Oleh Jekson Simanjuntak
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Sejak Maret 2020 ada yang berbeda di Danau Mahoni UI. Di danau yang identik dengan Jembatan Teksas (singkatan dari Teknik-Sastra) itu, kini berdiri PLTS terapung yang menerapkan teknologi bifacial (dua sisi) dan diklaim sebagai yang pertama di Indonesia.
PLTS terapung bifacial berkapasitas 10.000 Wp (Watt peak) diharapkan sebagai proyek percontohan sekaligus sarana belajar bagi para mahasiswa tentang energi baru terbarukan.
Direktur TREC (Tropical Renewable Energy Center) FTUI, Eko Adhi Setiawan mengatakan teknologi bifacial membuat kedua sisi panel surya mampu menyerap energi matahari. Sisi pertama menyerap sinar matahari secara langsung. Sedangkan sisi lainnya menyerap sinar yang dipantulkan dari air.
“Dengan sistem itu, solar panel-nya tembus sinar matahari. Sinar yang tembus itu dipantulkan air danau dan diserap kembali oleh solar panel,”katanya.
PLTS terapung bifacial berkapasitas 10.000 Wp di Danau Mahoni UI. (sumber: http://eng.ui.ac.id/) |
PLTS terapung memiliki luas 12 x 18 meter dengan 36 unit panel surya yang dibawahnya ada rangkaian tabung plastik yang membuatnya bisa mengapung. Agar tidak terbawa arus, di ujung-ujungnya dilekatkan jangkar yang berfungsi sebagai pemberat.
PLTS terapung juga dicek secara berkala agar berfungsi optimal. Dibersihkan dari partikel, sampah, dedaunan dan sejenisnya. “Supaya tidak mengganggu pantulan sinar matahari,” terang Eko.
PhD Candidate Research dari Australian National University David F. Silalahi sangat setuju jika Indonesia melirik energi baru terbarukan, khususnya sinar matahari. Alasannya, telah terjadi tren penurunan harga PLTS, dari yang tadinya 25 sen USD/kWh di tahun 2015 menjadi 5.8 sen USD/kWh di tahun 2019.
“Ini harga PLTS terapung 145 MW di waduk Cirata, Jawa Barat. Ini sudah jauh lebih murah dari biaya pembangkitan rata-rata PLN tahun 2018, yang besarnya 7.9 sen USD/kWh. Harga PLTS cuma 5.8 sen, jadi sudah sangat bersaing sebetulnya,” terangnya.
Menurut David, secara global harga pembangkit lebih terjangkau, utamanya solar PV (PLTS) yang mengalami penurunan lebih dari 82%. “Jadi trennya mirip seperti di Indonesia. Jika di global 37,8 USD turun menjadi 6,8 sen USD, sehingga dia menjadi masa depan kita nanti,” katanya.
Selama kita memiliki sumberdaya yang baik, khususnya sinar matahari yang merata, maka harus dimanfaatkan. Itu sebabnya, David sangat setuju ketika pemerintah melalui PLN membangun PLTS Terapung alias floating PV power plant di Waduk Cirata, Jawa Barat. Proyek tersebut dimulai tahun ini untuk memenuhi kebutuhan listrik PLN yang terus meningkat.
FTUI Pasang PLTS Wujudkan Gedung Laboratorium Hijau (sumber: http://eng.ui.ac.id/) |
PLTS Gedung I-CEL
Selain PLTS terapung, FTUI juga memasang panel surya di Gedung Integrated Creative Engineering Learning Lab (I-Cell) yang terdiri dari 8 lantai dan 1 rooftop dengan total luas bangunan 8.410 meter persegi. Pemasangan PLTS sebagai bentuk implementasi dari gedung laboratorium hijau yang bebas emisi karbon.
Instalasi tersebut merupakan pembangkit energi berbasis surya ketiga yang dimiliki FTUI. Sebelumnya telah terpasang di Gedung Engineering Centre dan PLTS terapung bifacial yang terletak di Danau Mahoni UI.
Saat meresmikan PLTS gedung I-Cell, Dekan Fakultas Teknik UI Hendri D.S Budiono mengatakan, PLTS digunakan untuk mengurangi penggunaan listrik dari PLN sekaligus sebagai gedung laboratorium energi untuk penelitian bagi mahasiswa dan dosen.
Panel surya 101 kWp pada gedung I-Cell secara khusus menjadi kontribusi FTUI dalam memenuhi kriteria Energy and Climate Change pada UI GreenMetric.
Pada saat peresmian, Kepala Proyek I-Cell FTUI, Prof. Nandy Putra mengatakan, “Gedung I-Cell merupakan gedung laboratorium terintegrasi yang dirancang dengan teknologi smart and green buildingyang ramah lingkungan dan efisien di dalam pengelolaan energi pencahayaan, sirkulasi udara, serta menerapkan teknologi water harvesting.”
PLTS di Desa Kulati, Wakatobi, Prov. Sulawesi Tenggara. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Mengukur Panel Surya
MPhil Research Student Department of Materials Science and Metallurgy University of Cambridge Sarah A Firnadya menjelaskan bahwa PV application yang ada di rooftop Engineering Center FT UI memiliki kapasitas 50.56 kWp. Sementara panel surya dengan sistem floating di Danau Mahoni UI berkapasitas 10 kWp.
Data inverter pada 2 Juni 2020, menurut Sarah, memperlihatkan jika panel surya mampu menghindari dan mengurangi volume C02 sebanyak 119 Kg untuk sistem rooftop dan 26 Kg untuk sistem floating.
“Solar panel di rooftop telah beroperasi selama 1.5 tahun mampu mengurangi CO2 sebanyak 83.1 ton. Sementara yang di danau, baru tahun 2020 mampu mengurangi 2.5 ton CO2,” ujar Sarah dalam sesi webinar bertajuk “Masa Depan Energi Indonesia”, beberapa waktu lalu.
Karena itu, Sarah mengatakan, dampak pemasangan panel surya untuk pengurangan emisi karbon sangat tinggi. Hanya saja, ada sedikit kendala mengingat energi surya sangat tergantung pada cuaca.
Ketika matahari terbit pada pukul 6 pagi dan terbenam pukul 6 sore, itu merupakan waktu dimana listrik bisa dihasilkan oleh panel surya. Namun sering tidak berjalan optimal ketika ada awan yang menutupinya.
“Hal itu bisa menurunkan produksi listrik dari PV kita. Dan ketika clear sky, kita dapat produksi maksimum. Sedangkan jika hujan, kita tidak menghasilkan listrik sama sekali,” ungkap Sarah, peneliti khusus baterai.
Merujuk data FTUI pada 10 Mei 2020, Sarah menjelaskan bahwa produksi listrik sangat ideal, karena pada saat itu matahari terus bersinar dan tidak awan sama sekali.
“Hanya saja di tanggal lain sangat fluktuatif. Misalnya 24 Mei 2020, mungkin ada awan atau mendung. Namun pada 26 Mei 2020, pukul 3 sore, tidak terjadi produksi sama sekali,” katanya.
Jika tidak ada produksi listrik, berarti tidak ada sinar matahari. Fluktuasi itu dikenal sebagai Intermittency.
Grafik menunjukkan manfaat penyimpanan energi dari penghematan energi berlebih untuk digunakan nanti. (sumber: www.renewableenergyworld.com) |
Mengatasi Intermittency
Untuk mengatasi intermittency, dibutuhkan baterai yang sifatnya rechargeable dan terdiri dari beberapa sel. Prinsipnya, mengubah energi kimia menjadi listrik dan atau sebaliknya.
“Baterai sudah kita gunakan setiap hari, karena ada di hp, kamera, dan kemana-mana kita membawa powerbank dan sekarang juga sudah kenal mobil listrik, dimana tanki bensin sudah tidak ada, dan tinggal pake baterai saja,” kata Sarah.
Untuk sistem household scale, Sarah mengatakan pemakaian listrik akan tinggi pada pagi hari, ketika bersiap berangkat kerja/ sekolah dan turun pada siang hari. Pada malam hari konsumsi energi akan naik, karena sudah kembali ke rumah dan harus menghidupkan lampu, AC, televisi atau peralatan lainnya.
“Jika dibandingkan dengan produksi energi di PV, itu berbanding terbalik, karena tingginya saat siang saja,” katanya.
Akibatnya, jika panel surya tidak terhubung dengan jaringan, maka energi yang berlebih akan terbuang percuma, atau disebut energy curtailed.
Namun jika menggunakan baterai, kelebihan energi akan disimpan, dan dapat digunakan pada saat malam hari. “Sehingga dengan baterai, kita bisa meningkatkan persentase penggunaan energi yang kita hasilkan sendiri,” ujarnya.
Energi yang dihasilkan bisa digunakan untuk mengurangi tagihan listrik, karena tagihan pada malam hari acapkali lebih mahal. Kemudian terkait aplikasi baterai untuk on-grid PV, maka baterai di dalam jaringan sangat berguna untuk membantu pembangkit yang mengalami intermitten (energi fluktuatif).
Grafik pemasukan PV terhadap grid akan mempengaruhi dan membuatnya tidak stabil. Namun jika menggunakan baterai, maka dampaknya sangat berbeda. “Lebih kecil dan lebih halus dari output PVnya,” katanya.
Dengan demikian baterai berfungsi sebagai smoothening untuk mengurangi intermittency atau ketidak stablian produksi dari solar PV, khususnya yang terhubung dengan pembangkit besar milik PLN.
Sementara untuk panel surya rumahan, baterai hanya digunakan untuk menyimpan energi berlebih dari PV pada siang hari. Fungsinya untuk mengurangi energi terbuang (curtailment) bila PV tidak tersambung dengan jaringan PLN.
Sarah A Firnadya, peneliti tentang Baterai Zinc-Ion dari Universitas Cambridge. (sumber: https://www.globalwomennet.org/) |
Keuntungan Baterai
Sarah A Firnadya menjelaskan, ada banyak keuntungan dari penggunaan baterai pada panel surya. Pertama, sebagai energy arbitrage atau menyimpan energi saat sedang murah.
“Di dalam baterai, kita bisa dijual pada saat energi sedang mahal. Ini pake kaca mata utilitas dari sisi PLN bahasanya,” terang Sarah.
Kemudian ada load & frequency regulation, dimana hal itu baik untuk merespons terhadap perubahan demand (permintaan) akan kebutuhan listrik, yang sering berubah-ubah seiring waktu.
Lalu ada contingency reserve atau dikenal sebagai back up. “Jika misalnya ada pembangkit lain yang bermasalah, kita masih punya cadangan energi di baterai untuk digunakan,” katanya.
Sementara khusus terkait baterai untuk kebutuhan Off-grid (tidak terhubung listrik PLN), Sarah menilai hal itu sebagai jawaban untuk mengelektrifikasi daerah yang terpencil dan susah diakses.
“Sehingga jika ingin mengelektrifikasi tempat-tempat itu, kita pakai PV, baterai dan genset. Genset disini gunanya sebagai base low ataupun back up,” katanya.
Panel surya membutuhkan lahan yang luas. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Butuh Lahan Luas
David F. Silalahi menjelaskan bahwa Indonesia membutuhkan energi listrik sedikitnya 3000 TWh atau sekitar 9000kWh per kapita. Untuk itu dibutuhkan PLTS berkapasitas 1800 GWp untuk bisa memenuhi kebutuhan listriknya. “Ini 100% bisa dari sinar matahari,” katanya.
Namun pertanyaannya, dimana panel-panel surya itu diletakkan? Apa ada tempatnya? “Tentunya banyak orang menanyakan hal itu,” ujar David.
Ia kemudian berkata, “Tak perlu khawatir”, karena potensi pancaran matahari ada di seluruh Indonesia, sesuai data Badan Informasi Geospasial, dimana wilayah NKRI sangat luas yakni 8.3 juta Km2.
“Daratan saja seluas 1.92 juta Km2 dan perairan kita yang paling luas, 6.4 juta km2,” terangnya.
Solusinya, PLTS bisa diletakkan di atap bangunan (seperti gedung FT UI) atau di daratan terhampar di tanah, di lahan bekas tambang atau di permukaan air (danau, waduk atau laut tenang).
“Maka akan dibutuhkan baterai. Berapa baterai yang kita butuhkan? Kita butuh baterai 8200 DWh untuk mendukung sistem 100% energi surya,” kata David.
Namun, apakah cukup dengan menggunakan baterai fisik? “Tentunya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sebesar itu,” Katanya. Karena itu Indonesia butuh model Pumped Hydro Storage.
Lalu, jika harus dihamparkan di lahan, apakah kita punya lahan? Ternyata hal ini tidak mudah. Menurut David, setidaknya dibutuhkan 1800 GWp peak PLTS, setara dengan 12.00 Km2 lahan yang dibutuhkan.
“Solar PV 5B Maverick menghitung, tiap hektare bisa dipasang 1.5 MWp. Itulah mengapa muncul angkan 12.000 Km2,” terangnya.
Dari kebutuhan lahan tersebut, jika dibandingkan dengan jumlah total daratan yang luasnya 1.92 juta Km2, ternyata hanya 0.6% yang diperlukan untuk membangun solar PV.
“Kecil sekali itu jika semuanya diletakkan di tanah. Misalkan kita punya lahan kosong, dan sebetulnya banyak lahan yang belum digunakan,” ujarnya.
Namun faktanya, tidak semua solar PV diletakkan di tanah. Pasalnya, banyak yang terintegrasi dengan bangunan. “Saya mengambil contoh untuk gedung-gedung di Singapura. Tiap atapnya sudah dipasangi panel surya. Jadi ini cara Singapura untuk mendapatkan energi bersih dengan lahan yang terbatas,” ucapnya.
Karena itu, David menilai, potensi Indonesia cukup besar. Angkanya antara 34 – 116 GWp di seluruh Indonesia, jika merujuk data IESR, Indonesia Clean Energy Outlook 2020.
“Ini tentunya angka yang besar. Kira-kira 1.5 kali total pembangkit yang terpasang saat ini, dimana angkanya 70 GWp, sementara potensi ada 116 GWp. Ini lebih besar ternyata,” ungkap David.
Perbandingan Pumped Hydro Storage metode off river dan on river. (sumber: https://www.energy.gov/) |
Pumped Hydro Storage
Jika Indonesia mampu membangun PLTS berkapasitas 1800 GWp, maka baterai menjadi kebutuhan utama. Menurut David, baterai diperlukan karena faktanya matahari tidak bersinar selama 24 jam.
“Matahari bersinar antara jam-jam puncaknya, antara jam 9.00 pagi hingga jam 14.00 WIB. Selain jam itu, potensinya lebih kecil atau bahkan tidak bersinar, ketika awan lewat, atau musim penghujan,” terang David.
Untuk itu, diperlukan back up system, melalui baterai. Jika baterainya fisik, tentu tidak akan mampu, karena tidak ada baterai skala besar untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
“Sementara baterai yang dikenal sekarang ini, lebih cocok skala off-grid atau skala pulau-pulau kecil. Lalu bagaimana untuk pulau-pulai besar, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua?” tanya David.
Solusinya menurut David adalah menggunakan Pumped Hydro Storage yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan baterai fisik. “Karena dia punya inersia yang berguna untuk menjaga kestabilan. Juga responsnya yang cepat, sebesar 20-200 detik, sehingga bisa cepat menyuplai beban,” katanya.
Bahkan, Pumped Hydro Storage juga dapat difungsikan sebagai black start (mengembalikan sebuah pembangkit listrik agar dapat beroperasi kembali, tanpa memerlukan jaringan transmisi listrik eksternal), dan teknologinya dianggap mapan.
Jika merujuk pada data studi yang dilakukan Australian National University, Indonesia memiliki sedikitnya 26 ribu lokasi potensial, setara dengan 820 GWh kapasitas baterai. “Jadi kita hanya butuh 1% dari seluruh potensi yang kita punya ini dan kita bisa pilih potensi-potensi terbaik,” jelas David.
Contoh paling sederhana, menggunakan metode off river, dimana aliran sungai dibendung, sehingga bagian atas menjadi waduk demikian juga sisi bawahnya menjadi waduk.
Pada siang hari, alirannya dipompa dari bawah ke atas. Energinya disimpan dalam bentuk potensi air. Lalu pada malam hari saat tidak ada matahari, energinya dialirkan ke bawah.
“Sehingga air yang mengalir dari atas ke bawah akan memutar turbin dan menghasilkan listrik. Kira-kira begitu cara kerjanya,” paparnya.
Dan khusus untuk Indonesia, David menilai, ada banyak potensi off-river yang bisa dimanfaatkan. Sementara untuk metode on-river, contohnya bisa disaksikan di PLTA uper Cisokan, Jawa Barat yang sedang dalam tahap konstruksi.
Jika memiliki 2 cekungan, misalnya ada di daerah yang berbukit, maka cekungan di sisi bawah, ada di sisi atas dibendung sedemikian rupa, lalu disambungkan dengan pipa besar untuk mengalirkan airnya.
Jika dibandingkan, jumlah energi yang dihasilkan dari metode off river on hydro energy storage, ternyata 100 kali lebih besar dari metode on-river, karena tidak bergantung pada aliran sungai.
“Dimana pun kita bisa bangun asalkan beda elevasi. Biaya juga lebih murah, USD500/kilowatt atau setara USD50 perkilowatt hour kapasitas baterai. Dan tingginya head itu lebih maksimal,” kata David.
Selain itu, Ia juga menjelaskan bahwa dampak sosial dan dampak lingkungan dari metode off river sangat kecil. Alasannya, tidak perlu ada kegiatan menenggelamkan waduk seperti lokasi di on-river. Ini tentu menjadi keunggulannya.
Proyek Kemen ESDM di Desa Tamakh dan Desa Air Panas di Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur. (sumber: Sarah A Firnadya) |
Di Tempat Lain
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 2200 pulau berpenghuni. Hal itu merupakan off-grid market yang sangat besar. Contohnya, di Berau, Kalimantan Timur terdapat tiga desa yang digabungkan PV-nya dan mampu menghasilkan 1.2 MWp. Energi baterai yang dihasilkan dari Desa merabu, Desa Teluk Sumbang dan Desa Long Beliu mampu menampung 2.1 MWh, termasuk jika digabungkan dengan genset.
“Ini adalah pembangkit yang dioperasikan masyarakat desa setempat, dan listriknya tetap bayar. Namun bayaran listriknya untuk menggaji masyarakat yang bekerja di PLTS tersebut biar lebih sustainable,” ungkap Sarah.
PLTS di Berau menjadi pilot project yang bisa diaplikasikan pada proyek off-grid di daerah-daerah lain. “Biar lebih komersil, dan tidak perlu menunggu datangnya dana hibah yang lain,” katanya.
Selain itu, contoh lainnya ada di empat lokasi di Pulau Karampuang, Sulawesi Barat. Proyek yang berasal dari dana hibah di pulau kecil dekat Mamuju itu didirikan empat PLTS yang lokasinya mengelilingi pulau.
“Di lokasi tersebut dihasilkan 598 kWp. PV plus baterai dan genset,” ujar Sarah.
Contoh lain yang menjadi proyek ESDM terdapat di Desa Tamakh dan Desa Air Panas di Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur. “Ini saya ambil, karena saya pernah ke kedua tempat ini. Namun ESDM sebenarnya sudah menaruh beberapa PLTS di banyak tempat di Indonesia,” katanya.
Karena itu, Sarah mengatakan bahwa saat ini hanya tersisa dua pilihan, jika ingin mencapai renewable energy 23% pada 2025, atau 31% pada 2050, yakni mengimplementasikan baterai bersama renewable energy project.
“Karena dengan adanya baterai kita bisa meningkatkan penetrasi renewable energy dan tidak menimbulkan instabilitas,” ungkapnya.
Selanjutnya, untuk mengelektrifikasi seluruh desa dan daerah di seluruh Indonesia, implementasi renewable energy off-grid power plant harus segera diwujudkan. “Ini penting, agar seluruh daerah di Indonesia, bisa punya akses listrik selama 24 jam dan bisa menjalankan ekonomi disana,” pungkas Sarah.
Sementara itu, David menyampaikan bahwa energi surya (solar PV) menjadi sangat penting dalam penyediaan pasokan listrik di masa depan. Ketersediaan sinar matahari sepanjang tahun dan tidak adanya winter season seperti di negara-negara 4 musim, menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Kita juga punya lahan yang bisa dimanfaatkan, baik itu daratan, ataupun perairan (danau, laut, waduk).
“Saya yakin kita mampu berpindah dari energi fosil menjadi energi yang ramah lingkungan, ntah itu targetnya 23% di 2025 atau 31 % di 2050, bahkan 100% juga bisa, dengan sejumlah alasan rasional,” terangnya.
Bahkan, Indonesia memiliki potensi baterai yang sifatnya alami (pumped hydro-storages), sehingga tak perlu takut jika matahari tidak bersinar, atau tertutup awan. “Kita tak perlu khawatir,” kata David.
Namun yang tidak kalah penting menurut David, Indonesia perlu menyiapkan sumberdaya manusia yang terampil dan mampu menguasai teknologi terkini. Termasuk teknologi tentang baterai, juga pemeliharaan dan perawatan.
“Ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Tetapi kita harus bisa meyakini bahwa energi surya merupakan energi di masa depan,” tandasnya. (end)