Cerita dari Desa Patemon, Tak Biarkan Air Mengalir Sampai Jauh

Air Berita Lingkungan Desa Petemon Environmental News Jawa Tengah Lingkungan Hidup News Pengelolaan Air Salatiga Terkini
Oleh : Jekson Simanjuntak.
Joko Waluyo, warga Desa Patemon tak pernah lupa peristiwa kekeringan yang melanda kampungnya di tahun 2012. Saat itu, Patemon, menjadi salah satu desa di Salatiga dengan kekeringan terparah.
Ia terpaksa berhemat air, untuk keperluan memasak dan juga sapi-sapinya. Untuk memenuhi kebutuhan warga, PDAM Kota Salatiga mendatangkan 6-7 mobil tangki setiap harinya.  Sementara untuk keperluan mandi, Joko terpaksa mendatangi mata air Senjoyo yang tak jauh dari rumahnya
Minimnya air di Desa Patemon telah memunculkan mitos, bahwa kampung itu akan mengalami kekeringan dan sumber air tidak mungkin ditemukan.
 “Dulu orang-orang tua bilang mata airnya sudah tertutup. Sepanjang hidup saya, pengalaman bikin sumur pasti tidak keluar airnya. Tapi apa itu kebetulan atau tidak, tahun ini, ternyata keluar airnya”, ujar Joko sumringah.
Pria yang juga menjadi tokoh masyarakat Desa Patemon itu menolak diam. Bersama kepala desa dan perangkatnya, mereka sepakat membangun sumur resapan, setelah LSM Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyibah (SPPQT) dan USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH Plus) menawarkan pembuatan sumur resapan.
“Kami ingin memberi contoh dan menjadi contoh bagi masyarakarat. Kami pun membuat sumur resapan di rumah masing-masing “, kata Joko.
Bagi Joko, sumur resapan memiiki banyak manfaat. “Seperti untuk mengurangi banjir, kedua untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama mata air”, terang Joko.
Kepala Desa Patemon, Puji Rahayu menyebut upaya membangun sumur resapan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak suka duka yang harus dilalui.
“Sumur resapan berawal di tahun 2014. Disitu banyak suka dukanya. Kalau sukanya mungkin belum ada, tetapi dukanya luar biasa”, ujar Puji Rahayu yang memimpin Desa Patemon untuk ketiga kalinya.
Bersama aparat dan perangkat desa lainnya, Puji Rahayu berdiskusi tentang bantuan sumur resapan. Saat itu, Puji tidak berpikir panjang.
“Saat itu apa manfaatnya, saya tidak berfikir sampai ke situ”, kata Puji.
Belakangan muncul masalah terkait ganti rugi bagi warga yang tanahnya dibangun sumur resapan. Saat itu, warga belum mengetahui manfaat sumur resapan dan penolakan sempat terjadi.
“Karena tidak ada ganti rugi, kami memberikan contoh dengan membangun di rumah kami sendiri’, kata Puji.
Dengan sumur resapan Puji menyadarkan warganya tentang manfaaat sumur dalam menjaga ketersediaan air.
“Untuk penyadaran, di setiap event, kami memberikan informasi, sosialisasi tentang apa itu sumur resapan dan manfaatnya” katanya.
Lambat laun, masyarakat memahami pentingnya sumur serapan. “Alhamdulillah, saat ini masyarakat banyak yang mendaftar untuk dibangunkan sumur resapan di lingkungannya”, kata Puji.
Perdes Tata Kelola Air
Dalam setahun terakhir, Puji Rahayu menyebut Desa Patemon telah membangun sedikitnya 315 unit sumur resapan, dari yang sebelumnya hanya 296 sumur. Peningkatan itu tak lepas dari bantuan sejumlah pihak, termasuk donasi swasta.
“Namun meminta bantuan perusahaan juga tidak gampang. Karena untuk  mencari dana sumur resapan dibutuhkan payung hukum”, kata Puji.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan panjang antara aparat desa dan masyarakat, kemudian disepakati membuat Peraturan Desa (Perdes). “Peraturan Desa atau Perdes  No3 tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air” ungkap Puji.
Dalam Perdes ditetapkan bahwa setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan wajib membangun sumur resapan secara swadaya. Bahkan perusahaan yang mendirikan pabrik di Patemon juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik.
Berkat Puji, program sumur resapan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPMDes) 2013-2019. Puji mencanangkan program 1000 sumur resapan harus terbangun di desa Patemon.
Desa Patemon, yang terletak di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah tak lagi mengalami kekurangan air setelah sumur resapan dibangun pada 2014.
Bagi Joko Waluyo, keberhasilan itu tak bisa dilepaskan dari Perdes yang mereka gagas. “Ketika setiap pengguna bangunan diwajibkan membuat lubang yang bertujuan untuk memasukkan air tanah, maka perubahan besar terjadi”, kata Joko.
Namun, keluarnya Perdes tak otomatis membuat masalah berhenti.  Pasalnya, dari 330 sumur resapan yang ada, tidak semuanya berfungsi normal.
“Banyak sumur resapan yang tidak diperhatikan. Ada yang diatasnya didirikan bangunan, bahkan berubah menjadi warung”, ujar Joko.
Karena itu, menurut Joko, sosialisasi pentingnya sumur resapan harus terus dilakukan. Termasuk dengan mengingatkan warga bahwa sumur resapan mampu memenuhi kebutuhan air bagi 12 -18 KK.
“Contohnya di kampung saya, ada sumur dengan kedalaman 37 meter yang airnya tak pernah berkurang setelah warga bangun sumur resapan. Tahun 2015, sumur itu mampu menghidupi 12 sampai 18 KK”, ungkap Joko.
“Kemarin kemarau panjang, itu sumur masih bisa diambil airnya. Kalau pagi masih terus mengalir meskipun kecil”, katanya.
Seletah melihat manfaat sumur resapan, Joko tak jemu-jemu mengingatkan untuk membuat sumur Sapan. “Supaya air hujan tidak menjadi musibah, tetapi air hujan harus menjadi berkah”, katanya
“Kita jangan meninggalkan air mata kepada anak cucu kita, tapi kita harus meninggalkan mata air. Ini semboyan kami”, ujar Joko.
Berharap Regulasi Nasional
Di awal-awal pembangunan sumur resapan, tak sedikit warga Patemon yang menolak. Namun seiring sosialisasi, warga menjadi sadar. Bantuan swasta juga berdatangan untuk membangun sumur resapan.
“Sekarang antre yang mau bantu membuat sumur resapan. Jadi sekarang jika ada yang bilang, saya bantu 100 sumur resapan, pasti kami terima”, ujar Joko Waluyo, tokoh Desa Patemon.
Desa Patemon kini menjadi ikon sumur resapan. Joko tak menampik ketika banyak kunjungan, baik dari Jawa maupun luar Jawa untuk belajar sumur resapan.
Desa Patemon yang meraih juara tiga nasional untuk Program Tanaman Obat Keluarga (Toga) tahun 2013 juga menyisihkan dana desa untuk membangun 2 unit sumur resapan setiap tahunnya.
Joko yang telah membangun 2 sumur resapan di pekarangan rumahnya menyebut regulasi terkait sumur resapan saat ini perlu diperkuat. Karena menabung air, bagi Joko adalah demi anak cucu kelak.
“Karena itu kami meminta tolong, agar ini menjadi satu regulasi yang benar. Dan ada payung hukum yang jelas secara nasional. Toh, tdak ada ruginya”, ujar Joko.
Ketika Desa Patemon membangun sumur resapan dengan desain baru, ukuran 1.5m x 1.5m dengan kedalaman 3.6m, dan menghasilkan 8 meter kubik air, hal itu perlu diseberluaskan. Joko berharap, regulasi secara nasional mampu menjangkau desa-desa yang kerap mengalami kekeringan air.
“Saya dengar di Randuacir setiap kemarau kekurangan air. Jadi adanya kebijakan untuk membangun sumur resapan secara nasional, maka kekeringan tidak terjadi”, kata Joko.
Sementara itu, Kepala Desa Puji Rahaya menilai pemerintah pusat ikut bertanggungjawab mengembangkan program sumur resapan. Puji juga merasa beruntung, ketika setiap tahunnya  ada 2 perusaahan yang membantu pembuatan sumur resapan.
“Kasihan desa-desa yang memiliki keerbatasan dana untuk membangun sumur resapan. Padahal sumur resapan penting untuk menabung air”, katanya.
Puji juga mengimbau masing-masing desa untuk mengeluarkan Perdes tentang sumur resapan. Hal itu penting, agar dana desa bisa disalurkan untuk membangun sumur resapan.
Ketika dalam 5 tahun terakhir, Desa Patemon tak lagi meminta droping air dari PDAM Kota Salatiga, kehadiran sumur resapan telah memberi manfaat nyata. Kabag Teknik PDAM Kota Salatiga, Ilham Sulistiyana menyebutnya sebagai harapan baru, dimana pemerintah pusat juga harus terlibat  mengamankan sumber mata air.
“Kita di PDAM tidak bisa berbuat banyak untuk ini, sehingga sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat”, ujar Ilham.
Lokasi operasional PDAM Kota Salatiga yang membentang melintasi 2 wilayah, yaitu Kabupaten Salatiga dan Kabupaten Semarang, menurut Ilham membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan itu kewenangannya pemerintah pusat.
Mata Air Senjoyo
Pembangunan 315 sumur resapan di Desa Patemon, telah meningkatkan debit mata air Senjoyo yang letaknya tak jauh dari desa itu. PDAM Kota Salatiga mencatat debit Senjoyo mengalami peningkaan dari 800 liter/detik di tahun 2015 menjadi 1.100 liter/ detik di tahun 2017. Debitnya bahkan mendekati data debit di tahun 1998 sebesar 1.200 liter per detik.
“Artinya, sempat terjadi penurunan debit sekitar 25% dalam kurun waktu 13 tahun. Di musim kemarau, penurunan debitnya bahkan mencapai 40%”, ujar Ilham Sulistiyana, Kabag Teknik PDAM Kota Salatiga.
Mata air Senjoyo merupakan salah satu sumber air baku utama PDAM Kota Salatiga. Mata air itu terletak di kaki Gunung Merbabu dengan wilayah resapan (recharge area) membentang ke arah lereng tenggara dengan variasi tata guna lahan berupa permukiman, kebun rakyat, sawah, tegalan, dan ladang di bagian hulu.
Wilayah resapan mata air Senjoyo secara administratif terdapat di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Di Kabupaten Semarang, wilayah resapan Mata Air Senjoyo mencakup Desa Tingkir Tengah, Bener, Karangduren, Butuh, dan Patemon di Kecamatan Tengaran serta Desa Jetak di Kecamatan Getasan.
“Sedangkan di Kota Salatiga, wilayah resapan mata air Senjoyo mencakup Desa Noborejo dan Randuacir di Kecamatan Argomulyo”, kata  Ilham.
Berangkat dari kondisi yang terjadi di mata air Senjoyo, program USAID IUWASH terdahulu bekerja sama dengan Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI) dan LSM Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyibah (SPPQT) memprakarsai konservasi sumber daya air tanah melalui pembangunan sumur resapan.
Pada tahun 2014, pembangunan sumur resapan dilakukan di 6 lokasi di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Enam lokasi itu meliputi Kelurahan Noborejo, Desa Gogik, Candirejo, Butuh, Jetak, dan Patemon.
“Sampai tahun 2017, 954 sumur resapan telah berhasil dibangun di keenam lokasi tersebut yang dampak positifnya telah dapat meningkatkan debit mata air Senjoyo”, ujar Jefry Budiman, Regional Manager Jawa Tengah, USAID IUWASH PLUS.
Menurut Jefry, sumur resapan berfungsi menangkap, menampung, dan meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menambah jumlah cadangan air tanah di wilayah resapan mata air Senjoyo yang pada akhirnya meningkatkan dan menambah debit mata air.
“Ketika ada kajian kerentanan mata air dengan rekomendasi membangun sumur resapan, maka hal itu telah melestarikan sumber air yang tidak hanya berbasis wilayah”, kata Jefry.
Sementara bagi PDAM Kota Salatiga, pembuatan sumur resapan tidak akan berhasil tanpa pelibatan semua pihak. “Tanpa komunikasi yang baik, kegiatan sumur resapan tidak akan berhasil, karena itu, kami sangat bersyukur sekali”, tegas Ilham.
Sebelumnya, kondisi mata air Senjoyo cukup memprihatinkan. Ilham menjelaskan jika mata air Senjoyo memiliki 3 bangunan sebagai penangkap air yang dibangun pada tahun 1921, 1973 dan 1990 dengan kapasitas 200 liter/ detik.
“Saat kita mengoperasionalkan, pemanfaatannya tak lebih dari 145 liter/detik. Ini sangat-sangat ironis, mengingat bangunannya telah ada sejak jaman belanda”, kata Ilham.
Lalu, seiring program sumur resapan, perubahan mulai terjadi di tahun 2015. “Alhamdullilah di tahun 2015 kita sudah mulai memanen airnya.  2016 – 2018, airnya melimpah”, kata Ilham.
Kerja Keras PDAM Kota Salatiga
PDAM Kota Salatiga telah membangun sedikitnya 854 titik sumur resapan di kawasan mata air Senjoyo pada tahun 2018, dan tahun 2019 berhasil membuat 9 sumur resapan.
“Tahun ini (2020), kami menganggarkan 10 sumur resapan baru, sebagai upaya melestarikan mata air Senjoyo”, ujar Ilham Sulistiyana, Kabag Teknik PDAM Kota Salatiga.
Kabag Teknik PDAM Kota Salatiga, Ilham Sulistiyana memberikan pemaparan  Foto : Jekson Simanjuntak/Beritalingkungan.com
Sementara terkait biaya pemeliharaan sumur resapan, Ilham menyebut ada kolaborasi dengan Kelurahan Patemon, agar sumur resapan tetap terjaga.
“Jika membangun seberapa banyak pun, namun sumur resapan tidak dirawat, maka menjadi sia-sia dan mungkin akan berubah fungsi”, papar Ilham.
Selain sumur resapan, PDAM Kota Salatiga juga melakukan kampanye peduli lingkungan bersama komunitas pendaki Merbabu. “Kita meminta setiap pendaki menanam 1 pohon di lereng merbabu, supaya pohon-pohonnya bertambah untuk menangkap air”, kata Ilham.
Bersama Pemkab Semarang, PDAM juga terlibat aktif di Forum Peduli Mata Air Senjoyo, yang setiap saat bekerja untuk melestarikan mata air. “Bersama stakeholder, mulai dari walikota, DPRD, kita disuport untuk mengamankan mata air, dari sisi kualitas dan kuantitasnya”, katanya.
Kini, ketika PDAM Kota Salatiga telah bekerjasama dengan banyak pihak, termasuk dengan IUWASH PLUS dalam proyek konservasi air, hasilnya mulai terlihat.
“Hitung-hitungan kami, jumlahnya resapan air saat hujan kini mencapai 68,32 liter perdetik”, terang Ilham.
Program konservasi melalui sumur resapan telah berhasil menjaga ketersedian air tanah, sehingga kebutuhan air bersih masyarakat bisa terus terjaga. Pola-pola pembangunan sumur resapan juga terbukti efektif dilakukan, karena perawatannya terbilang mudah.
Jika sebelum ada sumur resapan, debit air di Senjoyo terus berkurang, kini debitnya naik secara perlahan. PDAM Kota Salatiga menyadari bahwa dukungan terbesar datang dari Desa Patemon, seiring kesadaran masyarakat, bahwa air hujan harus ditampung, jangan dibiarkan pergi sampai jauh.***

–>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *