TWA Angke Kapuk, Kecil Tapi Penuh Arti

Benteng Terakhir Berita Lingkungan Ekosistem Mangrove Mangrove Teluk Jakarta Terkini TWA Mangrove Angke Kapuk

Oleh Jekson Simanjuntak

 

“Hutan mangrove itu ekosistem yang unik karena ada di zona intertidal (pasang surut) dan dijumpai di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis,” 

–Resijati.

 

Sejak pagi, Resijati telah berkeliling di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Angke Kapuk yang berada di Jalan Garden House RT.8/RW.1, Penjaringan, Jakarta Utara. Sehari-hari ia ditugaskan untuk memeriksa setiap sarana dan prasarana TWA, khususnya jika melihat adanya kerusakan atau hal-hal lain yang diluar kewajaran.

 

“Tugas saya sebenarnya sebagai petugas konservasi dan edukasi, namun pimpinan menyuruh saya untuk kontrol lokasi setiap hari, karena saya paling senior disini” ujarnya.

 

Di masa pandemi seperti sekarang ini, tugas Resijati tidak banyak berubah, meskipun angka kunjungan menurun drastis. Ia juga memastikan, setiap orang yang masuk kawasan harus mematuhi protokol kesehatan.

 

“Ini penting, karena kita tahu penyebaran Covid-19 semakin masif,” katanya.

 

Resijati dengan latar belakang peta TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Menurut Resijati, ia memilih mengabdi di TWA Mangrove Angke Kapuk karena pernah terlibat dalam pembangunannya di tahun 1997. Saat itu, ia masih bertugas sebagai polisi hutan.

 

“Saya dikasih mandat oleh menteri waktu itu, Pak Prakosa, untuk bantu-bantu disini. Waktu itu saya menjabat Kepala Resort Polisi Kehutanan di Jakarta Utara,” ujar Resijati yang akrab disapa “Jati”.

 

Sambil berkeliling, Resjati menjelaskan bahwa tebal dan kokohnya perakaran bakau mampu menahan lumpur, sehingga menjadi tempat terakumulasinya bahan organik.

 

“Hutan mangrove itu ekosistem yang unik karena ada di zona intertidal (pasang surut) dan dijumpai di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis,” terang Resijati.

 

Karena itu, tidak heran jika menjadi habitat beragam satwa, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), berbagai jenis burung, ikan dan reptil seperti; buaya muara (Crocodylus porosus), kura-kura ambon (Cuora aboinensis), biawak (Varanus salvator), ular welang (Bungaru fasciatus), ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan lain-lain.

 

“Khusus ular jangan ditanya, disini tempatnya. Selain itu juga banyak burung laut dan burung migran,” katanya.

 

Ia juga mengungkapkan bahwa mangrove, selain menahan abrasi air laut, juga sebagai penghasil udara bersih.

 

“Dan yang tidak banyak orang tahu, mangrove juga memiliki dampak ekonomis bagi masyarakat setempat, dengan menyediakan berbagai produk kayu maupun non kayu,” ungkap Resjati.

 

Salah satu dampak ekonomis adalah penyelenggaraan wisata konservasi seperti di TWA Mangrove Angke Kapuk seluas 99,82 hektar yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 1 Juni 1939.

 

“Karena itu, TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk,” jelas Resijati.

 

Pada tahun 1997, PT. Murindra Karya Lestari yang pemiliknya Bambang Haryo, seorang pensiunan dari Kementerian Kehutanan, diberikan ijin pengelolaan dengan tujuan mengembangkan kawasan tersebut sebagai sarana pariwisata alam sekaligus mempertahankan kelestarian fungsi mangrove sebagai sistem penyangga kehidupan.

 

“Namun yang lebih berperan adalah istri pak Bambang, bu Murni namanya. Ia yang menginginkan pengelolaan kawasan ditujukan untuk pembelajaran soal mangrove,” kata Resijati.

 

Jalan-jalan setapak di kawasan TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


General Manager TWA Mangrove Angke Kapuk Arief Putra Swasana membenarkan hal itu. Menurutnya, Ibu Murni yang kini telah almarhum, menginginkan kawasan TWA Mangrove Angke Kapuk dijadikan sebagai pusat konservasi, selain untuk kepentingan bisnis.

 

“Dulu almarhumah tidak ada pikiran bisnis. Ini murni untuk konservasi. Tidak melihat untung-ruginya,” ujar Arief. 

 

Meskipun telah tiada, semangat konservasi bu Murni terus dipertahankan. Termasuk ketika menebang sebatang pohon, Arief menyebut hal itu harus melalui persetujuan komisaris.

 

“Setiap pohon harus dipertanggunjawabkan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Daun-daunnya pun dibiarkan membusuk menjadi humus,” katanya.

 

Selain itu, dari areal seluas 99, 82 Ha, ternyata hanya 2 Ha saja yang diperuntukkan sebagai wahana bermain, penginapan dan pembibitan. “Sisa dibiarkan menjadi hutan alam,” terang Arief.

 

Untuk mendukung semangat konservasi, TWA Mangrove Angke Kapuk juga memberlakukan sistem zonasi. Pembagiannya, zona pemanfaatan ada di bagian depan.  “Mulai dari pintu masuk hingga kawasan penginapan,” katanya.

 

Sementara zona inti khusus untuk konservasi, “termasuk daerah penanaman dan pengamatan burung berada di bagian belakang”.

 

Kemudian zona penyangga diperuntukkan untuk kegiatan lain, seperti pembibitan, pembuatan bronjong dan jalur sepeda.

 

Bronjong dipilih sebagai media tanam mangrove di TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Menggunakan Bronjong

Resijati mengatakan pembibitan di TWA Mangrove Angke Kapuk tidak mudah. Pasalnya, lumpur yang dalam menyulitkan bibit mangrove untuk tumbuh. Pun, tidak sedikit yang mati karena digenangi air atau terseret arus pasang/ surut.

 

“Akhirnya kami menggunakan keranjang bekas arang. Keranjang diisi lumpur, baru ditanami mangrove dengan jarak 1 x 1 meter,” papar Resijati. 

 

Menggunakan metode bronjong, pertumbuhan mangrove langsung terlihat. Dalam setahun mampu mencapai satu meter dengan akar yang juga kokoh. “Saat itu kami kaget. Kemudian cara itulah yang kami pilih sampai sekarang,” katanya.

 

Setelah gencar promosi wisata berbasis konservasi di tahun 2009, pengunjung TWA Mangrove Angke mulai ramai. Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan menyempatkan diri menanam mangrove disana.

 

“Di tahun 2010, bulan Januari, SBY kesini menanam mangrove, karena melihat ada foto Kopassus menanam mangrove di kawasan ini,”ujar Resijati.

 

Resijati memeriksa setiap sisi jalan setapak di TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Benteng terakhir

TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan benteng terakhir ibu kota dalam melawan abrasi dan naiknya gelombang pasang. Ekosistem mangrove juga terbukti ampuh untuk menghadang intrusi air laut yang masuk ke Jakarta.

 

“Ini kan, semacam bentengnya kota Jakarta. Meskipun saat ini sarana antisipasi banjir telah dilakukan, kawasan ini tetap diperlukan,” ungkap Arief Putra Swasana.

 

Sebelum TWA beroperasi, banjir besar yang melanda ibu kota menyisakan genangan dalam waktu lama, namun sejak adanya TWA banjir mulai berkurang.

 

“Tahunnya 2000-an, setelah mangrove tumbuh, abrasi tidak terjadi, karena ketahan oleh hutan mangrove,” kata Arief.

 

Ekosistem mangrove yang memenuhi kawasan TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Dari total kawasan TWA Mangrove Angke Kapuk, menurut Arif, baru 30 persen yang berhasil dikembalikan menjadi kawasan mangrove. Karena itu, mereka berharap dukungan semua pihak, baik perorangan, organisasi, termasuk pemerintah untuk ikut berpartisipasi menghijaukan kawasan ini. 

 

“Terus terang, kita perlu lebih banyak lagi hutan mangrove untuk mengurangi polusi, mencegah abrasi, dan menahan gelombang laut (tsunami),” katanya.

 

Selain itu, kawasan TWA Mangrove Angke Kapuk bebas polusi udara, karena mampu menyerap CO2 dengan baik. Kawasan itu kemudian menjadi penghasil udara bersih. “Jadi kalo pagi, polusi disini tidak ada, karena semua diserap mangrove”, terang Arief.

 

TWA Mangrove Angke Kapuk juga memiliki peranan lain, yakni sebagai tempat hidup biota laut, seperti ikan, udang dan kepiting. Ikan biasanya memilih mangrove untuk bertelur. 

 

Tak hanya itu, mangrove juga mampu menahan sampah, atau zat-zat yang berbahaya bagi lingkungan.  “Mangrove bisa menetralisir racun. Karena itulah, saya menyebut mangrove sebagai banteng alami kota Jakarta,” ujar Arief.

 

Sementara itu, Resijati menjelaskan bahwa TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan ekosistem tempat berkembangnya beberapa jenis tanaman yang berfungsi sebagai green belt kota Jakarta. Tanaman itu meliputi: Api-api (Avicennia marina), Bakau (Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa), Bidara (Sonneratia caseolaris), Buta-buta (Exocecaris agallocha), Cantinggi (Ceriops sp.) dan Warakas (Acrosticum areum).

 

Tak hanya itu, TWA Mangrove Angke Kapuk juga menerapkan aturan dilarang memancing dan denda bagi pengunjung yang kedapatan membawa alat pancing. “Ditakutkan jika ikannya habis dipancing, burung-burung pantai akan pergi,” katanya.

 

Penulis bersama Resijati di menara pengawas TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Tak Banyak di Pulau Jawa

Dosen FPIK Universitas Diponegoro Rudhi Pribadi mengatakan, bicara mangrove tidak bisa dipisahkan dari ekosistem pesisir, karena di antara ekosistem satu dengan yang lain saling terkait. “Sehingga jika salah satu ekosistem terganggu, tentu berdampak kepada ekosistem yang lain,” katanya.

 

Hal ini merujuk pada TWA Mangrove Angke Kapuk yang tidak bisa dipisahkan dari ekosistem pantai dan laut. “Yang pertama, kita harus melihat dari sisi geomorfoologi atau bentuk pantai,” katanya.

 

Geomorfologi kawasan mangrove terdiri dari beberapa bentuk, seperti teluk, laguna, delta, sand bar dan estuaria. “Khusus TWA Angke Kapuk bentuknya teluk karena ada bagian laut yang menjorok ke arah daratan,” kata Rudhi.

 

Menurut Rudhi, aspek kedua adalah dari komponen biotik. Hal itu terdiri dari seagrasses (padang lamun), mangrove (hutan bakau), coral reef (terumbu karang) dan beach forest (hutan pantai).

 

“Untuk TWA Angke Kapuk komponennya adalah mangrove. Ketika propagulnya (bibit) hanyut pada suatu lokasi, kemudian disitu tumbuh perakarannya membentuk ekosistem mangrove. Itulah mengapa komponen biotiknya adalah mangrove,” katanya.

 

Rudhi menambahkan, sejatinya tidak ada pohon yang bernama mangrove. Mangrove adalah sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah intertidal atau kawasan pasang surut. “Ini kata kunci yang sangat penting,” jelasnya.

 

Zona pemanfaatan di TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Sehingga ketika ingin melakukan penanaman, Rudhi mengingatkan bahwa yang terpenting adalah menciptakan kondisi intertidal. Kondisi pasang surut sangat istimewa, karena hanya bisa ditumbuhi oleh vegetasi berupa mangrove. 

 

“Artinya vegetasi lain tidak bisa beradaptasi sebaik mangrove. Sehingga ini menjadi syarat utama saat melakukan restorasi, rehabilitasi, atau ingin membuat suatu ekosistem mangrove,” terang Rudhi yang sejak tahun 1992 berfokus pada isu mangrove.

 

Rudhi juga menjelaskan bahwa penyebaran mangrove hanya terdapat di daerah tropis dan sisanya di sub-tropis. “Tropis pun dibagi dua, yakni Old Tropic dan New Tropic,” katanya.

 

Mangrove di kawasan New Tropic (Amerika latin) ternyata hanya memiliki 6-8 speciesnya saja. Sementara di Old Tropic, seperti Indonesia, ditemukan puluhan jenis mangrove yang masuk kategori true mangrove.

 

“Bahkan jika kita menghitung yang minor species, asosiasi ini tentu lebih banyak lagi, sehingga Old Tropic merupakan pusat penyebaran mangrove, baik dari sisi luasan maupun keanekaragaman jenis,” katanya.

 

Menurut Rudhi, luasan mangrove di dunia hanya 18 juta Ha. Dari total itu, luasnya setara 4% total tutupan hutan yang ada di seluruh dunia. “Sehingga luasnya sangat kecil,” ujarnya.

 

Namun jika ingin membayangkan seberapa kecilnya ekosistem mangrove di dunia, Rudhi mengajak untuk membayangkan Jepang yang luasnya hanya 37 Ha. “Jika mangrove 18 juta Ha, mungkin hanya separohnya itu luasan mangrove,” katanya.

 

Atau, jika ingin membandingkan dengan Indonesia, Rudhi mengatakan cakupannya seperti Provinsi Kalimantan Timur (sebelum dipisah dengan Kaltara) dengan luas 21 juta Ha.

 

“Ini artinya jika semua mangrove di dunia dikumpulkan, itu di Indonesia, 1 provinsi pun masih sisa,” terangnya.

 

Justru karena luasnya itu, perhatian dunia terhadap mangrove menjadi besar. Perubahan dari ekosistem yang sensitif itu perlu dijaga, karena perannya yang sangat besar bagi kehidupan.

 

Dari 18 juta Ha, Indonesia memiliki 3.496.768 Ha kawasan mangrove, mengacu pada data Badan Restorasi Gambut. Jumlah itu kurang lebih 25% dari total luasan mangrove.

 

“Ini jauh lebih besar dibanding negara-negara lainnya. Bandingkan dengan Singapura yang hanya punya 3 Ha saja,” katanya.

 

TWA Angke Kapuk dilengkapi dengan sejumlah tempat bermain. (foto: Jekson Simanjuntak)


Data itu menurut Rudhi memberikan gambaran lain, bahwa Indonesia dikenal sebagai negara dengan kerusakan mangrove yang juga besar. “Ini benar, karena arealnya sangat luas, otomatis ukuran rusaknya juga besar. Berbeda mungkin jika kita menggunakan prosentase,” tegasnya.

 

Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia menarik untuk disimak. Alasannya, meskipun merupakan daerah tropis dan mengalami pasang surut, namun tidak otomatis seluruh areal cocok untuk ditanami mangrove.

 

“Kita bisa lihat Sumatera misalnya, mangrove-nya ada disebelah timur (pantai timur). Kemudian Kalimantan, ada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang terbanyak,” katanya.

 

Sementara untuk Jawa, Bali – Nusa Tenggara hanya sedikit, sehingga tidak muncul di peta. Meski luasannya kecil, kawasan mangrove di Pulau Jawa relatif aman karena berada di sebelah utara yang menghadap laut Jawa dan dilindungi Pulau Kalimantan. “Berbeda dengan selatan yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia,” katanya.

 

Karena itu, Rudhi mengatakan TWA Mangrove Angke Kapuk yang letaknya di utara Jakarta sangat cocok sebagai lokasi pengembangan kawasan mangrove. Kawasan yang terlindung dan bebas dari abrasi membuat mangrove bisa tumbuh subur disana.

 

“Karena itu, TWA Angke Kapuk meskipun luasnya sedikit, harus tetap dipertahankan”, ujarnya.

 

Khusus untuk Sulawesi ternyata hanya sedikit, itu pun terkonsentrasi di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Adapun Papua hampir seluruh pesisirnya, baik pantai utara, pantai timur, pantai barat, dan pantai selatan dipenuhi ekosistem mangrove.

 

“Sekitar 60% mangrove di Indonesia, adanya di Papua (Papua dan Papua Barat). Sehingga jika ingin melihat mangrove yang terbaik, datanglah ke Papua,” katanya.

 

Sampah memenuhi beberapa bagian dari TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Plastik Kian Marak

Resijati mengatakan, permasalahan yang kini dihadapi TWA Mangrove Angke Kapuk adalah sampah plastik. Sampah itu terbawa aliran kali Angke maupun berasal dari laut saat pasang, lalu tersangkut di akar- akar mangrove.

 

“Musuh kita disini cuma satu, yaitu plastik. Karena jika  plastik menutupi akar nafas pohon Api-Api, pohon itu akan mati”, ujar Resijati.

 

Untuk mengurangi sampah plastik, pihak TWA tidak memperbolehkan pengunjung membawa makanan dari luar. Makanan hanya bisa didapatkan dan disantap di kantin. Dengan demikian, sampah akan terpusat di satu lokasi saja. 

 

TWA juga hanya menjual plastik biodegradable untuk kemasan makanan minuman. “Kita jualnya Rp500. Kemudian jika mereka butuh sedotan, kita berikan sedotan kertas. Dan kalo gelas, gelasnya terbuat dari kertas,”katanya.

 

Meski aturan cukup ketat disertai poster/ baliho berisi imbauan tidak membuang sampah sembarangan, tetap saja kesadaran pengunjung masih minim.  “Mereka masih membuang sampah sembarangan, Tapi itu tugas kami untuk membersihkannya”, ujar Resijati.

Lokasi pembibitan mangrove di TWA Angke Kapuk. (foto: Jekson Simanjuntak)


Aksi Kolaborasi

Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Yasser Ahmed mengatakan banyak aksi telah dilakukan untuk memperbaiki kerusakan ekosistem mangrove. Namun, permasalahan kerusakannya seolah tak kunjung selesai. “Selain dukungan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem mangrove memerlukan srategi yang tepat,” katanya.

 

Beberapa laporan menemukan adanya kegagalan dalam rehabilitasi mangrove di tanah air. Salah satu penyebabnya adalah paradigma bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove. “Padahal, program rehabilitasi memerlukan langkah-langkah yang matang, dimulai dari perencanaan hingga evaluasi,” ungkap Yasser.

 

Karena itu, Yasser mengusulkan perlunya pendampingan pada program rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh beberapa pihak. Perbaikan ekosistem mangrove tidak semudah membalikan telapak tangan, menanam bibit, kemudian ditinggal. 

 

Hal itu dibenarkan oleh Arief Putra Swasana. Sejak dibuka, TWA Mangrove Angke Kapuk telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk berbagi informasi dengan para pemangku kepentingan yang terlibat.

 

Masyarakat kemudian disadarkan bahwa hutan bakau perlu dilestarikan karena ekosistem yang sebelumnya dianggap kurang bermanfaat oleh masyarakat bahkan pemerintah, ternyata memiliki banyak fungsi. 

 

“Fungsi mangrove sangat penting sebagai penyangga keberlanjutan sistem hidup generasi manusia,” kata Arief selaku GM TWA Mangrove Angke Kapuk.

 

TWA Angke Kapuk menawarkan pendidikan lingkungan bagi anak-anak. (foto: Jekson Simanjuntak)


Dalam program yang melibatkan banyak pihak ini, semua harus bergerak bersama. “Jadi harus terintegrasi. Semua harus ikut bergerak. Kita harus sadar, bahwa kita perlu berterima kasih kepada alam,” ujar Arief.

 

Sebagai contoh, TWA Mangrove Angke Kapuk telah menjalin kerjasama dengan distributor motor PT Wahana Makmur Sejati (WMS), menargetkan penanaman 10,000 pohon bakau di TWA.

 

“Mereka ada program menanam 10 ribu batang. Jika membeli motor akan mendapat 1 pohon mangrove. Mereka mempercayakan kepada kami untuk mengelola penanamannya. Ini contoh yang sederhana,” pungkas Arief.

 

Hutan bakau kini disadari sebagai aset sektor pariwisata. Pemanfaatan kawasan bakau di Pantai Indah Kapuk telah mampu menyumbangkan penerimaan negara sebesar Rp1 miliar per tahun yang berasal dari pengunjung. 


Ketika pengunjung telah melihat dan merasakan apa yang ada di TWA Mangrove Angke Kapuk, mereka akan dapat memahami mengapa mangrove harus dilestarikan, karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan. (end)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *