Presiden Jokowi menginstruksikan jajaran Kementrian Pertanian bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mencetak sawah baru di lahan gambut, Provinsi Kalimantan Tengah.
Hal ini diutarakan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto (28/04), untuk mengantisipasi kelangkaan pangan dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang yang menurunkan produksi beras nasional, selain karena karantina wilayah dan pembatasan sosial di banyak negara yang menghambat pasokan pangan dunia demi memutus rantai penyebaran korona.
Agenda ini, mendapatkan kritikan dan penolakan bertubi-tubi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, melihat kegagalan masa lalu di era Suharto dalam proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektar yang serampangan bahkan traumanya yang hingga kini begitu membekas.
Upaya mengubah kodrat alam gambut yang seharusnya basah menjadi kering untuk tanaman seperti padi menjadi penyebab utamanya. Gambut yang kering menjadi mudah terbakar, menyebar begitu cepat dan sering kali mengakibatkan bencana asap di Kalimantan dan Sumatra. Banyak kalangan menilai kebijakan ini dianggap terburu-buru, serba instan tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan kedepan.
Lantas pertanyaannya, bagaimana menyikapi krisis pangan dan di waktu yang bersamaan dapat mengoptimalkan lahan marjinal seperti gambut? Untuk menjawabnya perlu diperhatikan lahan gambut yang dikembangkan untuk tanaman pangan wajib hukumnya di lahan budidaya, yang memang pemanfaatannya untuk produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, bukan di lahan konservasi dan lindung yang difungsikan menjaga ekosistem.
Kedua diadakannya kajian secara mendalam dan perencanaan yang matang dalam menyeimbangkan manfaat ekonomi, sosial dan pengaruhnya terhadap ekosistem dalam pemanfaatan lahan gambut.
Secara praktik cara-cara yang diupayakan harus memenuhi prinsip berkelanjutan, dalam hal budidaya di lahan gambut sebagai lumbung pangan meliputi tiga aspek sederhana yaitu:
1. Ekologi
Ekologi gambut yang rentan terdegradasi perlu diatur ketinggian air di gambut agar tetap lembab dan basah guna mencegah kebakaran saat musim kemarau panjang, serta tidak mengeruk/menggali tanah secara massif untuk mencegah amblesan/subsiden gambut terlalu dalam.
2. Sosial-Masyarakat
Perlibatan dan pemberdayaan masyarakat setempat/adat adalah salah satu kunci kesuksesan paling efektif, ini dikarenakan peran masyarakat yang tinggal dan bersentuhan langsung dengan gambut mampu andil dalam mengembangkan tanaman pangan di lahan gambut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan berbasis komunitas dan partisipatif lokal.
3. Praktik Pertanian.
Sifat gambut yang masam dan tingkat kesuburan yang rendah merupakan tantangan tersendiri dalam menumbuhkan tanaman pangan termasuk mencetak sawah, penyesuaian bibit lokal, pencampuran mineral atau unsur hara lain serta meminimalisir penggunaan kimia sebagai pupuk dan pembasmi hama adalah prioritas demi melanggengkan keberlanjutan baik produktifitas maupun ketahanan
ekosistem lahannya.
Ketiga aspek tadi tidak hanya berdiri sendiri namun juga diperlukan sarana dan prasarana pendukung maupun pendampingan intensif terhadap masyarakat dalam mempraktikan budidaya tanaman pangan di lahan gambut.
Berbagai inisiasi selama ini telah dibangun oleh masyarakat maupun pemerintah daerah dalam mewujudkan kemandirian pangan lokal dari pemanfaatan lahan gambut, dan terbukti tetap memperhatikan kelestarian ekologis gambut, tidak harus padi namun juga penyesuaian tanaman asli dan adaptif terhadap kondisi gambut dengan minimum input eksternal, seperti sagu yang terkenal cocok dengan hampir semua kondisi lahan termasuk gambut tanpa perlakuan khusus.
Sejatinya agenda pemerintah menjadikan lahan gambut sebagai lumbung pangan perlu diawasi dan tetap memperhatikan dampak sosial-ekologis yang ditimbulkan agar kegagalan masa lalu tidak terulang.
*Penulis saat ini aktif di Tay Juhana Foundation dan berdomilisi di Jakarta.
–>