KUPANG, BL- Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menggandeng gereja-gereja Kristen Australia (Uniting Church) untuk menyuarakan dan mendorong Pemerintah Federal Australia untuk secepatnya menyelesaikan masalah pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada Agustus 2009.
“Kami sampai akhirnya mengambil sikap tersebut, karena Pemerintah Federal Australia belum memberikan tanggapan apapun terhadap himbauan dari Pemerintah Indonesia dan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi Tanoni, terkait kasus pencemaran dimaksud,” kata Ketua dan Sekretaris Sinode GMIT Pendeta Robert St Litelnoni STh dan Pendeta Benjamin Nara Luhu MTh dalam suratnya yang ditujukan kepada Presiden Uniting Church di Australia. Surat Sinode GMIT tersebut ditembuskan juga kepada Dewan Gereja Gereja di Australia dan Persekutuan Gereja Gereja di Indonesia.
GMIT mengambil sikap yang bernuansa “Eco-Pastoral” tersebut melalui sidang Majelis Sinode GMIT ke-38 yang berlangsung di Kupang pada pertengahan April 2015, setelah mengetahui masyarakat di wilayah pesisir mengalami berbagai macam penyakit aneh serta menurunnya produksi hasil usaha mereka seperti budidaya rumput laut dan hasil tangkapan ikan yang bersumber dari Laut Timor.
“Memang, belum ada penelitian ilmiah yang terkait dengan masalah itu, namun kami duga, apa yang dialami oleh masyarakat kami di pesisir NTT, akibat dampak dari pencemaran minyak di Laut Timor setelah meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009,” kata Pendeta Litelnoni.
Mencermati adanya fakta-fakta tersebut, GMIT memohon Uniting Church di Australia untuk bersama GMIT menyuarakan dan mendorong Pernerintah Federal Australia untuk secepatnya memberikan klarifikasi dan penyelesaian atas masalah ini sebagai bentuk pertanggung jawaban atas derita yang dialami masyarakat di pesisir NTT.
GMIT dalam suratnya itu menjelaskan keberpihakan GMIT terhadap kasus pencemaran tersebut didasari oleh panggilannya sebagai gereja untuk menjalankan Mandat Budaya dan Mandat Agung, yakni panggilan gereja untuk memelihara dan mengelola serta memberdayakan bumi bagi kesejahteraan sesama dan untuk kemuliaan Tuhan.
Sedangkan, Mandat Agung adalah panggilan Gereja untuk terlibat dalam pelayanan holistik, termasuk menjadi berkat bagi sesama dalam hal pendampingan dan pembelaan terhadap korban pencemaran minyak Montara di Laut Timor yang merugikan warga GMIT secara khusus, dan masyarkat secara umum.
GMIT menyadari adanya relasi simbiosis-mufualisme, antara manusia dan laut, bahwa laut merupakan sumber daya alam yang sakral pemberian Tuhan bagi manusia. Sayangnya, Laut Timor telah kehilangan sakralitas (desakratitas) berupa pencemaran minyak Montara sebagai bagian dari bentuk eksploitasi sumber daya alam.
“Pencemaran Laut Timor dalam pemahaman Eco-Pastoral GMIT, bukan saja merupakan gambaran kecerobohan manusia melainkan sebuah dosa sosial yang telah menodai sakralitas alam,” kata Litelnoni.
Ia menambahkan sekalipun belum ada penelitian yang pasti, namun informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa dampak dari tumpahan minyak Montara dan penyemprotan bubuk kimia sangat benacun itu, mengakibatkan lebih dari 100.000 masyarakat miskin di lndonesia (nelayan dan petani rumput laut) yang hidup di pesisir Timor Barat, Rote, $abu, Alor, Lembata, Flores Timur, dan Sumba kehilangan mata pencaharian mereka.
Lebih daripada itu mulai muncul berbagai penyakit aneh yang menyerang masyarakat pesisir mulaidari gatal-gatal hingga membawa dampak pada kematian, selain puluhan ribu hektare terumbu karang yang dilaporkan hancur atau rusak.
Sekalipun beberapa pihak mengklaim belum ada korban yang meninggal atau dampak langsung pencemaran terhadap kehidupan manusia dan alam, namun GMIT tetap melihatnya sebagai sebuah ancaman besar untuk jangka panjang dan kelangsungan hidup alam semesta.
“Apalagi sejak terjadinya pencemaran tersebut hingga hari ini, Pemerintah Australia maupun operator ladang Minyak dan Gas Montara PTTEP Australasia maupun pemilik dari ladang Minyak dan Gas Montara Sea Drill Norway Pty.Ltd. tidak pemah melakukan sebuah monitoring, riset yang independen serta informasi yang terbuka kepada masyarakat lndonesia, secara khusus masyarakat di wilayah sekitar Laut Timor akan dampak ledakan anjungan Minyak lepas pantai tersebut,” ujarnya.
Turun sampai 90 persen
Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mengatakan cukup terkejut dengan sikap “Eco-Pastoral” yang ditunjukkan Sinode GMIT yang akan menggandeng Uniting Chruch di Australia untuk menyuarakan masalah tersebut guna mendorong Pemerintah Federal Australia untuk mengambil langkah-langkah pemulihan.
“Apa yang disebutkan GMIT bahwa produksi rumput laut turun, memang ada benarnya, dan mengalami penurunan antara 75-90 persen dari produksi lima tahun lalu (sebelum munculnya kasus pencemaran Montara). Dan, itu tergantung pada arus gelombang dan angin, seperti yang dialami masyarakat pesisir NTT saat ini,” katanya.
Tanoni yang baru meraih Civil Justice Award 2013 dari Asosiasi Pengacara Australia (ALA) ini mengatakan dalam waktu dekat ini, akan berupaya untuk menemui Menteri Luar Negeri Australia di Canberra guna membicarakan proses penyelesaian masalah pencemaran akibat meledaknya anjungan minyak Montara milik operator kilang minyak asal Thailand, PTTEP Australasia.
“Uniting Church di Australia telah menyatakan kesediaannya untuk bersama YPTB memberikan penekanan kepada Pemerintah Australia untuk segera menuntaskan kasus ini,” katanya dan menambahkan dalam upaya penyelesaikan kasus ini, YPTB menempuh jalur diplomasi dan ligitasi.
Jalur diplomasi, kata dia, diprioritaskan untuk melakukan “triple diplomacy” dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat di Australia termasuk Komisi Hak Hak Asasi Manusia dan Lembaga Keagamaan Australia guna bersama terus mendesak Pemerintaa Australia guna turut bertanggung jawab.
Sementara jalur ligitasi, tambahnya, kasus pencemaran ini akan dibawa ke Pengadilan Australia. Gabungan para pengacara dan ilmuwan YPTB dari Australia, Indonesia, Inggris dan Amerika Serikat sedang terus merampungkan berbagai bukti dan saksi untuk didaftarkan ke Pengadilan Australia, jika jalur diplomasi sampai akhirnya mengalami jalan buntu menuju proses penyelesaian masalah. (Leo).
–>