JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Setelah Selasa (13/11) lalu belasan warga Papua dan Papua Barat datangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mereka melakukan unjuk rasa di depan Indofood Tower Jakarta. Mereka menuntut perusahaan, yang menurut mereka telah merusak lingkungan, untuk segera menghentikan aktivitasnya dan angkat kaki dari tanah adat mereka.
Dalam orasinya, warga dari Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, Veronika Manimbu mengatakan bahwa hutan adalah ibu mereka, yang memberi mereka makan.
“Tidak ada tanah Papua yang kosong. Semua ada yang memiliki. Saya menuntut agar perusahaan yang sekarang ada di Lembah Kebar, segera cabut!” tambah Veronika.
Perusahaan yang mereka maksud antara lain PT Bintuni Agro Prima Perkasa di Tambrauw Papua Barat, PT Korindo Abadi di Boven Digoel Papua, dan PT Mega Mustika Plantation di Sorong Papua Barat.
Menurut Pendeta Magdalena Kafiar, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, hadirnya perusahaan-perusahaan di tanah Papua tidak memberi manfaat, namun justru merugikan masyarakat adat.
“Hadirnya sebuah perusahaan, baik itu untuk sawit atau jagung katanya mendatangkan kesejahteraan bagi warga. Tapi kenyataannya kami tidak mendapatkan kesejahteraan itu. Yang kami rasakan hanya penderitaan dan intimidasi,” kata Pendeta Magdalena.
Usai berorasi, seluruh pengunjuk rasa menyanyikan lagu Mars Papua berjudul “Di sana Pulauku” dan menjabat tangan seluruh aparat kepolisian yang menjaga aksi itu.
“Kami akan terus melawan dengan cara-cara yang terhormat,” kata Paulus Ajombuani, Ketua Suku Mpur dari Papua Barat.
Uang 100 juta, dikembalikan
Dalam konferensi persnya, salah satu tokoh di Papua Barat, Samuel Ariks, mengaku ia dan masyarakat adat telah ditipu. Kata Samuel, awalnya mereka (perusahan) meminta izin menanam jagung di padang rumput namun ternyata meluas hingga ke hutan adat. Perusahaan juga disebut telah membabat hutan untuk pembukaan lahan. Samuel juga mengaku masyarakat adat diberi uang tali asih bernilai ratusan juta rupiah. Mereka tidak mengerti apa arti dari “tali asih” tersebut.
“Kami curiga sehingga kami simpan uangnya. Setelah tahu mereka menipu, saya kembalikan uang itu kepada mereka. Jika itu adalah uang untuk membeli tanah adat kami, maka kami kembalikan uangnya, mereka harus cabut dari tanah kami,” tambah Samuel.
Ketua WALHI Papua, Maurits Aiesh Rumbekwan, mengatakan perampasan tanah adat sudah ada sejak dahulu dan belum juga terselesaikan. “Apa yang terjadi di tanah Papua saat ini masih sama dengan yang terjadi tahun 1980. Jadi perampasan tanah itu masih ada. 72 tahun masyarakat adat hidup di bawah ketidakadilan. Sebenarnya yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah,” katanya.
Di situs change.org, seorang pemuda asal Tambrauw Januarius Sedik memulai petisi www.change.org/DemiTanahAdat sejak September tahun lalu. Selama setahun tersebut, jumlah tanda tangan yang terkumpul sekitar 20 ribu.
“Namun setelah kami datang kemari dan bertemu dengan kementerian maupun pihak terkait, jumlah penandatangan naik drastis menjadi lebih dari 61 ribu orang. Artinya, netizen mendukung penuh perjuangan kami.” kata Januarius. (Wan)
–>