Oleh : Joko Tri Haryanto*
Dengan posisi dilintasi khatulistiwa, Indonesia disinari matahari selama 365 hari secara sempurna. Alhasil, keanekaragaman hayati di Indonesia menjadi salah satu yang paling kaya di dunia.
Bangsa kita juga dikenal sebagai ring of fire karena banyaknya gunung berapi aktif yang secara tidak langsung membantu menyuburkan bumi Nusantara.
Ketika isu pemanasan global sedang mengemuka, Indonesia kemudian memegang peranan terpenting dalam menangkal dampak-dampak tersebut melalui upaya mencegah laju deforestasi dan degradasi hutan yang dianggap menjadi sumber utama meningkatnya laju emisi gas rumah kaca (GRK).
Penulis Joko Tri Haryanto |
Meningkatnya isu pemanasan global, sekiranya memiliki dampak positif bagi Indonesia jika dikaitkan dengan upaya menjaga kesinambungan berbagai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah baik migas, mineral/ non-mineral maupun logam lainnya. Terlebih di era saat ini, pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi ketergantungan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) terhadap penerimaan berbasis SDA melalui pengembangan berbagai industri jasa, pariwisata, serta perdagangan dan manufaktur.
Selain ratifikasi tujuan pembangunan berkelanjutan global (SDG), komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak pemanasan global diregulasikan secara nasional melalui penerbitan Perpres terkait Rencana Aksi Nasional Mitigasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di tahun 2011 serta RAN Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (API) di tahun 2014.
Di dalam Perpres tersebut dinyatakan target penurunan emisi GRK nasional hingga 26% dengan pendanaan sendiri (APBN/APBD) serta 41% di tahun 2020, jika dibantu pendanaan internasional. Pada tahun 2016, kerangka regulasi di dalam Perpres tersebut direvisi dalam mekanisme ratifikasi Paris Agreement yang menghasilkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia, dengan menambah target penurunan emisi menjadi 29% dan 41% di tahun 2030. Dan setiap tahun pemerintah kemudian menyampaikan secara resmi laporan kinerja realisasi penurunan emisi GRK kepada lembaga resmi PBB dalam kerangka UNFCCC.
Dibandingkan era pemerintahan sebelumnya, terdapat sedikit perbedaan di dalam strategi implementasinya. Jika di periode sebelumnya visi mengatasi persoalan pemanasan global diatasi dengan pendekatan fungsi lingkungan hidup (LH) secara mandiri, maka di periode saat ini strategi yang dikembangkan juga diselaraskan dengan visi dan misi pembangunan seperti yang tertuang di dalam Nawa Cita (9 agenda prioritas).
Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan tidak semata-mata berdasarkan isu LH saja, melainkan diperkuat melalui pendekatan infrastruktur ekonomi seperti misalnya: bagaimana upaya mengintegrasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan tema infrastruktur maupun beberapa isu-isu lainnya seperti tema gender, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pendekatan ini, pemerintah meyakini bahwa pembangunan dapat berjalan lebih berkesinambungan.
Untuk memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah juga berupaya untuk memastikan adanya governance yang kuat. Sebagai catatan, saat ini penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan merupakan kontributor utama atas tingkat emisi Indonesia.
Untuk itu pemerintah telah mempersiapkan seperangkat alat pencegahan awal melalui kewajiban penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di daerah untuk memastikan bahwa eksternalitas yang dihasilkan dapat diatasi.
Di sisi lain, dengan tetap memprioritaskan upaya konservasi terhadap area hutan lindung, lahan gambut, area hutan bakau, dan beberapa area lain dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, pemerintah juga telah mengeluarkan larangan atas kegiatan pembukaan hutan primer serta larangan untuk mengkonversi lahan gambut.
Green Sukuk
Sayangnya, masalah pendanaan masih selalu menjadi persoalan klasik. Banyak pihak, baik di level pemerintah pusat maupun daerah, selalu merasa bahwa komitmen masih terganjal kepada kebutuhan pendanaan yang masih kerap terjadi konflik maupun tidak tepat sasaran. Akibatnya beberapa pihak menganggap komitmen pemerintah masih terbatas di atas dokumen, belum sampai menyentuh aspek implementasi di lapangan.
Meskipun sejujurnya semua langkah dan kebijakan juga sudah diselaraskan mulai dari upaya memasukkan isu keberlanjutan dan dukungan terhadap pelestarian lingkungan hidup dan SDA di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), penguatan alokasi belanja pemerintah hingga penyelarasan alokasi belanja Transfer ke Daerah.
Berbagai skema pendanaan inovatif juga dilirik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH). Di dalam regulasi tersebut diatur segala hal yang terkait skema green banking, green sukuk, green bond, green tax, green insurance, ecological fiscal transfer (EFT), payment ecosystem services (PES) dan juga dana wali amanat lingkungan hidup. Dana on call pemerintah sebagai jaminan pemulihan lingkungan hidup juga dijelaskan secara mendetail di dalam PP tersebut.
Dari aspek akuntabilitas dan transparansi alokasi anggaran terkait lingkungan hidup, sejak tahun 2015 pemerintah juga sudah menerapkan mekanisme penelusuran anggaran (budget tagging) di level nasional. Dengan budget tagging tersebut, realisasi belanja pemerintah terkait lingkungan hidup dapat ditelusuri apakah memiliki keterkaitan langsung atau cuma bersifat pendukung di dalam upaya menurunkan emisi GRK. Pemerintah juga dipaksa untuk mulai memikirkan bagaimana menyusun perencanaan penganggaran dengan lebih simple dan cerdas di dalam menyelaraskan input, program, kegiatan, output dan outcome.
Dengan demikian ke depannya pola perencanaan penganggaran di sector lingkungan hidup pemerintah betul-betul mencerminkan aspek performance based budgeting. Setelah reformasi penganggaran berhasil dijalankan, pemerintah merasa memiliki level of confidence yang relatif tinggi untuk kemudian secara resmi di awal pekan kemarin menerbitkan the 1st Green Sukuk sebesar US$ 1,25 miliar dengan nama Sukuk Wakalah bertenor 5 tahun dengan yield sebesar 3,75%. Underlying asset yang digunakan sebesar 51% adalak barang milik negara (BMN) berupa tanah dan bangunan, sementara 49%-nya adalah proyek-proyek di Kementerian/ Lembaga (K/L) yang saat ini sedang dibiayai.
Dana hasil penjualan green sukuk ini nantinya akan dialokasikan untuk membiayaai proyek-proyek yang masuk dalam kategori green. Berdasarkan panduan umum yang telah disusun pemerintah, beberapa proyek yang dikategorikan green di antaranya: efisiensi energi dan renewable energy, green building, green tourism, disaster risk reduction, sustainable transport, waste to energy dan waste management, sustainable management natural resources serta sustainable agriculture.
Panduan umum green sukuk pemerintah itu sendiri sudah melewati tahapan review secara mendalam oleh CICERO (Center for International Climate Research) salah satu lembaga pemeringkat terkemuka dunia berbasis di Norwegia. Di tahun 2016, CICERO mendapatkan pengakuan dari Climate Bonds Initiative serta di tahun 2017 mendapatkan anugerah the best external reviewer in the Worlds untuk bidang penerbitan green bonds dan sukuk negara, dari lembaga Environmental Finance.
Oleh CICERO, dokumen panduan green bonds dan Sukuk Indonesia diberikan penilaian medium green dengan rekomendasi yang sangat strong. Hal ini sangat terkait dengan kelengkapan dokumen yang dapat disampaikan sebagai indikator awal kesiapan pemerintah dalam mendukung penerbitan green sukuk ini.
Di level global, Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan green sukuk ini setelah sebelumnya beberapa negara lain seperti Prancis, Fiji dan Polandia sudah terlebih dahulu menerbitkan green bonds. Selain menunjukkan komitmen pemerintah, green sukuk ini juga merupakan instrumen yang memberikan sinyal atas dukungan Indonesia terhadap perluasan pasar green bond dan green sukuk baik domestik maupun internasional khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Karenanya, Indonesia patut bangga terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan menuju masa transisi pembangunan rendah karbon. Di masa mendatang, Indonesia beraspirasi untuk dapat menjadi repeated issuer atas green bond dan green sukuk lainnya apabila kondisi pasar memungkinkan. Dan bagi seluruh komponen masyarakat, sekiranya dapat terus membantu pemerintah khususnya terkait mekanisme pelaporan dan evaluasi penggunaan demi menciptakan asas transparansi dan akuntabilitas publik yang terjaga baik.
Penulis adalah Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja)
Sumber : Investor Daily
–>