JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Memperingati Hari Segitiga Karang Dunia pada 9 Juni lalu, Conservation Talk Virtual yang digagas oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menghadirkan diskusi tentang pentingnya mengolaborasikan kearifan lokal dan sains dalam program konservasi perairan.
Dalam webinar yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah itu, Rizya Ardiwijaya, Coral Reef Specialist YKAN yang menjadi narasumber, menyebut YKAN telah lama bekerja sama dengan pemerintah, khususnya terkait kawasan konservasi laut. Juga bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam melakukan pengelolaan kawasan secara mandiri.
“Disini YKAN melakukan pendampingan mulai dari pembentukan hingga monitoring, evaluasi serta pengawasan. Disinilah citizen science kita bergerak,” kata Rizya.
Menurut Rizya, dengan citizen science, masyarakat tidak hanya diberi kemampuan mengelola sumberdaya alam, tetapi juga memantau dan mendata sumberdaya alamnya. “Misalnya, melakukan pengamatan ikan, jadi mereka diajarkan mengukur dan menghitung ikan. Dan mereka juga melakukan pengolahan datanya”, papar Rizya.
Dari pengolahan data itu, menurut Rizya akan dihasilkan grafik yang bisa dipahami dan bisa disebarluaskan. Juga bisa dipertanggungjawabkan, karena dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah.
“Inilah pendekatan citizen science, yang akhir-akhir ini mulai diterapkan secara global”, ujarnya
Melalui citizen science, masyarakat dapat mendukung upaya konservasi dengan menyediakan informasi atau data-data primer terkait sumberdaya alam disekitar mereka.
Sementara itu, konservasi tidak bisa dilepaskan dari penelitian yang tak kunjung selesai untuk mencatat dan memonitor spesies-spesies yang berada di berbagai kawasan.
Penelitian juga membutuhkan dana besar, dan merupakan problem tersendiri bagi Indonesia, yang masih belum memasukkan keragaman hayati dalam program strategis nasional, meski usianya sudah lebih dari 74 tahun.
Bagi Nyong Tomia, perwakilan Poassa Nuhada dari Pulau Tomia, Wakatobi menilai konsep citizen science yang diterapkan memberi dampak besar. Mereka menjadi lebih paham tentang karakterisasi sampah-sampah laut.
“Ada pengenalan terkait modul, jenis-jenis sampah, simbol-simbol yang ada di produk sampah plastik itu. Jadi kami di komunitas mengetahui seperti apa simbol-simbol yang ada di sampah plastik itu,’ ujarnya.
Luis Hay, Kepala Kampung Kapatcol, Raja Ampat juga sangat mendukung program citizen science. Karena setelah menerima pelatihan terkait konservasi, sebagian besar sudah paham bahwa mereka harus menjaga laut.
“Dan menjaga mereka punya tempat-tempat, karena itu sebagai tabungan masa depan”, katanya.
Pegiat Lingkungan Rote, Andrew Lazarus Penna juga setuju dengan konsep citizen science, karena membuatnya mengetahui jenis-jenis penyu, habitat dan aktivitas penyu ketika berada di pantai.
“Termasuk mulai dari bertelur hingga ancaman bagi induk dan telur dari predator, hingga telur tersebut menetas”, tuturnya.
Pelibatan Masyarakat
Bagi Rizya yang bersinggungan cukup lama dengan masyarakat di site YKAN, memandang masyarakat sebagai unsur penting dalam melakukan kerja-kerja konservasi. Masyarakat harus dilibatkan saat melakukan pendataan atau penelitian berbasis ilmiah.
“Dimana sukarelawan dari masyarakat dilatih untuk mengumpulkan data, melakukan analisis kemudian memonitor upaya-upaya konservasi”, ujar Ryzia yang merupakan peneliti terumbu karang.
Citizen science, menurut Rizya berhasil menghubungkan manusia dengan alam. Melalui sains, masyarakat mampu berkontribusi besar bagi pelestarian alam. Hanya saja, saat melakukan pengumpulan data, masyarakat tidak menggunakan bahasa ilmiah, namun memilih bahasa lokal yang dimengerti.
“Biasanya mereka lebih banyak tahu. Misalnya ini jenis ikan apa, ini teripang jenis apa, tapi spesiesnya tidak seperti yang umumnya kita ketahui”, ungkap Rizya.
Rizya mengingatkan bahwa kita tidak boleh menganggap remeh kemampuan masyarakat lokal dalam melakukan pemantauan dan pendataan species, karena mereka memiliki local knowledge (pengetahuan lokal).
“Saya pernah bersama masyarakat mencari gurita untuk dicatat, untuk dimonitor. Saya sampai setengah mati snorkeling di terumbu karang sulit untuk menemukan. Tetapi mata mereka lebih tajam dan mereka dengan mudah menemukannya,” ujar Rizya.
Kondisi seperti itu, menurut Rizya mensyaratkan pentingnya pendekatan terhadap masyarakat agar mampu melakukan citizen science.
Senada dengan Rizya, community specialist YKAN, Rynal M. Fadly yang juga hadir sebagai narasumber menyebut kegiatan konservasi yang dilakukan YKAN selalu melibatkan masyarakat.
“Termasuk melakukan pendataan yang berbasis ilmiah, yang dikenal sebagai citizen science itu”, ujarnya.
Bagi Rynal yang telah mendampingi masyarakat pesisir cukup lama, memastikan kearifan lokal kerap dijadikan pedoman dalam mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki.
“Indonesia merupakan wilayah yang sangat beragam kultur dan budayanya, dimana banyak upaya perlindungan alam. Upaya pelestarian itu menggunakan kearifan-kearifan lokal”, kata Rynal.
Saat Rynal bekerja untuk YKAN di NTT, ia menemukan tak kurang dari 11 kearifan lokal di sepanjang perairan di Nusa Tenggara Timur. Mulai dari Sumba, Rote, P. Timor hingga Flores.
Itulah sebabnya, mengapa Rynal menyebut wilayah tanpa masyarakat ibarat hampa. Pasalnya, mereka pemilik wilayah tersebut. Sehingga pelibatannya di program konservasi menjadi penting. Selain itu, mereka sebagai pihak yang berinteraksi langsung dengan alam di sekitarnya.
“Jadi kita coba untuk masuk kesana. Dan beberapa pelatihan juga kita berikan, agar mereka menjadi lebih paham bagaimana melindungi kawasan secara baik dan benar”, kata Rynal yang telah bergabung dengan YKAN sejak 2011.
Pelibatan masyarakat di citizen science menurut Rynal menjadi keharusan, karena “mereka menjadi pihak yang pertama terdampak, jika terjadi sesuatu akan perubahan alam ini”.
Atas dasar itu, YKAN menggunakan pendekatan SIGAP atau Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan. SIGAP merupakan pendekatan yang dikembangkan untuk mendorong warga mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan melakukan aksi inspiratif untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
“Supaya mereka bisa memahami dan memunculkan rasa memiliki, karena menggunakan bahasa lokal, meskipun kadang-kadang mereka tidak tahu nama ilmiahnya apa”, tutur Rynal.
Rynal menilai pendekatan SIGAP cukup membantu masyarakat, karena secara detail, mulai dari pembentukan tata ruang desa, identifikasi potensi, hingga meningkatkan usaha ekonomi masyarakat. “Termasuk agar masyarakat melakukan pengembangan badan usaha milik desa”, katanya.
Jadi intinya, sepengetahuan Rynal, YKAN mencoba mengkombinasikan pendekatan untuk pelestarian lingkungan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi masyarakat.
“Jadi bagaimana pelestarian alam berjalan, ekonomi juga tidak hilang,” terangnya.
Memberi Pelatihan
Saat melakukan pendekatan citizen science, YKAN memberikan pelatihan dan panduan praktis. “YKAN mengeluarkan beberapa panduan dan kita membahasakannya menjadi lebih sederhana ke masyarakat,” ucap Rynal.
Selain pelatihan, YKAN juga membuat aplikasi sederhana untuk kebutuhan monitoring. Aplikasi itu sangat membantu warga saat menginput data.
“Pemantauan monitoring penyu misalnya. Atau melakukan karakterisasi sampah laut. Mana sampah yang harus dipisah dan mana yang harus didaur ulang dan sebagainya”, ujar Rynal.
Pelatihan menjadikan masyarakat lebih peduli. “Jadi berpikir bagaimana caranya menyelamatkan. Bagaimana mereka memproteksi sumberdaya alam yang ada,” ujarnya.
“Misalnya kita juga melakukan monitoriing terumbu karang. Kita ajarkan, species-species apa aja dari terumbu karang tersebut”ujar Rynal kemudian.
Sementara menurut Rizya, pelibatan masyarakat menjadi ruh dari kegiatan YKAN di lapangan. Ia mencontohkan, pendampingan masyarakat di Pulau Tomia, salah satu pulau di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Disana mereka mendampingi warga melakukan penelitian karakterisasi sampah laut.
“Jadi kita mencoba melihat, berapa banyak sampah yang ada di pantai. Kemudian kita transek, dan kita catat jumlahnya, jenis, bahkan kalo ada merknya juga dicatat”, kata Rizya yang juga menjadi instruktur selam.
Dari kegiatan itu, mereka mengetahui jenis-jenis sampah yang masuk ke wilayah mereka akibat tersapu gelombang. Masyarakat wakatobi juga bisa merasakan dampak dari apa yang mereka lakukan.
“Informasinya sangat bermanfaat untuk pengelolaan berikutnya”, kata Rizya.
Konsep citizen science menurut Rizya membutuhkan teknologi. Misalnya saat mendata penyu di Rote dan Wakatobi. Melalui aplikasi berbasis android dan IOS, masyarakat mampu melakukan pendataan dengan baik.
“Kita tidak lagi menggunakan kertas saat monitoring. Jadi, disana kita tidak hanya mencatat jenis penyu yang ditemui, tetapi bisa dimasukkan jumlah telur yang ditetaskan atau yang dilepaskan di pasir”, papar Rizya.
Juga mengukur penyu jika ditemukan. “Terus difoto sekaligus dengan hp yang ada GPS lokasinya untuk diidentifikasi koordinatnya”, terang Rizya.
Hasil Citizen Science
Sepanjang pengalaman Rizya, citizen science yang diterapkan YKAN memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat. Pasalnya, mereka berhasil mengajak masyarakat melakukan pengamatan bersama-sama.
“Ini semua dimulai dari pendekatan kepada masyarakat. Setelah itu, kita melakukan asesmen. Kita mencari tahu kebutuhan mereka apa”, ujarnya.
Bentuk citizen science yang lebih luas, misalnya terkait pengelolaan sumberdaya laut, menurut Rizya, selalu didasarkan atas input dari masyarakat. “Kita hanya mendampingi, jadi semua inisiatif berasal dari mereka,” tegasnya.
Biasanya, ketika YKN berhasil memberikan contoh, masyarakat akan mengikuti. Dan sebagai langkah awal, YKAN memulainya dari skala yang kecil.
“Misalnya, pada saat melakukan pengamatan, kita ajak masyarakat yang mau dulu, deh. Yuk kita melakukan penelitian ini,” ucap Rizya.
Setelah itu, data yang dikumpulkan diolah sama-sama. “Ini loh, tampilannya seperti itu,” papar Rizya. Masyarakat kemudian menjadi paham betapa pentingnya kegiatan citizen science.
Contohnya di Kapatcol, Rajaampat, Papua. Setelah bertahun-tahun mendampingi, Rizya berhasil menunjukkan perbedaan nyata kepada masyarakat. Dan keberhasilan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi warga.
“Di Kapatcol, kami mendampingi masyarakat untuk melakukan Sasi Teripang. Di situ dilakukan sasi atau pembatasan pengambilan hanya di musim-musim tertentu saja”, tutur Rizya.
Saat musim sasi dibuka, masyarakat diajarkan untuk mencatat jumlah, jenis, ukuran, serta berat teripang yang ditemui. Uniknya, setelah sekian lama, ketika sasi kembali dibuka, mereka menemukan fenomena yang mengejutkan,
“Saat monitoring banyak ditemukan teripang yang sebelumnya tidak pernah ada”, kata Rizya.
Artinya, spesies yang jarang muncul di tahun-tahun sebelumnya, ternyata pada saat sasi, mereka hadir kembali. “Itu baru dari jenis speciesnya. Kemudian dari kelimpahannya juga semakin banyak. Jadi tekanan yang selama ini diberhentikan, artinya tidak ada pengambilan/ penangkapan, maka pada saat sasi dibuka, yang diperoleh juga semakin banyak”, papar Rizya.
Selain itu, Rizya menjelaskan bahwa saat musim sasi, pengambilan dibatasi untuk ukuran tertentu saja. “Jadi ukuran yang kecil-kecil dibawah 15 cm, itu tidak boleh diambil, dan semua mengawasi,” katanya.
Indonesia merupakan negara megadiversitas, karena memiliki keanekaragaman hayati yang begitu besar dan melimpah. Inilah mengapa masyarakat perlu terus dilibatkan. Dan disaat bersamaan, YKAN tidak bisa bekerja sendiri.
“Niat kita kesana bukan untuk menggurui, tapi bagaimana kita bersama-sama dengan mereka menjadikan hidup ini lebih indah, nyaman dan lebih bahagia”, ujar Rizya.
Di sisi lain, Indonesia memiliki daftar panjang spesies yang terancam punah. Jika pola pengelolaan SDA tidak melibatkan masyarakat lokal, maka kepunahan semakin cepat dan ini menjadi tantangan tersendiri.
Uniknya, jumlah peneliti dan penelitian keanekaragaman hayati di Indonesia masih terbatas. Karena itu, merurut Rizya, peran masyarakat sebagai citizen science sangat dinantikan.
Partisipasi itu sangat diperlukan, setidaknya membantu peneliti untuk mengumpulkan data. “Syukur-syukur jika data tersebut bisa mendorong upaya konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan”, pungkas Rizya. (Jekson Simanjuntak)