JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan Trias Fetra mengatakan, perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit sangat penting dilakukan oleh pemerintah.
Langkah itu akan memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan. “Juga berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC),” katanya.
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang.
Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink carbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030.
Menurut Trias, perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit.
“Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan,” ujarnya.
Trias mengingatkan bahwa masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang, laju deforestasi kembali meningkat dan Indonesia terancam gagal mencapai komitmen iklimnya.
“Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare,” ungkap Trias Fetra.
Saat ini, luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer.
Dari jumlah tersebut, menurut Trias, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit.
“Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang ada di dalam izin sawit perlu dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan,” terangnya.
Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut.
Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering.
“Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.
Sementara itu, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL Adrianus Eryan memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. Menurutnya, perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit.
Seharusnya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. “Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi,” kata Adrianus.
Bentuk transparansi seperti itu akan membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil, namun juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres.
“Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang,” tegasnya.
Juru Kampanye FWI Agung Ady mengamini jika persoalan data harus diselaraskan dengan baik. “Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit,” katanya.
Agung mengingatkan agar pemerintah dan para pihak menyadari bahwa indikator keberhasilan bukan hanya terkait tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan.
“Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak Rahmadha mengatakan, terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia, walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan.
Momentum itu harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit. Sehingga perpanjangan dan penguatan moratorium kelapa sawit perlu diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit .
“Sehingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” pungkas Rahmadha. (Jekson Simanjuntak)