JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Sejumlah lembaga masyarakat sipil dalam Gerakan #BersihkanIndonesia menyambut baik komitmen Presiden Xi Jinping yang berjanji tidak akan membangun proyek pembangkit listrik batubara di luar negeri.
Namun, komitmen itu perlu diamati secara kritis untuk memastikan bagaimana janji tersebut efektif dilakukan terhadap proyek yang sedang dijalankan di luar negaranya, seperti Indonesia.
Perwakilan Indonesia Team Leader 350.org Sisilia Nurmala Dewi menilai, komitmen Xi Jinping merupakan langkah besar perubahan kebijakan Cina yang terkenal sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
“Investasi Cina di Indonesia dalam industri batubara telah berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia, polusi udara, dan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat setempat. Kami berharap pemerintah Indonesia melalui bank sentral dan bank-bank milik negara segera mengikuti dan membuat pengumuman serupa,” ujar Sisilia.
Senada dengan itu, Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan, komitmen iklim terbaru dari Cina adalah lonceng kematian bagi industri energi kotor batu bara. “Cina adalah pihak yang paling berpengaruh terhadap pembangunan PLTU batubara di Indonesia,” tegasnya.
Andri menambahkan, “Jika Cina betul-betul serius atas komitmen penghentian pembangunan PLTU untuk mencegah laju krisis iklim, mereka harus segera memulai langkah nyata dengan menarik keterlibatannya di proyek-proyek pembangunan PLTU di Indonesia secara menyeluruh.”
Ketua Kanopi Hijau Indonesia dan Konsolidator Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih Ali Akbar mengamini bahwa kepastian janji tersebut perlu direalisasikan. “Dengan adanya komitmen ini, tentu akan berimplikasi baik terhadap keselamatan sumber penghidupan rakyat. Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih berharap ini akan menjadi kenyataan bukan hanya jargon global,” ujar Ali.
Setuju dengan Ali, Direktur Eksekutif Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, juga mengapresiasi komitmen baru Pemerintah Cina.
“Pemerintah Indonesia perlu merespon dengan mengubah rencana pembangkit di Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL),” katanya.
Membangun PLTU, menurut Pius, menjadi tidak realistis karena tidak ada lagi negara yang mendanai. Pemerintah perlu mengumumkan PLTU mana saja yang akan batal dengan kebijakan Cina ini, agar ruang yang kosong diisi oleh energi terbarukan
Sementara itu, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI Dwi Sawung menuntut komitmen Cina dengan cara tidak ada lagi pembiayaan untuk pembangunan pembangkit batubara di Indonesia baik secara langsung atau lewat lembaga pembiayaan Cina lainnya yang beroperasi di negara lain.
“Penarikan Cina dari pendanaan PLTU batubara menunjukkan industri ini sudah mengalami senjakala. Karena itu, pembiayaan lokal dan keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap industri PLTU batubara harus segera diakhiri,” terangnya.
Keterlibatan Cina di Indonesia
Saat ini, Cina terlibat dalam banyak proyek pembangunan PLTU di Indonesia. Sekitar 71% dari daftar pembangkit listrik energi kotor batubara saat ini didukung oleh Cina. Setidaknya ada lebih dari 30 PLTU dengan total kapasitas lebih dari 10 GW, baik dalam fase pendanaan, prakonstruksi atau baru saja masuk dalam tahapan awal pembangunan.
Di sektor energi Indonesia, dalam kurun waktu 2000-2019, Cina telah menggelontorkan dana investasi sebesar 9,6 miliar USD. Sebanyak 9,3 miliar USD hanya untuk pembangkit listrik energi batubara.
Di tingkat lokal, khususnya wilayah Sumatera, Cina juga menjadi negara penyokong utama industri energi kotor baik di sektor tambang maupun pembangkit listrik di Sumatera.
Secara mengejutkan saat berpidato di Majelis Umum PBB pada Selasa (21/9/), Presiden Cina Xi Jinping membuat komitmen iklim baru dengan berjanji tidak akan membangun proyek pembangkit listrik batubara di luar negeri. Ia juga menyebut bahwa Cina akan meningkatkan dukungan keuangan untuk proyek energi hijau dan rendah karbon di negara-negara berkembang. (Jekson Simanjuntak)