JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Sembilan dari 10 masyarakat Indonesia khawatir akan dampak perubahan iklim dan merasa harus berbuat sesuatu. Hal itu terungkap dari hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Purpose, sebuah lembaga yang mengadvokasi perubahan sosial, pada awal 2021 di belasan kota di Indonesia.
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengaku kaget dengan hasil survei tersebut. Ia sempat berpikir pemahaman publik tentang perubahan iklim belum sebesar itu.
“Saya kaget, karena yang sangat paham dan cukup paham ternyata hampir mencapai 40%. Itu angka yang cukup besar,” ujar Medrilzam di acara bincang virtual bertajuk “Krisis Iklim di Mata Publik” pada Jumat (10/9).
Medrilzam menambahkan, “Saya senang sekali jika angka ini benar-benar valid. Artinya pergerakan pemahaman masyarakat tentang bahaya perubahan iklim sudah mulai naik.”
Ketika isu perubahan iklim selalu dikaitkan dengan bencana alam, ini menandakan bahwa masyarakat sudah mampu membaca tanda-tanda alam dengan baik. Termasuk memaknai bahwa alam sudah berubah.
“Alam yang disekitarnya sudah berubah, termasuk petani dan nelayan sudah bisa melihat bahwa kondisi yang mereka alami setiap hari, di tempat tinggal maupun tempat mereka bekerja, sebenarnya sudah terjadi perubahan,” terangnya.
Karena itu, Medrilzam menekankan tentang pentingnya kampanye soal prakiraan di masa depan, agar masyarakat lebih waspada.
“Kami di Bappenas telah menyiapkan prakiraan-prakiraan akan seperti apa. Jika bisa terus dikampanyekan, karena kecenderungannya isu perubahan iklim akan mengakibatkan lebih seringnya extreem event terjadi,” ujar Medrilzam.
Ketika frekuensi cuaca ekstrem semakin sering, maka masyarakat harus mampu mengantisipasi dan melindungi dirinya dengan baik. “Jika boleh resiliansinya ditingkatkan lagi,” katanya.
Medrilzam menjelaskan bahwa lembaganya yang mewakili pemerintah terus bekerjasama dengan semua pihak untuk menyampaikan telaahan, terutama dari sisi sciencetific.
“Bahkan sampai lokasinya pun sudah kami identifikasi tentang tindakan nyata yang harus diambil. Tidak hanya dari sisi pemerintah, tetapi juga masyarakatnya,” ujarnya.
Medrilzam mengutip laporan IPCC terakhir yang mengatakan, isu perubahan iklim sudah masuk kategori ‘Red’ atau bahaya. Indonesia harus siap-siap. “Namun saya senang ketika masyarakatnya sudah aware,” ucapnya.
Ketika pemerintah berhasil menyampaikan isu perubahan iklim termasuk proyeksinya hingga di level tapak secara luas, masyarakat diharapkan bisa memberi respons.
Termasuk juga, bagaimana masyarakat mampu memahami early warning system secara baik, utamanya bencana hidrometeorologis. Saat ini, menurut Medrilzam, pemerintah terus membangun sistem peringatan dini di seluruh wilayah, tidak hanya terkait gempa dan tsunami, namun juga bencana-bencana lain (hidrometeorologis).
“Pemerintah juga melakukan terobosan dengan menghadirkan sekolah lapang nelayan, sekolah lapang petani. Ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pemerintah setempat,” terangnya.
Sejak tahun 2010, ketika Perpres no.61 tahun 2011 tentang penurunan emisi gas rumah kaca diberlakukan, pemerintah pusat telah bekerjasama dengan 34 provinsi. Menurut Medrilzam, di level provinsi kedekatan itu sangat kuat, terbukti dengan hadirnya pergub dan peraturan lainnya.
“Kedepannya yang harus diperkuat adalah di level kab/ kota. Ini sangat beragam kondisinya. Ada yang kab/kota yang sudah sangat advance, ada yang masih membaca-baca, karena banyak penelitian menunjukkan levelnya masih makro, sehingga sampai turun di level provinsi saja,” ungkap Medrilzam.
Selain itu, pemerintah pusat terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya ketahanan iklim dan langkah mitigasi. Saat ini, sosialisasinya telah sampai di level kab/kota.
“Coba saja diakses pembangunan berketahanan iklim yang sudah kami publikasi pada bulan Juni lalu, levelnya sudah sampai kab/ kota dan sudah disosialisasikan ke seluruh Indonesia,” katanya.
Selanjutnya, tinggal menunggu respons pemerintah setempat, karena persoalan implementasi sangat terkait dengan kapasitas dan kemampuan Pemda untuk melaksanakannya.
“Knowledge sharing sudah mulai digerakkan sampai ke level kab/kota. Kami juga sudah kerjasama dengan BNPB untuk menyiapkan early warning sistem terutama di daerah-daaerah yang sudah diidentifikasi yang akan menerima dampak terbesar,” papar Medrilzam.
Saat ini, pembangunan sistem peringatan dini sudah dikerjasamakan dengan BMKG setempat, BNPB dan sejumlah instansi lainnya. “Sehingga tune in, masyarakat bisa jalan bersama,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)