JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Transformasi sistem pangan nasional menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024. Pentingnya pemanfaatan pangan lokal demi menciptakan kedaulatan pangan menjadi fokus dalam diskusi Pemanfaatan Pangan Lokal untuk Sistem Pangan yang Berkelanjutan yang diselenggarakan secara virtual oleh Koalisi Food and Land Use (FOLU) dan Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) pada Selasa, 24 Agustus 2021.
Tenaga ahli dari SEAMEO RECFON Umi Fahmida mengatakan, pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masih menjadi masalah di berbagai daerah. Laporan ePPGBM SIGIZI per tanggal 20 Januari 2021, dari 11.499.041 balita yang diukur status gizinya di 34 provinsi, tercatat sebanyak 1.325.296 balita atau sebesar 11,6% di antaranya menderita stunting.
“Angka itu sudah menunjukkan adanya perbaikan yang pesat dibanding tahun sebelumnya, namun perlu ditingkatkan lagi melalui kerjasama multipihak dalam melakukan berbagai upaya untuk mencegah stunting melalui perbaikan sistem pangan,” papar Umi.
Lemahnya peran rantai pasok yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, geografis, dan potensi pertanian di setiap wilayah masih menjadi kendala dalam sistem pangan Indonesia. Distribusi pangan yang belum merata menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pasokan komoditas pangan untuk beberapa daerah yang berdampak akibat permasalahan logistik maupun perubahan iklim.
Studi Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) di 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia menunjukkan banyak sumber pangan lokal yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Pemanfaatan pangan lokal berpotensi untuk meningkatkan kecukupan gizi dan mengatasi masalah stunting.
“Masalah gizi banyak terjadi di usia balita, terutama bayi di bawah usia 1 tahun, karena kebutuhan gizi yang tinggi. Untuk mengatasinya, diperlukan pedoman asupan yang sesuai dengan konteks lokal,” terang Umi.
Adapun PGS-PL yang disusun dari 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia sangat memperhatikan konteks lokal terkait pola konsumsi, masalah gizi spesifik lokal, utamanya zat besi, kalsium, seng dan folat, akses dan ketersediaan makanan, serta harga makanan.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menilai transformasi sistem pangan berkelanjutan dalam lingkup terkecil, khususnya wilayah pedesaan. Karena itu, peran desa sangat krusial dalam menyelesaikan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat.
“Kedaulatan pangan penting dimulai dari desa, karena di sanalah masalah ketahanan pangan terjadi dan di sanalah terdapat solusi dari sumber keragaman,” tutur Said.
Sistem pangan komunitas desa perlu didukung dengan model pertanian berkelanjutan. Karena itu, Said mengharapkan, “Hadirnya model pemasaran/ distribusi yang berkeadilan, pemenuhan hak atas pangan bagi setiap orang, dan partisipasi pada pengambilan kebijakan”.
Sementara itu, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto menjelaskan, diversifikasi pangan penting untuk memastikan ketersediaan serta pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat.
“Konsumsi beras 2015-2020 telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat peningkatan konsumsi terigu yang luar biasa. Nilai impor gandum-terigu pada tahun 2020 mencapai Rp35,78 triliun,” ujar Andriko.
Andriko menilai, ini sebagai peluang besar untuk mendorong alternatif bahan baku industri pangan lokal untuk substitusi tepung terigu sampai 20%-nya, seperti dari talas, sagu, pisang, kentang, jagung, dan ubi kayu.
“Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar ke-3 di dunia yang menjadi potensi besar untuk pengembangan sumber daya pangan lokal di Indonesia,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)