Oleh : Jekson Simanjuntak
Pemerintah Kabupaten Wakatobi terus berkomitmen melibatkan masyarakat hukum adat dalam menangani permasalahan sampah. Harapannya, sampah yang ada di kawasan taman nasional itu mampu dikendalikan dengan baik.
Selama ini, sampah plastik sekali pakai telah menjadi musuh bersama. Bersama masyarakat adat, pemerintah berkeinginan agar sampah plastik bisa dikelola dan dikendalikan secara baik.
“Khusus sampah plastik, bisa disaksikan, kita tak lagi gunakan kemasan plastik. Ini sudah ada aturannya. Artinya, pemerintah hadir memberi contoh kepada masyarakat “, ujar Bupati Wakatobi Arhawi saat ditemui di kantornya.
Masyarakat di pulau-pulau Wakatobi sangat menghargai kearifan lokal. Keberadaan komunitas adat sangat dihormati, karena merupakan bagian dari identitas mereka.
“Harapannya, ketika masyarakat adat dilibatkan, maka mereka ikut menyukseskan program pengendalian sampah yang ditetapkan pemerintah”, ujar Arhawi.
Selama ini, pelibatan masyarakat adat telah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) yang didalamnya terkandung tanggungjawab dan apresiasi pemerintah daerah. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menaruh perhatian besar terhadap keberadaan masyarakat adat.
“Setiap tahunnya masyarakat adat mendapat bantuan dari KLHK untuk mengelola sampah. Besarnya 50-70 juta/ komunitas adat.”, ungkap Arhawi.
Menurut Arhawi, masyarakat Wakatobi sangat menghargai komunitas adat Sementara Perbup hanya mengatur tentang pelibatan masyarakat adat yang mencakup pengawasannya saja.
“Pengendalian sampah, sebenarnya tidak masuk wilayah hukum adat, tetapi adanya peraturan bupati tentang pengendalian sampah, mensyaratkan pemerintah dan masyarakat hukum adat harus bekerja bersama”, ujar Arhawi.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi, Jaemuna menyebut masyarakat hukum adat memang memiliki aturan dan sanksi tersendiri. Namun masyarakat adat mampu bersinergi dengan pemerintah dalam pengelolaan sampah.
Bahkan, dalam pengelolaan sumber daya laut, khususnya yang menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jaemuna menyebut kehadiran masyarakat hukum adat sangat membantu. Pelibatan masyarakat hukum terbukti penting, sebab saat tetua adat berbicara atau menyampaikan sesuatu, maka masyarakatnya akan patuh.
“Karena adat sangat dihargai masyarakat, sehingga apapun yang disampaikan untuk kebijakan bersama pada umumnya diterima dengan baik,” katanya.
Insenerator di setiap desa
Pemerintah Kabupaten Wakatobi terus berupaya menyelesaikan persoalan sampah di pulau-pulau kecil yang letaknya berjauhan. Salah satunya dengan menghadirkan teknologi tepat guna.
“Di tingkat desa sudah ada alatnya. Masyarakat tidak perlu lagi membuang sampah ke pantai. Sementara sampah plastik masih bisa diolah kembali”, ujar Arhawi.
Teknologi yang dimaksud Arhawi adalah insenerator atau alat pembakar sampah. Setidaknya sudah ada 2 insenerator yang disiapkan untuk memudahkan masyarakat mengelola sampah mereka.
“Masing-masing ada di Liya dan Tomia. Saya juga sudah minta kementerian agar program ini dilanjutkan”, katanya.
Menurut Arhawi, insenerator dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran pada suhu tertentu. Nantinya setiap desa akan memiliki insenerator, dimana dananya disiapkan dari APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk Dinas Lingkungan Hidup Kab. Wakatobi.
“Jadi dinas LH disamping mengendalikan sampah, juga mendapat dukungan kendaraan operasional. Kendaraan itu akan mengangkut sampah di setiap pelosok kampung” ujar Arhawi.
Kebijakan ini penting dilakukan, sebab menjadi tugas pemerintah bersama-sama masyarakat, agar pengelolaan sampah plastik bisa dikendalikan dengan baik. Apalagi Wakatobi termasuk dalam 10 destinasi prioritas nasioaal yang banyak dikunjungi wisatawan.
4 Hektare untuk TPA Sampah
Selain menyiapkan insenerator dan kendaraan pengangkut sampah, Pemerintah Kabupaten Wakatobi juga menyiapkan empat hektare lahan untuk dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Ini merupakan upaya memaksimalkan pengelolaan sampah di Wakatobi.
Tempat pengelolaan sampah akan dibangun di tiga pulau besar, yakni Kaledupa, Tomia dan Binongko. Masing-masing luasnya 1 hektare di Kaledupa, 1,5 hektare di Tomia dan 1,5 hektare di Binongko.
“Sementara untuk Pulau Wangi-wangi selaku ibukota kabupaten telah beroperasi sejak lama”, ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi Jaemuna saat ditemui di kantor bupati.
Lahan-lahan tersebut disiapkan sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam menangani sampah, termasuk sampah di laut yang ditangani bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi.
“Tentunya dengan itu terumbu karang di Wakatobi tumbuh dengan baik, tidak terganggu oleh sampah yang menempel,” ujarnya.
Tak hanya menyiapkan lahan, komunikasi dengan para camat dan lurah juga dimaksimalkan. Pasalnya, Dana Desa juga mencakup kegiatan pengelolaan lingkungan di wilayah desa.
“Kami hanya berkoordinasi agar pengelolaan sampah di lingkungan masing-masing diarahkan untuk ditangani oleh desa dan kelurahan,” kata Jaemuna
Khusus untuk Pulau Wangi-wangi, menurut Jaemuna telah dilakukan bersama-sama antara Dinas Lingkungan Hidup dan pemerintah desa serta lurah. Di samping itu, masyarakat juga dikenakan iuran sampah yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya.
Masyarakat Kian Kritis
Masyarakat Wakatobi sangat kritis menyikapi penanganan sampah yang dilakukan pemerintah. Pemerintah menganggapnya sebagai masukan yang positif, sebagai bagian dari fungsi pengawasan, mengingat Perbup soal sampah telah lebih dahulu ada.
“Saat ini, daya kritis/ kontrol masyarakat semakin tinggi. Sehingga 1 tumpukan sampah saja, langsung dipublish ke media, seolah-olah kita tidak peduli terhadap sampah” ujar Bupati Wakatobi, Arhawi.
Padahal menurut Arhawi ketika ia melakukan perjalanan dinas ke Kendari atau Buton Utara, seolah-olah hanya Wakatobi yang peduli terhadap sampah plastik. Sementara, di teluk Kendari yang merupakan ibukota provinsi, yang juga ikon provinsi Sulawesi Tenggara Arhawi kerap mengeluhkan sampah yang berserakan.
“Kenapa jika ada sampah sedikit saja di Wakatobi, langsung menjadi sorotan. Padahal posisi Wakatobi ada di tenggaranya Sulawesi Tenggara, dimana kita menerima kiriman sampah dari berbagai daerah setiap tahunnya”, papar Arhawi.
Karena itu, Arhawi menyebut pengendalian sampah membutuhkan dana dan tenaga yang besar. Itu sebabnya, kerjasama dengan 17 kabupaten/ kota se Sulawesi Tenggara perlu digiatkan terkait penanganan sampah.
“Kemarin rilis terakhir tentang sampah plastik di dunia, kita masuk urutan kedua setelah China. Kalo cuma Wakatobi saja yang peduli terhadap sampah, maka gimana caranya ini, semua harus terlibat”, kata Arhawi.
Lebih lanjut, Arhawi menyebut perbup tentang sampah seharusnya memiliki landasan yang lebih besar, yakni Peraturan Daerah (Perda). Perda seharusnya tidak bertentangan dengan aturan dibawahnya (baca: Perbup), sebagaimana arahan Presiden Jokowi.
Khusus di Wakatobi, Arhawi menilai Perbub yang dikeluarkannya telah menghasilkan kesadaran masyarakat terhadap pengendalian sampah.
“Lihat saja, di jalan-jalan hampir tidak ada sampah, kan? Masyarakat sudah sadar, bahwa sampah bukan saja untuk kepentingan Wakatobi semata, tetapi untuk kepentingan Indonesia dan dunia”, pungkasnya.***
–>