Sekarang musim angin timur, ombaknya besar, dan air laut di sini kadang pasang saat siang. Kalau berjalan di tepi pantai, di dekat padang lamun kadang kita bisa lihat penyu sisik dan pari batu. Kata kami pu kakek, dulu semua binatang ini ada, tapi saya tak pernah lihat lagi dari sejak anak-anak sampai saya dewasa. Sekarang mereka kembali lagi, karena ada padang lamun dan mangrove yang kita tanam.
Ini saya mau cerita tentang mangrove, pohon dan hutan yang saya tahu sejak kecil sekali. Kami satu keluarga besar kakek-nenek, ayah ibu sudah tahu mangrove karena itu saya hidup dekat sekali dengan tanaman ini. Kami juga bilang mangrove ini pohon bakau, kadang dibilang mangi-mangi.
Sering kami menjala atau tangkap kepiting untuk dimakan atau dijual. Kalau di Pulau Jawa atau Kalimantan mungkin banyak orang so paham tentang hutan, sungai, air, tapi saya suka mangrove karena itu unik. Kitong bisa lihat semua hutan, air, sungai, ikan, berkumpul jadi satu di sini.
Alam dari Tuhan ini memang unik sekali, tetapi mangrove sangat unik karena kadang-kadang terendam air, kadang bisa kering, dan sungai air tawar juga ada mengalir dari hulu, dan binatang-binatangnya berbeda ketika air surut dan pasang.
Sa suka lihat kelomang, rajungan (Paguroidea) dan kepiting (Ocypodidae) ke luar dari lumpur, tapi ketika air pasang ada banyak ikan, ada banyak burung air. Sering saya membawa jala, dan sehabis menanam bakau, saya bawa ikan pulang untuk dimakan atau dijual.
Oh iya, sa David Saweri orang asli Sarmi umur 45 tahun, sekarang masih tinggal di kota Sarmi, ibukota Kabupaten Sarmi, tetangga dari Jayapura, ibukota Papua. Istri saya tenaga bantu di sekolah PAUD dekat rumah dan, anak kami dua. Saya punya rumah 2.500 meter persegi, peninggalan keluarga. Kitong tanam banyak sayur seperti kangkung, bayam, dan sawi.
Pohon buah juga banyak kami tanam, ada papaya dan mangga. Di belakang ada tanaman kayu seperti matoa dan merbau. Kami makan dan kami jual kalau panennya bagus,cukup untuk keluarga kami. Alam ini sudah kasih makanan cukup, tapi kitong yang harus jaga untuk memenuhi kebutuhan.
Saya minta maaf sedikit melantur to, karena saya mau cerita lagi tentang tanam mangrove itu.
Saya mulai tanam sekitar tahun 2001 dan tidak ada yang bantu, sendiri saja. Sa lihat mangrove sudah terdegradasi di Sarmi jadi harus ada yang tanam lagi. Dulu dorang suka tanya, kakak di lembaga apa, jadi saya bikin lembaga Kipas, Karya Insan Peduli Alam Sarmi. Lembaga ini pengurusnya tidak ada, saya sendiri saja dan belum didaftarkan ke pemerintah.
Kota Sarmi, Papua yang menghadap ke Samudera Pasifik berombak besar, sehingga dijuluki Kota Ombak (foto: Google Earth)
Sa sedih lihat mangrove mulai habis di sepanjang pantai Sarmi, karena masyarakat setempat ambil saja semua yang mereka mau. Banyak dipakai kayu bakar dan untuk pagar kebun, ada juga yang dijual ke luar daerah. Saya lihat sendiri kalau mangrove sudah habis, padang lamun juga hilang, burung-burung air juga pergi, kepiting pun tidak ada tempat hidup.
Kalau saya membaca dan diskusi dengan teman-teman, saya tahu bisa bahaya untuk kita orang pantai kalau mangrove habis, karena nanti ada badai kencang, gelombang tinggi, dan tsunami yang tidak bisa dihalangi. Itu jasa lingkungan dari mangrove yang sering orang di sini lupa.
Kita senang Kota Sarmi dijuluki Kota Ombak karena ombaknya memang besar, tapi bisa bahaya kalau pelindung alami di pesisir itu rusak atau hilang.
Orang yang biasa ambil kayu mangrove banyak-banyak tidak pernah tanam kembali, orang juga senang sekali berburu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) atau tangkap burung, dan makan pari batu (Hemantura gerrardi).
Saya sudah tahu ada satwa yang dilindungi dan dilarang pemerintah untuk tangkap seperti penyu sisik, tapi saya susah sekali untuk kasih tahu ke mereka, karena tanah mangrove itu bukan tanah pemerintah. Tanah itu milik bersama beberapa marga adat yang tinggal di pesisir Sarmi. Sa juga tak bisa beri alternatif mata pencaharian untuk mereka yang pergi ke mangrove untuk sekedar cari makan.
Paling sedih itu ketika tahun 2000 pemerintah buka jalan lintas kampung dari Kampung Karpasia ke Kampung Maset di Sarmi Barat, panjangnya 10 kilometer tapi lebarnya hanya 2 meter karena hanya jalan perkampungan to, dan hanya berupa makadam yang belum diaspal.
Hutan mangrove habis dibaba di kiri dan kanan jalan. Banyak rumah-rumah dibangun di dekat jalan itu, dan banyak limbahnya dibuang begitu saja ke hutan mangrove karena tidak dibuatkan irigasi yang bagus.
Tapi saya tak mau lama-lama bersedih. Kalau begitu, saya mulai saja dari menanam mangrove, dan kalau sudah besar dan lebat pasti ikan dan kepiting akan datang, kelomang juga banyak dan enak dimakan. Kitong juga masih bisa berburu pari batu karena tidak dilarang pemerintah. Jadi masyarakat bisa beralih dari tebang kayu dan menjadi nelayan menangkap ikan, kepiting, rajungan, atau budidaya tanaman lain.
Sa belajar dari Bapak di mana cari bibit mangrove, karena lihat beberapa kali Bapak tanam mangrove, dan bagaimana cara memilih bibit.
Rumah saya dekat dari hutan mangrove tak sampai tiga kilometer, jadi saya sering datang dan duduk di pantai mengamati pohon mangrove, bagaimana kekuatan pohonnya ketika ada air pasang dan surut, atau angin kencang, apa saja jenis pohon mangrove yang tumbuh di Sarmi ini, juga mengingat-ingat binatang-binatang yang hidup di mangrove.
Dari belajar sa tahu bakau itu banyak jenis yang tumbuh di Sarmi, seperti Sonneratia, Bruguiera, Rhizophora. Itu semua saya pelajari sendiri dari alam dan membaca buku, belum ada pakai Google dan handphone. Itu saya belajar semuanya tiga tahun dari 2001 sampai 2004.
Dua Bulan 99 Ribu Bibit
Tahun 2004 saya mulai kumpulkan bibit dari pantai dan belajar menyemai. Jadi sa tahu teknis semai yang cocok dan cepat dipakai di sini. Kalau perlu bibit cukup banyak, saya sewa perahu ke Pulau Liki, sekitar 45 menit pakai perahu dari Pelabuhan Sarmi. Cukup jauh.
Sa pakai uang sendiri hasil menjual sayur, buah, ikan atau kayu keras yang ditanam di rumah. Sa tak pernah menebang kayu mangrove. Saya ke Pulau Liki dapat sumbangan dari kawan-kawan untuk sewa perahu dan juga peralatan lain karena karena saya di situ tujuh hari.
Saya punya teknik sendiri menyemaikan bibit, tidak pakai propagul seperti kebanyakan orang-orang tetapi saya memilih teknik bedengan (bedeng).
Jadi, saya gali tanah di area pasang surut seperti membuat kolam ukuran 20×1,2 m, lalu tiap benih saya masukkan ke polybag dan diisi dengan tanah. Kita harus tahu tinggi air pasang dan surut, juga tahu binatang-binatang yang sering naik saat pasang supaya bibit terendam air dengan cukup dan tidak habis dimakan binatang.
Banyak yang simpati dengan yang saya lakukan tetapi sedikit sekali yang empati mau ikut turun menanam, jadi saya tetap kerjakan sendiri.
Pernah di tahun 2017 saya diminta Dinas Kehutanan Kabupaten Sarmi untuk menyiapkan 94.400 bibit mangrove dalam waktu tiga bulan, mulai dari persemaian sampai siap tanam.
Saya buat enam bedeng dan semua sudah selesai ditanam dalam waktu 1 bulan 3 minggu. Jumlah bibit yang saya serahkan bahkan lebih banyak, 98.800 pucuk. Waktu itu sa diberi 15 juta rupiah.
17 Ribu dan Sendiri
Kalau dihitung dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2020, bibit yang sudah sa tanam kira-kira 17 ribu pucuk dan sendirian saja, di luar permintaan pihak lain seperti Dinas Kehutanan atau Lingkungan Hidup atau yang menanam bersama kawan-kawan.
Hampir semua tumbuh dengan baik karena saya sering mengecek ke pantai. Area tanam itu tersebar di Sarmi jadi sa tidak sempat cek berapa luas yang tepat, tapi mungkin ada beberapa kilometer persegi.
Banyak yang tanya berapa saya habis uang untuk tanam mangrove. Sebetulnya tidak banyak, paling besar 500 ribu rupiah ketika sewa perahu cari bibit di Pulau Liki dan tidak sering juga pergi ke sana.
David Saweri sedang membersihkan limbah plastik yang tersangkut di akar mangrove yang bisa menghambat pertumbuhan pohon itu (Foto: David Saweri)
Banyak teman yang datang membantu kadang dengan uang atau alat, tapi kita butuh punya komitmen yang kuat dan Tuhan akan buka jalan. Saya tidak pernah kekurangan untuk makan keluarga karena tanah kami subur, airnya juga subur, pohonnya subur dan bakaunya juga bisa jadi sumber makanan.
Sa cukup sering dilibatkan dalam acara tanam mangrove oleh dinas-dinas, tapi terus terang tidak ada bantuan pendanaan atau bantuan lain kepada saya.
Hanya teman-teman atau anak-anak sekolah yang sering datang tanya apa yang bisa mereka bantu. Kalau anak sekolah, mereka punya pelajaran mengenal lingkungan, jadi saya ajak mereka tanam langsung dari bedeng atau ikut ke Liki cari bibit biar mereka paham bagaimana mangrove itu tumbuh.
Ada yang saya lupa, saya pernah diundang pertemuan oleh pemerintah Kabupaten Sarmi untuk terlibat di program mangrove dari donor internasional tahun 2014.
Tapi saya tidak ikut lagi, mungkin waktu itu saya merasa tidak sejalan saja dengan bayangan tentang masa depan mangrove di sini. Jadi, saya kembali saja bekerja mandiri dengan bantuan teman-teman.
David Saweri (kanan) sering diundang sebagai narasumber dalam diskusi tentang konservasi (Foto: David Saweri)
Kalau mau tanam mangrove di areal yang luas, tidak bisa dilakukan sendiri. Jadi kalau di tempat jauh saya buat kolaborasi dengan teman-teman LSM seperti Rumah Mangrove di Jayapura.
Kami pernah bikin acara diskusi mangrove, dan saya berbagi pengalaman tanam mangrove ini. Saya juga banyak belajar tentang jasa-jasa lingkungan dari mangrove dari teman-teman.
Sekarang saya sudah berani datang ke kampung-kampung bilang kitong punya mangrove bisa jadi sumber penghasilan bukan sumber bencana. Kelomang, kepiting, rajungan, pari baru, ikan-ikan, dan penyu sudah datang lagi sekarang karena hutan bakau. Juga ada bebek danau (Salvadorina waigiuensis) yang kata orang dulu tak pernah kelihtan di Sarmi. Kitong bisa berburu hewan yang tidak dilarang oleh pemerintah.
Bisa bikin kita bersyukur kepada alam, bukan menghancurkan pemberian Tuhan itu kepada kita. Mereka bisa lihat saya bisa tangkap ikan kapan saja di hutan mangrove karena mangrove jadi tempat pemijahan banyak ikan. Pohon-pohon yang tua juga bisa ditebang tetapi harus menanam supaya ada suksesi yang baik di mangrove.
Kalau sempat mampir ke Sarmi, ayo kita lihat pantai dan kalau beruntung bisa lihat bebek danau yang indah. Sama indahnya dengan kitorang pu barisan mangrove dan senja di mercusuar Sarmi***
catatan: sa=saya, kitorang/kitong=kita, pu=punya