ICEL: Hukum Lingkungan di Indonesia Alami Kemunduran

Berita Lingkungan Hukum Lingkungan ICEL Lingkungan Hidup Terkini

JAKARTA, BERItALINGKUNGAN.COM — Menteri Lingkungan Hidup (1978-1993) Prof. Emil Salim yang hadir sebagai pembicara pada webinar bertajuk “Hukum Lingkungan dari Masa ke Masa”, sekaligus peringatan 28 tahun berdirinya Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan gagasan awal gerakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an.

 

Kala itu, Indonesia tidak hanya didera persoalan kemiskinan namun juga mengalami permasalahan lingkungan yang serius. Dari sinilah muncul gagasan bahwa semestinya pembangunan tidak hanya bertumpu pada ekonomi saja, melainkan juga isu sosial dan lingkungan.

 

“Pembangunan tidak hanya ekonomi saja tapi harus memberantas kemiskinan. Percuma jika pendapatan tinggi tapi koefisien gini-nya tinggi, yang berarti masih banyak kesenjangan,” kata Emil Salim.

 

Kemudian Prof. Emil mengusulkan agar pembangunan didasarkan atas gabungan dari ekonomi (meningkatkan kesejahteraan), sosial (memberantas kemiskinan), dan lingkungan (menyelamatkan alam). “Harus berubah dari resource exploitation ke resource enrichment.” ujarnya.

 

Prof. Emil juga menekankan pentingnya upaya penguatan masyarakat sipil untuk menyelamatkan lingkungan dan membangkitkan kembali semangat pembangunan berkelanjutan. “Lingkungan tidak hanya dibicarakan, dipidatokan, tapi dihidupi sebagai bagian dari membangun tanah air yang sejahtera, makmur, dan berkelanjutan”, kata Prof. Emil.

 

Sejak GBHN 1973-1978, gagasan tentang pembangunan berwasasan lingkungan mulai diperkenalkan. Lalu muncul UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang juga mengedepankan pembangunan yang berkeadilan.

 

Kemudian berlanjut pada diskursus global dari Brundtland Commission melalui laporannya, Our Common Future di tahun 1987 yang menelurkan konsep pembangunan berkelanjutan.

 

Pendiri ICEL sekaligus CEO Indonesia Ocean Justice Initiative masa Mas Achmad Santosa melihat perjalanan hukum lingkungan di Indonesia sempat membaik. Bahkan perkembangan di tingkat global juga mempengaruhi pembaruan hukum lingkungan di dalam negeri.

 

Diskursus tersebut, menurut Mas Achmad mendorong Indonesia menerbitkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tren itu dilanjutkan dengan pengakuan hak atas lingkungan hidup dan ecological sustainable development dalam konstitusi melalui amandemen tahun 2002, serta penerbitan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

 

“Namun sayangnya, ketentuan progresif yang telah dibangun saat ini perlahan mengalami regresi, utamanya pasca terbitnya UU Cipta Kerja,” ungkap Mas Achmad Santosa.

 

Memaknai fenomena itu, Mas Achmad Santosa menawarkan tentang pentingnya rethinking dan revisioning hukum lingkungan di Indonesia. Penyebabnya, karena kondisi saat ini justru memasuki era antroposen yang ditunjukkan dengan disrupsi manusia yang merusak sistem alam dalam skala global. 

 

“Kegagalan hukum lingkungan untuk menjaga keberlanjutan diperparah dengan miskonsepsi pemisahannya dengan tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi, supremasi hukum (rule of law), hingga HAM,” ujarnya.

 

Karena itu, Mas Achmad Santosa mengingatkan bahwa hukum lingkungan seharusnya bisa memberdayakan negara, supaya negara juga dapat memberdayakan rakyatnya. 

 

“Indonesia saat ini belum mampu menerjemahkan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturannya. Perlu adanya konsolidasi ide dan pemikiran, rethinking and revisioning hukum lingkungan di Indonesia.” ujar beliau.

 

Senada dengan hal itu, Pendiri ICEL sekaligus Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengamini tentang penting pemberdayaan masyarakat. Perkembangan hukum lingkungan sejak tahun 1980 tidak lepas dari peran organisasi masyarakat sipil yang secara konsisten mengajukan upaya hukum demi mendorong reformasi hukum lingkungan, dan melakukan pemberdayaan masyarakat.

 

“Termasuk mendorong diakuinya hak-hak masyarakat hingga kearifan lokal yang turut menjaga keberlanjutan lingkungan,” katanya.

 

Sandrayati juga menjelaskan perihal konsekuensi diakuinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi. Hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak tersebut untuk seluruh warga negaranya tanpa terkecuali.

 

“Karena itu, gerakan lingkungan hidup dan HAM harus dipahami sebagai suatu kesatuan agar dapat menghasilkan pembaharuan hukum yang adil dan berkelanjutan,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Deputi Direktur Program ICEL, Grita Anindarini tidak menampik terjadinya kemunduran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai sektor. Dimulai dari sektor penataan ruang, sektor kehutanan, hingga sektor tata kelola energi dan pertambangan.

 

Menurut Gita, berbagai relaksasi instrumen perlindungan lingkungan hidup pada kebijakan di tingkat sektoral justru menunjukkan bagaimana penguatan instrumen lingkungan hidup yang sejak lama telah dibangun saat ini mengalami regresi.

 

“Tanpa adanya jaminan terhadap tiga akses, yaitu hak atas informasi, hak atas partisipasi, dan hak atas keadilan, maka pembaruan hukum lingkungan di Indonesia akan semakin sulit,” kata Grita.

 

Meskipun berbagai peraturan perundang-undangan sektoral telah menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dan mendapatkan informasi, namun dalam implementasi, pemenuhan hak masih menemui tantangan. 

 

“Sebagai contoh, semakin sulitnya masyarakat mengakses dokumen lingkungan yang penting dan seharusnya dibuka ke publik seperti Amdal dan HGU, padahal proses hukum hingga berkekuatan hukum tetap telah ditempuh,” tegasnya.

 

Karena itu, Grita mengusulkan perlunya penekanan bahwa hukum lingkungan yang tetap berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan untuk menjamin terlindunginya lingkungan dan hak-hak masyarakat. “Hukum lingkungan dalam teori, praktik maupun regulasi harus terintegrasi dengan pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

 

Pembangunan berkelanjutan juga harus fokus kepada perlindungan lingkungan hidup, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Prinsip pembangunan berkelanjutan harus diterjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang operasional.

 

Selanjutnya, menurut Grita, perlunya keterkaitan erat antara gerakan aktivisme dengan pendidikan akar rumput agar dapat menjangkau dan mendidik masyarakat yang lebih luas. 

 

“Tidak cukup hanya aktivis lingkungan, kolaborasi juga perlu dibuka dengan pegiat sosial lainnya seperti HAM dan antikorupsi, serta dengan ahli maupun akademisi,” katanya.

 

Terakhir, Grita menekankan tentang penguatan kerja sama yang efektif antara institusi negara dan pemerintahan maupun organisasi masyarakat sipil yang satu visi-misi dalam menjaga hukum lingkungan pada poros pembangunan berkelanjutan. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *