JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Indonesia terus mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, murah, dan handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang masih bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan berjanji akan mencapai netral karbon pada tahun 2060.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, sehingga forum REinvest Indonesia – China muncul sebagai wadah untuk menjembatani kebutuhan tersebut.
Indonesia, menurut Fabby perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Hanya saja, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.
“PLTS harusnya menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh,” kata Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China, Senin (25/5).
Disebutkan oleh The International Energy Agency (IEA) dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030.
Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. “Dari segi strategis, tenaga surya lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini,” terang Febby Tumiwa yang juga Ketua Indonesia Solar Association.
Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan itu bukannya tanpa halangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.
Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN, menurut Febby, merupakan salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.
Senada dengan itu, CEO Medco Power Indonesia Eka Satria, menyoroti beberapa hal, seperti: preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, dan persyaratan BPP vs kandungan lokal.
“Juga terkait masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menjelaskan hal-hal yang perlu disiapkan investor asing (China) sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utama.
“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.
Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik), sehingga investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia.
Ketika PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus memperhitungkan potensi pasar yang ada. “Selain peluang yang terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)