. Bahkan usaha kegiatan panas bumi bisa dilakukan di kawasan konservasi. Tentu saja, karena kegiatan ini membutuhkan kawasan yang terjaga alamnya.

 

“Selama tidak berada di zona inti. Tentunya dengan rambu-rambu yang disesuaikan dengan aturan yang ada di KLHK,” katanya.

 

Selama ini, mekanisme izin pemanfaatan jasa lingkungan masih diperbolehkan di area konservasi atau pinjam pakai lahan di kawasan lindung. “Jadi masih diperbolehkan di kawasan konservasi,” ujar Eko.



 

Berkaitan dengan bisnis panas bumi yang padat modal dan memiliki risiko besar dalam pembiayaan, mengakibatkan pengembagan energi panas bumi menjadi tantangan tersendiri untuk investor.

 

“Dibutuhkan sedikitnya 4 juta USD per gigawattnya. Ini harga yang mahal,” katanya.

 

Ketua Umum  National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Divisi Energy Sugeng Riyono. (sumber: Jekson Simanjuntak)

Menanggapi mahalnya biaya pembangkit energi panas bumi, Ketua Umum  National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Divisi Energy Sugeng Riyono menegaskan, hal itu ada kaitannya dengan komitmen bisnis berkelanjutan.

 

Perusahaan perlu memikirkan terciptanya sinergi harmonis antara aspek ekonomi (profit), lingkungan (planet), dan sosial (people). Perusahaan juga harus melanjutkan beragam upaya untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). 

 

“Perusahaan perlu berkontribusi dalam mewujudkan masa depan yang lebih cerah dan nilai berkelanjutan yang tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga kepentingan bangsa dan dunia,” paparnya.

 

Secara keseluruhan, menurut Sugeng, tahun 2020 merupakan tonggak penting sektor energi, karena banyak negara menetapkan target baru NDC terkait emisi gas rumah kaca dan komitmen terhadap netral karbon.

 

“Kebijakan perubahan iklim membuat target emisi gas rumah kaca harus diperbaharui,” kata Sugeng.

 

Di sisi lain, yurisdiksi baru mensyaratkan kebijakan perubahan iklim yang secara tegas merangsang hadirnya energi baru terbarukan. Akibatnya, banyak negara mengadopsi kebijakan komprehensif yang menghubungkan dekarbonisasi dengan peningkatan penyebaran energi terbarukan. 

 

“Mekanisme itu mencakup; pelarangan dan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, target penurunan emisi gas rumah kaca, penetapan harga karbon serta sistem perdagangan karbon,” terangya.

 

Khusus terkait energi panas bumi, Sugeng mengingatkan tentang evaluasi terhadap jejak yang telah dibuat. “Seperti mengevaluasi reservoar geothermal, harus terus diolah di subsurfacenya. Termasuk log panasnya tetap diperhatikan,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *