Saat Pandemi, Emisi CO2 Global Bisa Turun Hingga 7% Tahun Ini

Berita Lingkungan Corona Corona Virus Covid-19 Emisi CO2 Global Environmental News News Pandemi Perubahan Iklim Terkini

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Sekelompok ilmuwan menuliskan laporannya pada jurnal Nature Climate Change yang terbit pada 19 Mei 2020. Mereka mencatat jika kondisi mobilitas dan kegiatan ekonomi di masa pandemi terus bertahan hingga pertengahan Juni, maka penurunan emisi menjadi sekitar 4%. Namun jika beberapa batasan tetap diterapkan di seluruh dunia, hingga akhir tahun, jumlahnya menjadi sekitar 7%.

“Dampak lockdown pada turunnya emisi tahunan ini diproyeksikan menjadi sekitar 4% hingga 7% dibandingkan dengan 2019, tergantung pada durasi lockdown dan tingkat pemulihan.” ujar Pemimpin analisis dari Universitas East Anglia, Profesor Corinne Le Quéré menyebut
Penurunan emisi ini dinilai Corinne sebanding dengan jumlah pengurangan emisi tahunan yang dibutuhkan dari tahun ke tahun, selama beberapa dekade untuk mencapai target iklim Perjanjian Paris PBB.
Profesor Corinne Le Quéré juga menemukan emisi harian bakal merosot hingga 17% atau 17 juta ton karbon dioksida secara global selama lockdown mulai diberlakukan sejak awal April lalu. Angka itu dihasilkan setelah dibandingkan dengan tingkat rata-rata harian pada 2019.
Penelitian itu didasarkan atas kebijakan terkait lockdown di 69 negara, yang dianggap bertanggung jawab atas 97% emisi CO2 global.
Pada puncak lockdown, daerah yang bertanggung jawab atas 89% emisi CO2 global diketahui menerapkan beberapa pembatasan. Corinne memperkirakan, total perubahan emisi dari pandemi berjumlah 1048 juta ton karbon dioksida (MtCO2) hingga akhir April.
Dari jumlah itu, perubahan terbesar ada di China, di mana saat lockdown dimulai penurunan terjadi sebesar 242 MtCO2, kemudian di AS yakni sebesar 207 MtCO2, Eropa sebanyak 123 MtCO2, dan India 98 MtCO2.
“Data itu mengindikasikan seberapa besar masing-masing sektor ekonomi dipengaruhi oleh pandemi ini kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan emisi CO2 fosil untuk tiap- tiap negara, setiap harinya dari Januari hingga April 2020”, papar Corinne Le Quéré
Lebih jauh, Corinne mengistilahkan, bahwa produksi emisi karbon dioksida saat ini seakan merujuk pada posisi serupa di tahun 2006 silam. Namun, ia juga menilai analisis itu tidak hanya menunjukkan respons sosial saja, tanpa adanya peningkatan kesejahteraan dan atau infrastruktur pendukung. Artinya, tanpa disertai aksi nyata, pengurangan emisi yang lebih dalam ataupun berkelanjutan, tidak akan pernah mencapai emisi bersih nol.
Karena itu, Corinne mengimbau para pemimpin dunia untuk mempertimbangkan perubahan iklim ketika merencanakan respons ekonomi mereka setelah COVID-19. Tentu saja, karena hal itu akan memengaruhi tingkat emisi CO2 global selama beberapa dekade mendatang.
Sejauh ini, emisi dari transportasi darat, seperti perjalanan dengan mobil, menyumbang hampir setengah (43%) dari penurunan emisi global selama puncak lockdown pada tanggal 7 April. Sedangkan emisi dari industri dan pembangkit listrik bersama-sama menyumbang 43% dari penurunan emisi global harian.
Di sisi lain, penerbangan –sebagai sektor ekonomi yang paling terdampak lockdown– hanya menyumbang 3% dari emisi global, atau 10% dari penurunan emisi selama pandemi. Sedangkan meningkatnya aktivitas dari orang-orang yang bekerja di rumah hanya sedikit diimbangi oleh penurunan emisi dari sektor lain.
Jika ditilik rata-rata, masing-masing negara mengalami penurunan emisi rata-rata hingga 26% di saat puncak lockdown.
“Lockdown telah menyebabkan perubahan drastis dalam penggunaan energi dan emisi CO2. Penurunan ekstrem ini cenderung bersifat sementara, karena tidak mencerminkan perubahan struktural dalam sistem ekonomi, transportasi, atau energi,” papar Corinne Le Quéré.
Corinne Le Quéré juga menyebut, peluang untuk membuat perubahan yang nyata, tahan lama, dan lebih tangguh terhadap krisis di masa depan sangat mungkin dilakukan. Caranya, dengan menerapkan paket stimulus ekonomi yang juga membantu memenuhi target iklim, terutama untuk mobilitas, yang diketahui menyumbang setengah dari penurunan emisi selama lockdown.
“Misalnya di kota dan pinggiran kota mendukung gerakan jalan kaki dan bersepeda, dan penggunaan sepeda listrik, yang kesemuanya itu jauh lebih murah dan lebih baik untuk kesejahteraan dan kualitas udara daripada membangun jalan dan menjaga jarak sosial,” pungkas Le Quéré.
Sementara itu, Profesor Rob Jackson, Ketua Global Carbon Project dari Stanford University yang juga menjadi penulis pendamping analisis ini mengatakan, “Penurunan emisi sangat besar tetapi menggambarkan tantangan untuk mencapai komitmen iklim Paris kita”
Karena itu, Rob Jackson menekankan tentang perubahan sistemik melalui energi hijau dan mobil listrik, dan bukan pengurangan yang sementara dari perilaku yang dipaksakan.
Dalam makalah ilmiah itu, para penulis mengingatkan para pemimpin negara agar tidak terburu-buru memulai paket stimulus ekonomi, sehingga mengakibatkan emisi di masa depan menjadi lebih tinggi. Termasuk dengan menunda New Green Deals ataupun melemahkan standar emisi.
Sebelumnya, makalah tersebut dipublikasikan di Nature Climate Change dengan judul ‘Temporary reduction in daily global CO2 emissions during the COVID-19 forced confinement’. Sejumlah peneliti terlibat, seperti: Corinne Le Quéré, Robert B. Jackson, Matthew W. Jones, Adam J. P. Smith, Sam Abernethy, Robbie M. Andrew, Anthony J. De-Gol, David R. Willis, Yuli Shan, Josep G. Canadell, Pierre Friedlingstein, Felix Creutzig, Glen P. Peters.
Penelitian ini telah mendapat dukungan dari Royal Society, the European Commission projects 4C, VERIFY and CHE, the Gordon and Betty Moore Foundation, dan the Australian National Environmental Science Program. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *