JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Beginer Subhan, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB yang kebetulan penyelam mengaku kaget saat diperintahkan untuk mendata jumlah tabung selam yang ada di IPB. Saat itu, ada anggapan bahwa tabung selam bisa dikonversi sebagai wadah bagi oksigen murni, menyusul kelangkaan tabung oksigen di sejumlah titik di wilayah Jabodetabek.
“Saya kaget pas disuruh mendata tabung selam yang akan digunakan untuk diisi oksigen murni. Saya bilang nanti dulu. Saya bukan ekspertnya dibidang itu,” ujar Subhan pada acara bincang bebas bertajuk “Bisakah Tabung Selam jadi Tabung Oksigen?” pada Selasa (13/7).
Saat ini, tidak bisa dipungkiri kebutuhan akan fasilitas kesehatan khususnya tabung oksigen terus meningkat seiring bertambahnya penderita Covid-19. Bahkan sejumlah tempat yang dulunya ramai menjual tabung oksigen, kini berubah sepi, karena tabungnya habis diborong pembeli.
Mengantisipasi kebutuhan itu, muncul ide dari masyarakat tentang kemungkinan penggunaan tabung selam sebagai pengganti tabung oksigen. Alasannya, tabung selam juga menggunakan zat oksigen yang sama.
Perwakilan Divers Alert Network (DAN) Indonesia, Bayu Wardoyo mengatakan hal itu tidak mudah, karena tabung selam menggunakan regulator, sementara tabung oksigen medis tidak dilengkapi dengan regulator. Regulator selam hanya bisa digunakan oleh mereka yang sehat, dan akan menyulitkan bagi pasien yang mengalami sesak nafas.
“Bagaimana memberikan regulator ke mereka yang sakit, sedangkan regulatornya harus digigit,” tanya Bayu.
Selain itu, terapi oksigen akan berdampak optimal, jika dimasukkan dalam konsentrasi tinggi. Jika pilihannya menggunakan regulator selam, maka bagian hidung harus tertutup agar oksigen bisa langsung masuk ke paru-paru.
“Jika lubang hidung tetap terbuka, maka terapinya tidak maksimal, karena tidak mungkin menutup lubang hidung pasien,” papar Bayu saat menjadi narasumber pada diskusi “Bisakah Tabung Selam jadi Tabung Oksigen?”
Buruknya Literasi
Bayu Wardoyo mengatakan pemahaman masyarakat belum merata soal apakah tabung selam bisa digunakan sebagai wadah untuk oksigen medis. Terbukti, baru-baru ini di wilayah Jawa Tengah sempat viral penggunaan kompresor selam untuk mengisi tabung oksigen. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan.
“Artinya pemahaman tentang oksigen medis itu harus 100%, kemudian kompresor selam yang keluaran oksigennya hanya 21%, ini kan, tidak dipahami banyak orang,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, masyarakat perlu mengetahui bahwa tabung selam berisi udara normal yang dipadatkan. Konsentrasinya seperti yang kita hirup sehari-hari (kandungan oksigen hanya 21%).
“Ini sekaligus menjelaskan bagaimana pasien COVID-19 yang membutuhkan kandungan oksigen tinggi, tidak bisa diberikan oksigen yang berasal dari tabung selam” ujarnya.
Di Indonesia, menurut Bayu, panduan klinis pemberian oksigen belum dipahami secara baik oleh masyarakat. Cara pemberiannya cenderung suka-suka. Padahal jika merujuk ketentuan di Amerika Serikat dan Eropa, pemberiannya tidak semudah itu, meskipun dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dan bersertifikat
“Biasanya saat kita ngasih begitu saja, maka akan dipertanyakan dasarnya apa. Maka itu adalah salah,” kata Bayu.
Sementara bagi masyarakat umum, pemberian oksigen dilakukan tanpa aturan yang jelas. “Sekarang contoh paling sederhana, di oksigen itu kan ada flownya. Ada ukuran 1 liter, 5 liter, 10 liter sampai 15 liter/menit. Lalu saat ditanya ke orang awam ukuran yang paling pas berapa? Kan, gak tahu kita,” ujarnya.
Jika diberi sedikit, rasa sesak yang dialami pasien tidak otomatis hilang. Sementara diberi terlalu banyak, maka oksigen mudah habis dan dampak medis belum diketahui secara pasti.
“Ini kan, hanya orang yang pernah dapat pengetahuan medis yang mengerti,” kata Bayu.
Jenis Tabung
Untuk memahami perbedaan antara tabung selam dan tabung oksigen medis, Bayu Wardoyo menjelaskan bahwa tabung selam memiliki dua jenis bahan yakni aluminium dan baja. Sementara tabung oksigen medis yang digunakan di Indonesia kebanyakan berbahan baja.
“Kita bisa temukan banyaknya tabung berwarna putih atau biru dan biasanya bentuknya tinggi-tinggi. Tabung itu dikhususkan untuk oksigen medis,” katanya.
Selain itu, pembeda lain yang sangat signifikan terletak pada keran (valve) tabungnya. Untuk tabung selam kebanyakan menggunakan valve tipe Yoke atau DIN. Sehingga jika ada pertanyaan, apakan tabung selam bisa digunakan sebagai kontainer oksigen medis, menurut Bayu, hal itu mungkin dilakukan.
“Hanya saja, perlakuan tanki scuba bisa dipakai untuk oksigen 100%, itu melibatkan banyak hal dan harus dikerjakan dengan sangat hati-hati,” terang Bayu.
Ketika pasien membutuhkan asupan oksigen konsentrasi tinggi (95% keatas), maka perlakuannya harus didasarkan pada standar layanan kesehatan. Menurut Bayu, tidak dengan menggunakan tabung selam, karena kadar oksigennya hanya 21%.
Bayu kemudian menjelaskan bahwa dari 21% yang dihirup manusia akan terbagi-bagi ke sejumlah organ. Yang masuk ke paru-paru, jumlahnya tak lebih dari 5.6% saja. “Nah, kebayang waktu orang sakit dikasihnya 100%. Itu supaya oksigen yang masuk bisa mendorong metabolisme tubuh bekerja maksimal. Bukan dengan memberikan oksigen 21%,” katanya.
Sementara jika diberikan Nitrox dengan kadar oksigen 40%, menurut Bayu, hal itu juga tidak berdampak signifikan.
“Itu artinya, yang masuk ke paru-paru juga tidak banyak. Sehingga tidak optimal. Dan yang punya nitrox 40 tidak banyak di Jakarta. Rata-rata hanya 32% dan 36%,” katanya.
Hal lainnya, terkait standarisasi keran (valve) juga belum diketahui publik secara luas. Bayu menjelaskan, sejak pembuatannya, tabung telah dibedakan dari valve-nya. Itu untuk memudahkan dalam proses pengisian, termasuk identifikasi tabung.
“Di Eropa dan Amerika, semua dibedakan dari valvenya. Sementara Indonesia tidak melakukan itu, sehingga hampir disamakan,” katanya.
Bayu mencontohkan aktivitas tukang las yang banyak di Indonesia. Mereka kerap menggunakan valve yang sama untuk tabung jenis oksigen maupun argon. “Mereka pake yang namanya BS standart. Itu valve BS 341 no.3,” terang Bayu
Padahal ukuran valve merujuk pada kegunaan dan identifikasi jenis tabung. Ada valve dengan varian bernomor 3, 4, 5, 8, 14 dan seterusnya. Penomoran digunakan untuk membedakan peruntukan. “Misalnya Acitilen menggunakan BS nomor 4, Hidrogen Sulfit menggunakan BS nomor 15. Lah di kita, hal itu belum distandarisasi, biar gak salah,” terangnya
Perlakuan Khusus
Khusus terkait tabung konversi, hal pertama yang harus diperhatikan adalah memastikan tabungnya benar-benar baru. Bukan tabung bekas. “Sebaiknya tabung itu belum pernah digunakan untuk hal-hal lain,” kata Bayu.
Kedua, diperlakuan perlakuan khusus agar tabung selam bisa digunakan, yakni harus melewati proses Oxygen Cleaning. Oxygen cleaning merupakan proses pembersihan tabung dari kontaminan sehingga jika diisi oksigen murni tidak akan memunculkan potensi terbakar.
“Tak banyak orang tahu jika kadar oksigen tinggi diatas 95% berpadu dengan tekanan yang juga tinggi berpotensi fire hazard. Contoh sederhana bisa kita lihat pada penjual ikan yang menggunakan oksigen, dimana sering kejadian kebakaran karena salah penanganan,” ungkap Bayu.
Karena itu, Bayu mengingatkan bahwa oksigen dengan kadar konsentrasi tinggi sangat berbahaya jika penanganannya tidak serius dan hati-hati. “Itu kita baru bicara tabungnya,” katanya.
Saat oksigen medis dipaksakan ke dalam tabung selam, Bayu mengingatkan tentang perlunya adaptor khusus. Adaptor tersebut harus bersertifikat oksigen grade dan kompatibel saat digunakan.
“Harus kompatibel biar tidak mengakibatkan kebakaran saat diisi oksigen murni,” katanya.
Adapun proses konversi sebaiknya dilakukan oleh teknisi yang berpengalaman dan bersertifikat. Sepengetahuan Bayu, dibutuhkan waktu paling sedikit 1 hari dalam pengerjaannya, mulai dari pencucian hingga pengeringan tabung.
“Dikeringkan dan harus dipastikan jangan ada kontaminan masuk,” ujarnya.
Pengerjaan valve juga dilakukan dengan sangat hati-hati. Semua dilakukan agar kontaminan tidak masuk. Jika pembersihan menggunakan kain lap biasa, misalnya, Bayu menyebut hal itu sebagai risiko besar yang harus ditanggung.
“Membersihkan valve kotor menggunakan kain lap biasa akan berakibat fatal, karena dia membawa kontaminan malah masuk,” kata Bayu.
Khusus terkait lokasi pengerjaan konversi, Bayu mengusulkan agar dilakukan di tempat-tempat tertentu. “Misalnya dive center atau di lokasi tempat oxygen certified,” katanya.
Lokasi lainnya adalah pusat pelatihan Rebreather yang memang terbiasa menggunakan oksigen murni dan campuran gas lainnya. Di Jakarta ada beberapa tempat yang menyediakan jasa tersebut.
“Minimal pelatih rebreater, biasanya gunakan oksigen konsentrasi tinggi, sehingga mereka mengetahui hal itu,” terang Bayu.
Waspada Kontaminan
Bayu mengingatkan bahwa musuh utama dari oksigen murni adalah kotoran yang sifatnya kontaminan, dihasilkan dari residu yang menempel di dalam tabung. Bahan-bahan itu biasanya bersifat non oksigen grade, minyak atau oli, hingga grease yang non-oxygen compatibel.
“Sehingga masih terbuka kemungkinan untuk valve dimodifikasi. Tapi kalau saya pribadi hanya menggunakan valve khusus yang digunakan untuk oksigen 100%,” terangnya.
Selain masyarakat umum, kalangan diver juga belum mengetahui apakah tabung selam bisa digunakan sebagai wadah oksigen medis. Bayu menjelaskan, tidak semua penyelam memahami perlakuan khusus terhadap oksigen murni. “Bayangin aja, diver yang bukan techincal diver terkadang tidak paham menangani oksigen, apalagi orang awam,” tegasnya.
Jika tabung selam diisi oksigen murni, lalu disimpan di rumah dalam jangka waktu tertentu dan kemudian muncul ide untuk menyelam. Bayu menyebutkannya sebagai awal dari bencana yang mengancam.
“Tadi saya perlihatkan tabung oksigen medis saya, disitu tertulis maximum operating depth (MOD) hanya di 6 meter. Trus dipake nyelam tanpa cek isinya (oksigen analizer), lalu turun ke dalam15-20 meter, maka Wassalam ceritanya,” terang Bayu.
Karena itu, Bayu menawarkan, jika ingin menggunakan tabung berisi oksigen 100%, maka piihannya bisa menggunakan tabung oksigen produksi DAN berbahan aluminium yang memang didisain khusus untuk pertolongan pertama.
“Dia valvenya beda, karena memang oxyigen grade. Ini yang membuatnya berbeda dengan tabung oksigen biasa. Selain itu tabung ini menggunakan regulator yang juga khusus,” terang Bayu.
Saat Darurat
Sementara terkait potensi kedaruratan, Bayu mengatakan, apapun harus dilakukan. Namun saat menggunakan tabung selam, beberapa hal penting harus menjadi catatan. Seperti pentingnya oxygen cleaning, hingga teknisi yang bersertifikat.
“ini adalah very-very last resource, namun ketika masih bisa mencari tabung oksigen medis, maka carilah itu, karena saya yakin masih ada” tegasnya.
Saat ini, pemerintah sedang berusaha agar ketersediaan tabung oksigen medis bisa terpenuhi, karena itu Bayu mengingatkan bahwa penggunaan tabung selam tidak direkomendasikan.
“Cari dulu sampai dapat. Jangan karena dia tidak dapat di 1-2 toko terus menggunakan tabung scuba. Jangan! Saya tidak sarankan,” tegas Bayu.
Biaya Mahal
Rizya Ardiwijaya yang juga instruktur selam IPB mengungkapkan, tabung selam 12 liter yang bahannya aluminium, tidak mudah untuk dikonversi menjadi tabung oksigen. “Ada proses pembersihan dan penggantian,” katanya.
Karena itu, Rizya mengedukasi semua orang bahwa tidak mudah melakukan pengisian oksigen menggunakan tabung selam. Jika hal itu perkara mudah, pastinya banyak operator selam yang telah melakukannya sejak lama.
“Itu yang saya coba jelaskan ke teman-teman yang awam termasuk ke saudara saya, bahwa jika betul tabung selam bisa plug and play untuk oksigen murni, maka sudah banyak dive operator yang akan menyumbangkan dan meminjamkan tabungnya,” ungkap Rizya.
Lalu jika tetap ingin mengonversi tabung selam menjadi tabung oksigen, menurut Rizya hal itu berpotensi mengeluarkan biaya yang cukup besar.
“Jauh lebih mahal ketimbang membeli tabung oksigen medis yang baru. Karena itu, penggunaan tabung selam tidak disarankan,” terang Rizya yang juga peneliti YKAN.
Hal itu dibenarkan oleh Bayu, karena untuk melakukan konversi tabung dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dimulai dari pembelian tabung baru ukuran 80 cuft, biayanya sebesar Rp3 juta. Lalu proses oxygen cleaning, pemberian grease oksigen kompatibel, O-ring diperkirakan mengeluarkan dana kurang lebih Rp2.5 juta.
“Itu saja sudah menghabiskan dana Rp5 jutaan. Belum termasuk adaptor untuk oksigen medis biayanya sekitar Rp800 ribu. Total membutuhkan 6 juta. Menurut saya tidak sebanding dengan effort yang dikeluarkan,” pungkas Bayu. (Jekson Simanjuntak)